Pilihan Saka

1.3K 203 37
                                    

Tidak ada yang sempurna dalam politik. Berkat headline yang tertulis pada koran yang ia beli, hal itulah yang menyambangi benak Saka saat ia melangkahkan kakinya masuk ke Transjakarta rute Blok M-Kota. Yah, lumayan menghemat uang ketimbang dia pesan Grab Car yang bisa memakan ongkos Rp51.000,00 menuju kantornya di Jalan Medan Merdeka Barat.

Dia menguap, lalu sambil mengempit koran yang baru saja ia beli saat menunggu di halte tadi, Saka mengambil tempat duduk paling belakang dan melirik arlojinya sedikit. Kemudian jantungnya meledak jadi ribuan serpih. Demi apa sudah jam setengah tujuh lewat sepuluh? Dia kira ini masih jam enam! Padahal, jam masuk kerja Saka sama dengan PNS; setengah delapan.

Duh, tahu begini nggak usah sarapan dulu.

Detik berikutnya, yang Saka pikirkan adalah kemacetan di Jalan Sultan Hasanuddin, Jalan Trunojoyo, Sudirman, MH Thamrin, dan sejuta titik lainnya.

Jaga-jaga ia betulan terlambat, akhirnya Saka mengeluarkan jurus pamungkas. Ia mengambil smartphone, lalu mengetik sms izin berbunyi, “Maaf, Pak, sepertinya saya bakal telat. Saya masih di jalan, naik Transjakarta. Sekalian control lapangan, ya, Pak? Nanti saya akan tulis laporannya.”

Nah, selesai!

Tinggal tunggu dibaca dan dibalas.

… semoga.

Ketika supir bus telah menginjak kopling serta gas dan menyebabkan transportasi praktis itu berakselerasi, Saka mencoba menenangkan diri dengan membuka koran. Berita pertama, menempel di headline, adalah pertanyaan bernada retoris tentang netralitas Komisi Pemilihan Umum.

Jelang pemilu raya, Saka cukup berhati-hati memilih bacaan, baik pada laman media online ataupun media cetak seperti yang belakangan mulai ia tinggalkan. Banyak situs berita yang mulanya tak berpihak mulai terpolarisasi ke salah satu kubu, petahana atau oposisi. Yang condong pada petahana mendadak menjadi humas pemerintah, sebaliknya dengan kelompok pro oposisi yang kerjanya mengkritisi segala hal. Kritik adalah bentuk cinta paling kongkret, katanya.

Sebagai pemuda yang terpaksa harus melek politik jelang pemilu, Saka bingung. Kepentingan siapa yang sedang diperjuangkan di negeri ini?

Dalam kompetisi berhadiah titel RI Satu yang sibuk diperbincangkan masyarakat dari semua kalangan ini kerap kali banyak yang melupakan esensi utamanya. Kepentingan Rakyat. Bukannya berlindung dan menyerang dengan politik identitas untuk mendongkrak elektabilitas.

Calon yang tidak berani jadi imam salat dipermasalahkan, calon yang mengucapkan selamat natal pun ramai dipergunjingkan. Akibatnya, narasi pilpres jadi turun drastis, rendahan, dan tidak bermutu.

Belum lagi tentang hoaks surat suara tercoblos, sampai politisi sontoloyo. Ironisnya, topik-topik itulah yang menghiasi media sosial yang katanya dihuni kaum milenial. Berulang kali Saka mencoba menengahi, malah ia yang dimaki kanan kiri.

Hah, drama politik.

Saka sudah lelah.

Berita berikutnya yang Saka temukan di kolom pojok kiri bawah adalah angka swing voter yang jumlahnya masih di kisaran tiga puluh persen.

Memalukan mengakuinya, namun jujur, Saka masih bingung siapa yang akan ia pilih menjadi pemimpinnya di pemilu nanti. Meski hanya dua nama yang muncul, banyak faktor yang tak bisa membuatnya buru-buru melabuhkan pilihan. Pilihannya masih mengambang diantara bos petahana yang giat membangun infrastruktur atau calon bos dari partai oposisi yang telah melahirkan banyak bos daerah. Dua-duanya sama baiknya, mungkin.

Kembali lagi, banyak faktor yang Saka pertimbangkan untuk menentukan pilihan.

Bagi Saka, bangsa ini butuh pemimpin dengan dua kriteria: kapasitas dan integritas. Dua syarat yang mutlak adanya.

Soal kapasitas, pemimpin harus memiliki kemampuan memahami masalah, tahu kebutuhan rakyat, lalu memiliki gagasan strategis untuk menyelesaikan masalah untuk memenuhi kebutuhan itu. Visi bangsa ini harus jelas. Didesain berbasis pada pemahaman terhadap kondisi, kebutuhan, dan problem bangsa. Pengetahuan dan kesadaran holistik terhadap keaadaan dan problem bangsa ini penting agar program dan kebijakan tidak saling bertabkrakan.

Selain kapasitas, tidak kalah pentingnya adalah integritas.

Jika disuruh mengukur, Saka mungkin akan menggaruk kepala belakangnya. Ia ragu. Tetapi baginya, kejujuran adalah yang paling penting, disusul dengan keberpihakan pada rakyat, aspek bebas korupsi, dan komitmen penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Penampilan belakangan. Tampang dan penampilan tidak boleh jadi ukuran dalam memilih pemimpin. Pasti tersesat.

Faktor partai pengusung dan rekam jejak tentu juga wajib dipertimbangkan. Ah, Saka akan rajin-rajin googling demi mendapatkan data acuan dalam menentukan pilihan.

Saka membalik halaman koran dan memindai judul-judul berita yang disajikan. Harapannya adalah mendapatkan topik positif tentang prestasi bangsa dan pencapaian pemerintah. Sebagian iya, sisanya sebaliknya. Teror terhadap KPK, prostitusi online, kasus suap kepala daerah, sampai penyelundupan bawang merah ilegal. Cukup lama Saka terjebak dalam kubangan keraguan terhadap pemerintah. Namun demikian, ia tak mau lagi berita-berita negatif itu merasuki pikirannya dan meruntuhkan optimismenya terhadap masa depan negeri.

Pada pukul tujuh lewat lima belas, saat bus masih tertahan di Sudirman, Saka tahu ia akan terlambat. Ia kemudian berpikir untuk menggunakan Gojek atau Grab Bike untuk mengejar waktu, tidak peduli gerimis akan membasahi pakaiannya. Hanya saja, ia berubah pikiran begitu melihat orang-orang di sekelilingnya sama tidak berdayanya dengan dirinya.

Masyarakatnya.

Mereka juga mengejar waktu; bertaruh dengan yang tidak bisa kembali. Mungkin uang makan siang akan dipotong karena terlambat, atau malah bisa mendapat SP, atau bisa dipecat hari itu juga. Saka tidak tahu.
Saka merasa hatinya mencelos, lalu melunturkan egonya. Pemuda itu membenarkan duduknya, memilih untuk bergabung bersama kerunyaman jalanan. Ia tak ingin lagi bersimpati; ia sedang berempati.

Saka merasa mungkin ia mendapat hikmah dari perjalanannya pagi ini. Dengan terlambat, ia bisa mengamati. Dengan membaca situasi di depan matanya, ia bisa berpikir. Dengan terjebak dalam atmosfer membosankan yang sedikit tergesa dalam kemacetan, ia bisa berefleksi.

Pusaka menyadari bahwa tidak ada yang sempurna dalam politik. Walau demikian ia tetap berusaha rasional dan terus berbenah. Sebab, esok untuk memperbaiki lusa, dan begitu seterusnya. Dan oleh sebab itulah, kesempurnaan nyaris tidak eksis.

•••

a. n nanti nunggu debat ya. wkwkwkw. inimah ilmi, bukan Saka. Tapi aku mencoba menulis senetral mungkin ya guys. kepikiran nulis dari semalem tapi baru mulai tadi jam 5sore, sambil buka buka kumparan. Aku udah nggak tau lagi media mana yang harus kupercaya. Silakan dihujat

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 17, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

PERTIWI PUSAKAWhere stories live. Discover now