I'd wait on you forever and a day. Hand and foot. Your world is my world. Ain't no way you're ever gon' get. Any less than you should. Cause baby, you smile I smile. - Justin Bieber
***
''WHAT!?''
Selly mendengus ketika Geby berteriak dengan wajah amat terkejut. Pagi ini ia tidak masuk sekolah karena tubuhnya masih saja meriang dan flu yang tak kunjung sembuh. Ia berbaring di atas tempat tidur dengan pandangan pada ponsel yang menampilkan wajah Geby. Selly sedang melakukan video call dengan sahabatnya itu.
''Heboh deh.''
''Gue kaget anjir! Kok lo baru bilang sekarang sih kalau lo tinggal … satu atap sama Davin?'' tanya Geby dengan suara berbisik pada kalimat terakhir.
''Ya udah sih yang penting gue udah cerita.''
''Iya sih ….''
Selly melirik jam bulat yang bergantung di dinding, kedua alisnya menaut ketika jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat lima menit. ''Nggak ada guru?''
''Ada kok, cuman belum datang,'' jawab Geby. ''Eh udah deh sana lo istirahat lagi biar besok bisa masuk, gue bete nih duduk sendiri.''
Selly terkekeh melihat tampang cemberut milik Geby. ''Iya, iya.''
''Ya udah, gue tutup ya?''
''Eh, eh, tunggu!'' cegah Selly.
''Apa lagi sih, Sel?''
Selly tersenyum. ''Davin ada?''
''Astaga! Di rumah juga lo pasti ketemu dia, Sel! Masih aja nanyain.'' Geby memutar kedua bola matanya.
Selly merengut. ''Ih pengen tau aja!''
Geby mendengus. ''Entar gue pap deh, sekarang udah dulu ya ada guru.''
''Bener ya?''
''Iya. Bye!''
Wajah Geby pun hilang dari layar ponsel Selly. Selly beranjak dari tidurnya menjadi duduk. Ia menghela napas, berdiam diri di rumah dan tidak sekolah rasanya membosankan. Tidak ada hal menarik yang harus dilakukan, terlebih ia sedang tidak sehat membuat badannya terasa lemas.
Untuk kesekian kalinya Selly menghela napas. Ia mengotak-atik ponselnya, entah mengapa ia jadi merindukan ayah dan ibunya. Ia mencari nomor kontak ayahnya, setelah menemukannya ia langsung men-dial nomor tersebut.
''Hallo.''
Selly tersenyum ketika teleponnya diangkat. ''Hallo, Pah. Papa gimana--''
''Selly, nanti Papa telepon lagi ya. Papa lagi sibuk.''
Senyum yang menghiasi wajah cantik Selly seketika lenyap saat teleponnya terputus secara sepihak. Selly terdiam, memandang ponsel yang berada digenggamannya. Ia tersenyum miris. Pekerjaan, pekerjaan, dan pekerjaan yang selalu kedua orangtuanya utamakan.
Ia tidak pernah merasa menjadi prioritas kedua orangtuanya, ia selalu merasa dinomor duakan dengan pekerjaan sejak dulu. Kini air mata menggenang di pelupuk kedua matanya. Sejak dulu ia selalu dititipkan di rumah pamannya ketika kedua orangtuanya pergi keluar kota atau keluar negeri. Namun kini ia malah dititipkan di rumah orang asing menurutnya.
Selly selalu berharap kalau kedua orangtuanya bisa meluangkan waktu untuk kumpul bersama tanpa harus menyangkut soal pekerjaan. Namun terkadang, harapan terasa sulit untuk menjadi kenyataan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hope
Teen Fiction[Sudah Terbit] One day, I hope you can love me. Copyright © 2016 By YustikaM 16/08/2016