Bab 7

1.5K 214 20
                                    


Tiara tidak bisa berfokus pada apapun. Semua kata-kata gurunya hanya masuk dan keluar, tidak dihiraukannya sama sekali.

Sudah lebih dari 24 jam kakaknya belum muncul.
Dan ia tidak bisa berbuat apa-apa selama itu.

Gadis itu memejamkan matanya, menggenggam ujung roknya yang kusut karena jemarinya. Tana akan baik-baik saja. Tana selalu tahu apa yang ia lakukan dan tidak akan melakukan sesuatu yang bodoh dan membahayakan nyawanya sendiri.

Gurunya masih sibuk menerangkan rumus-rumus fisika, tidak terlalu memperhatikan Tiara di ujung.

Tiara menyesali perbuatannya. Ia menyesal karena telah memberi informasi dan kartu identitas itu. Seharusnya ia tahu hal itu terlalu berisiko untuk dilakukan. Kalau ada sesuatu yang benar-benar terjadi pada Tana, maka ...

Tiara menarik segenggam rambut panjangnya, frustrasi dan merasakan rasa sakit di kulit kepalanya. Bodoh. Semuanya terjadi karena salahnya.

"Nona Sanchez?"

Tiara mendongakkan kepala dari mejanya, menyingkirkan tirai rambut yang menutupi wajahnya untuk melihat siapa yang memanggil namanya. Mungkin bu Mel, guru fisikanya yang galak dan sering memergokinya melamun.

Namun, alih-alih guru fisika, Tiara mendapati salah seorang ajudan ayahnya berdiri di samping mejanya. Ia kenal yang satu ini. Namanya Robi, dan ia cukup baik untuk dijadikan teman dibandingkan yang lainnya. Tetapi, ia tidak pernah muncul tiba-tiba di sekolahnya seperti saat ini.

Berbagai kemungkinan melesat di benak gadis itu, membuat tangannya gemetar.

"Ketua meminta Nona menemuinya secepatnya." Robi berdeham, merasa canggung di hadapan Tiara dan seluruh isi kelas.

Tiara mengerjap beberapa kali. Apa artinya itu? Ayah tirinya juga tidak pernah memintanya datang secara resmi. Gadis itu menatap si ajudan dengan tatapan kosong. "Apa kau tahu apa yang ingin dibicarakannya denganku?"

Robi menggeleng, wajahnya pucat. Sebenarnya ia tahu. Namun Ketua Umum sudah memerintahkannya agar tidak banyak bicara saat menjemput Nona Sanchez muda.

"Kau sebaiknya pergi, Nona Sanchez." Bu Mel ikut berbicara dari depan kelas, suaranya lembut dan mengancam. "Atau haruskah aku menghapus namamu dari daftar kelasku?"

Tiara tidak punya pilihan lagi selain menghadapi ayah tirinya, dan menanyakan apa maunya. Ia mengangguk lemah kepada gurunya dan melangkah keluar bersama ajudan ayah tirinya.

Di perjalanan, Tiara juga membisu. Ia sepenuhnya yakin bahwa sesuatu yang akan dibicarakan akan menyangkut kakaknya. Dan entah bagaimana mereka mungkin juga tahu bahwa semua itu berasal dari dirinya.

Gedung 40 lantai itu terlihat besar dan mengintimidasi dengan permukaan kaca yang berkilat dan memantulkan cahaya matahari pagi. Gedung Parlemen. Pusat pemerintahan Kepulauan Tenggara, dan sudah 4 periode sekaligus menjadi gedung Perserikatan Pulau-Pulau (PPP), yang dipimpin oleh sang ketua Umum.

Langkah kaki Tiara goyah saat memasuki gedung dan menaiki lift dengan dinding kaca, membuatnya semakin merasa gugup dan takut.
Lift melesat naik dan terbuka tepat di lantai teratas, kantor pribadi sang Ketua Umum.

Ruangan itu luas. Dengan jendela kaca raksasa yang menampakkan seluruh kota yang bermandikan sinar matahari, dan furnitur-furnitur kuno dan antik seperti meja kayu. Tidak ada lagi yang menggunakan kayu sebagai bahan material sekarang. Hanya bahan sintetis.

"Selamat pagi, Tiara." Suara Ketua Umum mengejutkan Tiara saat pria itu berbalik dari jendela kaca. Senyumnya menyembunyikan sesuatu.

Gadis itu tidak menjawab, memilih memandang ke sebuah titik kosong di langit kota.

AquatrisWhere stories live. Discover now