4 Juni 1998

67 2 0
                                    

Hujan deras mengguyur jalanan depan rumah. Suara gemercik air terdengar merdu di telinga. Hujan biasanya berhasil menenangkan hati yang gundah. Tapi kali ini tidak. Aku tetap tidak bisa tenang. Aku merasa terusik oleh pikiran ku sendiri.

Ayah kemana kau pergi? Sekarang sudah pukul 10 malam. Tapi tak ada satupun tanda kedatangannya. Aku teramat khawatir akan keberadaannya. Memang suasana dirumah sekarang sedang memanas. Ayah dan ibuku sering sekali beradu mulut tengah malam bulan-bulan ini. Mungkin karena bisnis ayah sedang menurun dan kebutuhan melonjak. Yah, persoalan wajar dalam rumah tangga.

Tapi tadi malam itu berbeda. Aku sempat mendengar dengan samar-samar. Intonasi ibu sangat tinggi itu mengerikan. Tak pernah sekali pun aku melihat ibu semarah itu. Tapi aku tidak mau tahu terlalu dalam. Aku takut ikut campur urusan orang dewasa. Aku belum terlalu faham.

Apa mungkin ayah pergi dari rumah? Pikiran itu muncul begitu saja. Aku takut untuk membayangkannya. Aku mulai mengantuk. Akan tetapi ayah tak kunjung datang. Tak sadar aku pun terlelap di sofa hingga pagi datang.

Sinar matahari menerpa seluruh wajah dan tubuhku. Hangat. Sekarang hari minggu, waktu yang tepat untuk bermalas malasan. Aku kembali berselonjor kaki di sofa dan mencoba untuk terlelap lagi. Tapi tunggu, perutku berbunyi. Aku lapar rupanya. Aku tak bisa membiarkan perutku berbunyi terus menerus. Ku putuskan untuk menunda hibernasiku dan menuju dapur.

Ku lihat ibu sedang asyik memotong motong bawang merah dan memasukannya ke wajan. Sedap wanginya masakan ibu membuatku merasa tambah lapar. Aku pun menunggu ibu selesai memasak di meja makan. Ku lirik jam dinding tua di pojok ruangan. Sudah pukul 07.00 pagi, tapi ayah tak kunjung turun ke bawah untuk menyantap sarapan bersama. Aku berniat untuk membangunkan ayah dan mengajaknya sarapan pagi bersamaku.

Aku berlari ke kamar ayah dengan semangat. Ku ketuk pintu kamar ayah, akan tetapi tak ada satupun jawaban terdengar dari dalam. Apakah ayah tertidur pulas? Mungkin ayah lelah. Semalam ayah pasti pulang larut malam, pikirku. Tapi ia butuh asupan gizi. Ku putuskan untuk langsung masuk ke dalam kamar.

Ku pegang gagang pintu dengan berhati - hati. Ku buka dengan perlahan lahan agar ayah tidak kaget akan kedatanganku. Akan tetapi, kemana perginya ayah? Kasur ayah terlihat rapih seperti tidak ditiduri. Aku masuk menelusuri kamar ayah. Ini aneh, biasanya banyak baju yang menggantung di pojok kamar. Tapi sekarang semua baju menghilang?

Aku berlari menuruni tangga. Aku tarik tangan ibu yang sedang memasak.

"Ibu kemana ayah pergi? Mengapa semua baju ayah menghilang?" tanyaku dengan seksama.

"Ah itu. Ayah mu pergi bekerja di Jakarta sayang dan dia membawa baju-baju tersebut sebagai baju ganti sehari-hari." jelas ibu. Akan tetapi ada gurat ragu di wajahnya. Aku tau ibu berbohong. Aku ingin kepastian.

"Ibu tidak berbohong kan?" tanyaku sekali lagi.

"Sudahlah berhenti mengintrogasiku. Cepat sana makan. Ibu sudah menaruh sarapan pagi di meja makan" timbal ibu dengan nada sedikit tinggi.

Mungkin ibu sedang tidak ingin di ganggu. Aku pun menuruti kata-kata ibu dan berhenti bertanya kepadanya. Aku melahap makananku sampai habis. Sepertinya aku harus mencari tau sendiri.

Aku tau, ayah tidak mungkin pergi meninggalkan ku tanpa pamit seperti ini. Jika ayah pergi kerja di luar kota, ayah akan bilang kepadaku dan pamit. Ini aneh, ayah kemana kau pergi? Sejak saat itu nyatanya ia tak pernah kembali.

HALUSINASIWhere stories live. Discover now