30 Januari 2008

3.1K 501 69
                                    

I love to see you walk into the room
Body shining lighting up the place
And when you talk, everybody stops
Cause they know you know just what to say
And the way that you protect your friends

(Beyoncé - Hello)

***

Kalau kamu bertanya kapan aku mulai gila, jawabannya adalah sejak hari ini.

Jadi, sejak Kino mengajakku nongkrong sepulang sekolah beberapa hari lalu, aku semakin yakin dia bisa menolongku. Di kantin, dia mengenalkan tiga murid peserta kelas detensi yang ikut bersama kami: Adit, Rian, dan Candra. Adit dan Candra adalah murid kelas XI IPA 5, sedangkan Rian berasal dari XI IPS 1. Berbeda dengan geng anak nakal, mereka juga datang terlambat ke sekolah sepertiku—dihadang di gerbang depan oleh satpam atau apes dipergoki oleh Pak Lukman. Termasuk Kino, ini adalah kelas detensi pertama kami. Kecuali bagi Rian, ini adalah periode detensi ketujuhnya. Dia mengaku sulit bangun pagi karena tinggal di indekos. Rumah keluarganya terletak di Sumedang.

Selama di kantin, aku kebanyakan hanya mendengar percakapan mereka berempat. Belajar dari pamanku yang mengidap skizofrenia, kadang lebih mudah menjadi pendengar yang (terkesan) cermat dibanding bergabung dalam percakapan. Setidaknya, kamu bisa pura-pura mendengarkan padahal benakmu sedang dipenuhi khayalan-khayalan absurd. Sebab, ketika kamu mulai bicara, orang-orang malah akan menganggapmu aneh.

Namun, Kino terus mencecarku dengan beragam pertanyaan.

Di mana rumahku? (Aku menjawab di daerah Turangga).

Mengapa bisa terlambat? (Kujawab: sedang sial saja karena ini bukan kali pertamaku terlambat).

Setuju atau tidak bahwa sekolah kita berlagak konservatif dan sok ketat dengan mengadakan detensi tak guna? (Aku hanya menjawab posisiku netral).

Kacamatamu minus berapa? (Minus setengah di mata kanan dan kiri dan aku tidak bangga. Membersihkan lensa kacamata itu merepotkan).

Usai mengobrol selama hampir satu jam—sampai kantin hendak ditutup, kami membubarkan diri dan pulang ke rumah masing-masing; sepakat untuk mengumpulkan tugas besok pagi sebelum bel masuk sekolah kepada Kino.

Esoknya, Kino yang berinisiatif menagih tugasku di kelas—sejak dijatuhi detensi, aku selalu tiba di sekolah lima belas menit lebih cepat. Dia menghampiri bangkuku dengan muka ramah yang senantiasa tercetak demikian, menanyakan sampai jam berapa aku menyelesaikan tugas tersebut semalam. Aku tidak menjawab, hanya menyerahkan selembar HVS yang telah dipenuhi tulisan kepadanya.

Kukira Kino tidak akan mengusikku lagi setelahnya, tetapi dia memanggilku untuk duduk di dekatnya ketika aku memasuki ruangan kelas detensi sepulang sekolah. Di sekitarnya, seperti hari-hari sebelumnya, Candra, Adit, dan Rian juga duduk di sekitar Kino.

Kami berlima telah mengerjakan tugas detensi sampai tuntas sehingga—selagi geng anak nakal dan si siswi centil diceramahi oleh Ibu Ani akibat keminggatan mereka kemarin—kami berbincang-bincang dengan suara pelan untuk membunuh waktu.

Melalui pembawaan Kino yang luwes, aku tahu Candra, Adit, dan Rian juga langsung dibuat nyaman berinteraksi dengan laki-laki berkacamata minus dua pada lensa kanan dan satu setengah pada lensa kiri tersebut—waktu itu, Kino sendiri yang memberitahu kami ketika membicarakan kacamata di kantin. Ada karisma tertentu yang Kino miliki, yang secara alami bisa merangkul orang-orang lain untuk tertarik berkawan dengannya.

Selain itu, ternyata asyik juga mempunyai teman-teman berdekatan bangku yang aktif mengajak-dan-diajak mengobrol. Kelas detensi selama beberapa hari ini menjadi jauh lebih tidak menyengsarakan dibanding kelas reguler. Pikiran konyolku sempat berharap detensi ini bisa berlangsung lebih lama. Nyatanya, periode detensiku akan berakhir hari ini. Begitu juga dengan Kino, Adit, dan Candra. Rian masih harus menjalani hukuman tambahan selama seminggu karena dia datang terlambat lagi kemarin.

Entah apa yang merasukiku, selepas kelas detensi terakhir, aku pun bergegas menghampiri Kino.

Aku hanya memanggil dia, tetapi tidak yakin bagaimana caranya mengutarakan permintaanku. Akibatnya, aku malah mati kutu di hadapan Kino sementara kami berdua berada di lorong sepi pada jam pulang sekolah. Ini benar-benar canggung, seperti adegan di komik-komik serial cantik di mana si tokoh utama mau menyatakan cinta di tempat sepi (tidak, sama sekali bukan 'itu' yang mau kuutarakan, yang benar saja?).

Seakan paham aku mau bicara, Kino yang akhirnya malah memulai duluan. "Kenapa, Rem? Mau ngomong sesuatu?"

"Hmm...." Aku masih tidak tahu bagaimana memulainya.

"Mau nembak aku?" Kino bergurau seraya tertawa renyah. Candaannya tersebut justru membuatku tercengir dan mencairkan kecanggunganku.

"Amit-amit," hardikku, kemudian memberanikan diri berkata, "Aku mau minta sesuatu, sih."

"Mau ngajak aku pura-pura pacaran? Sori Rem, aku udah punya pacar," canda Kino lagi.

Kali ini, dengan memberengut, aku menyanggahnya dan terang-terangan menyampaikan maksudku. "Bukan, duh! Ajari aku berteman!"

Oke.

Sudah kukatakan.

Ingin rasanya aku kabur saat itu juga.

Namun, aku teramat penasaran terhadap respons Kino mengenai permintaanku yang sama sekali tidak wajar. Dia melirikku terheran sebelum membalas, "Eh? Apa?"

"Itu, ajari aku—"

"Aku dengar kok kata-katamu barusan," potong Kino. "Tapi apa maksudnya kamu minta begitu?"

"Kamu bisa lihat 'kan kalau aku ... enggak punya teman dekat? Sudah setengah tahun kita sekelas," paparku jujur.

Kino lekas merapatkan bibir. Setidaknya, berdasarkan pengamatanku, dia termasuk orang yang tanggap terhadap lingkungan sekitarnya. Aku yakin dia sudah dapat menerka kondisiku. "Masa, sih?" tanyanya sebagai respon, seakan ingin mengujiku dulu.

Aku pun meyakinkannya. "Iya. Jajan sendiri, pulang sendiri, ke mana-mana sendiri. Enggak kelihatan?"

"Err ... iya, sih," ucap Kino mengiyakan. "Tapi aku bisa bantu apa?"

"Tolong bantu aku jadi menyenangkan," jawabku.

"Untuk apa?"

"Untuk punya beberapa atau, kalau beruntung, banyak teman."

"Kenapa? Ingin populer?" tuding Kino.

"Biar enggak mati sendiri."

"...."

Jawabanku mungkin terlalu tidak wajar sampai-sampai membungkam Kino. Tetap aku bersikeras. Sudah kepalang tanggung memalukan. "Jadi, kamu mau menolongku?" tanyaku.

Kino menggaruk pinggir dahinya dengan telunjuk, tampak meragu. "Tapi itu berarti kamu enggak jadi diri sendiri. Iya 'kan?"

Seraya menggeleng, kutimpali dia, "Bukannya setiap manusia memang memainkan peran biar diterima masyarakat? Karena itu, kayaknya aku butuh bantuan untuk menciptakan peranku. Asal enggak mengubah diriku jadi menjijikkan, aku bersedia."

"Kamu benar-benar putus asa, ya?" komentarnya.

"Beberapa orang tidak dilahirkan seberuntung yang lain."

Kino tertegun, lantas terdiam lagi. Sepertinya dia sedang mempertimbangkan sesuatu. Beberapa lama berselang, dia pun mengangguk dan berkata, "Aku ada janji main futsal setengah jam lagi, tapi ayo kita bicarakan besok. Kita lihat apa yang bisa diperbuat."

Resilience: Remi's Rebellion (Novel - Tamat)Where stories live. Discover now