PERTIWI

5.7K 898 271
                                    

Di sanalah Pertiwi, termenung di teras depan rumahnya. Kakinya berbalut kain batik Pekalongan dengan nuansa cokelat yang menguarkan keanggunan. Mata jatinya seakan menerawang pada jutaan tahun mendatang. Mata jati itu, mata jati yang berhasil mengusik jiwa Netherlands hingga serasa terkoyak oleh rasa ingin memiliki.

Ah, tapi itu sudah lebih dari tujuh puluh tahun lalu. Sekarang Pertiwi telah bebas. Tak ada lagi timangan politik etis yang membelenggunya, tak pula kebijakan kerja paksa yang menyengsarakan rakyatnya, apalagi ragam pemberontakan yang bergejolak di tubuhnya. Semua itu sudah sekian lama terlewati. Kini ia merdeka, terhitung sejak 17 Agustus 1945—adalah 71 tahun yang lalu.

Raganya benar merdeka, tetapi ia tak pernah merasakan arti kebebasan yang sesungguhnya. Harusnya, setelah 71 tahun, ia makin kuat dan menjadi yang paling hebat. Namun, di posisi mana ia sekarang ini? Di daftar teratas negara-negara dengan tingkat korupsi tertinggi di dunia? Atau finalis pemilik sungai terkotor di dunia? Pertiwi paham bahwa hal-hal demikian kurang bisa dibanggakan. Lebih lagi, kini ia merasa rindu. Rindu pada kekuatan dalam dirinya sendiri yang dulu kian membakar semangat. Kekuatan yang menghempaskan kekuasaan Netherlands atas dirinya. Kekuatan yang memaku namanya sebagai macan asia. Kemana hilangnya julukan itu sekarang?

Sang personifikasi negara khatulistiwa itu terhenyak dan kembali pada kesadaran. Iris jati itu menyapu pandang lapangan hijau di depannya.

Ah, seperti biasa. Kalimantan tengah memajang diri tepat di tengah bidang hijau itu. Tubuh lebar dan tegapnya sedang disibukkan dengan bola api di tangannya. Pertiwi takut anak terbesarnya itu akan terbakar, atau begitulah yang selama ini telah melanda. Kalimantan dibabat habis, dibakar, kemudian dijadikan kebun sawit perusahaan asing.

Kalau Pertiwi boleh bertanya, mungkin ia akan menanyakan sebuah, 'Apa saja yang dilakukan pemimpin bangsa ini?'. Atau mungkin kalau ia sedang nekat pertanyaannya menjadi, 'Berapa banyak yang pejabat terima dari perusahaan-perusahaan itu?'.

Pertiwi sakit, hatinya macam tercabik oleh seribu belati. Melihat anak-anaknya yang dulu hijau dan asri kini terganti oleh bangunan megah pencakar langit. Satwa dan biota yang dulu menjadi kebanggaannya telah kehilangan arah kemana harus mencari rumah. Manusia merebut alamnya, manusia merenggut dunianya—yang Pertiwi sadari, manusia-manusia itu masih rakyatnya. Oh, Pertiwi merasa dikhianati.

Itu baru Kalimantan, tak jauh darinya terpaparlah Jawa. Pulau ringkih itu tampak semerawut seperti biasa. Ia masih membawa serta Jakarta dengan segala masalahnya. Tentang politik, tentang ekonomi, tentang dunia hiburan, dan seribu tentang lainnya.

Jakarta selayak tubuh yang selalu terjaga dan tak pelak untuk terpejam. Kemarin, ia masih panas dengan berita reklamasi, menyusul putusan hukuman untuk artis tersangka pencabulan, ditambah dengan kasus kopi sianida, diselingi dengan reshuffle kabinet, sampai meninggalnya penyanyi pria akibat serangan jantung tiba-tiba. Besok apa lagi?

Berita tentang tenggelamnya Monas barangkali?

Ah! Pertiwi pernah dengar tentang yang satu itu. Entah sepuluh atau dua puluh tahun mendatang, monumen itu bisa jadi berdiri di sebuah garis pantai. Muka air laut naik dan menggeser Ancol ke tengah kota. Menjadikan Sudirman berkanal-kanal, dan memindahkan kemacetan kedalamnya.

Tapi apa yang bisa Pertiwi lakukan? Toh, ia hanya personifikasi Indonesia. Ia hanya akan sekuat atau seloyo tekad rakyatnya. Ia hanya menjadi penonton abadi sejarah, sekaligus penerima beban akan derita yang melanda tanah air. Sudah cukup julukan dan predikat buruk menyambangi namanya. Sudah cukup kemacetan Jakarta menyesakkan napasnya. Sudah cukup pula asap pembakaran hutan memenuhi rongga parunya.

Dari sekian beban yang Pertiwi tanggung, sebagai ibu masih juga ia dipusingkan dengan nasib 17.000 lebih anak-anaknya. Ada yang nyaris digenangi lautan, ada juga yang diakui kawan serumpunnya. Pemerintah dimana, 'sih! Asik main golf bersama para sosialita? Atau memilih kendaraan mana yang akan dipakai untuk kerja, gara-gara saking banyaknya yang terpajang di garasi mereka?

PERTIWI PUSAKAजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें