11. Penyerahan Pedang Keramat (TAMAT)

3.8K 69 2
                                    

Kim Huo Tojin tersenyum dan iapun lalu melompat ke patok kedua. Ia berdiri dengan ujung kakinya, agak merendah dan kaki kedua diluruskan ke depan, tangan kanan bertolak pinggang dan tangan kiri merupakan kepalan menempel di pinggang. Juga gerakan tosu ini ringan sekali hingga semua menjadi kagum.

"hwesio tua, kau berhati-hati sekali. Baiklah, kita mengadu kepandaian di sini saja. Bagaimana peraturan selanjutnya?"

Melihat gerakan lawan ini Kok Kong Hwesio tersenyum. "Toyu, kau hebat sekali. Marilah kita gunakan angin pukulan untuk saling mendorong, dan siapa yang terpaksa melompat turun dari atas patok dianggap kurang hati-hati dan selanjutnya tidak boleh banyak cakap lagi!"

"Baik-baik dan bersiaplah!" kata Kim Huo Tojin yang lalu mulai menggerakkan tangan kirinya memukul ke depan. Kok Kong Hwesio lalu mengembangkan tangannya dan mendorong ke depan, menahan angin pukulan lawannya. Demikianlah, kedua orang tua itu saling memukul dan mendorong hingga nampaknya mereka itu berkelahi melawan angin akan tetapi kalau orang berdiri di antara mereka, barulah orang itu akan mengetahui betapa dari kedua pihak datang angin pukulan yang luar biasa hebatnya, karena biarpun angin pukulan yang dilancarkan itu tidak melukai kulit, akan tetapi dapat melukai paru-paru dan jantung serta segala isi perut, mendatangkan luka dalam yang membawa maut. Inilah hebatnya tenaga khikang yang disalurkan melalui pergerakan tangan mereka.

Nyo Liong dan Yang Giok sambil saling berpegang tangan menonton pertandingan luar biasa dan menegangkan ini, dan diam-diam mereka hanya berdoa suapaya Kok Kong Hwesio jangan sampai kalah. Nyo Liong diam-diam mengagumi hwesio tua itu, karena dalam hal tenaga khikang dan kepandaian ginkang, terus terang saja ia harus mengaku kalah kepada kedua orang tua ini.

Adu tenaga khikang ini berlangsung lama karena agaknya kedua kakek itu sama tangguhnya dan tiap-tiap serangan lawan selalu dapat ditahan atau dikembalikan dengan tenaga mereka. Akhirnya Kim Huo Tojin mendapat akal licik dan tiba-tiba saja ia merobah gerakan tangannya, kini ia tidak memukul ke arah lawannya, akan tetapi ke arah patok yang diinjak oleh Kok Kong Hwesio.

Terdengar suara "krak" dan patok itu patah. Kok Kong Hwesio berseru keras lalu tubuhnya melompat ke atas, berjungkir balik beberapa kali baru ia turun di atas kedua kakinya sambil tertawa bergelak.

"To-yu, kau cerdik sekali. Sayang agaknya kau terlalu banyak menggunakan tenaga hingga jubahmu yang menutup iga kiri menjadi rusak."

Kim Huo Tojin cepat melompat turun dan ia meraba jubahnya. Betul saja, jubah itu telah terobek lebar hingga angin gunung menghembus membuat kulit iganya terasa dingin. Ia menjadi pucat karena maklum bahwa dalam adu tenaga tadi, hwesio tua itu telah menggunakan pukulan Pek-kong-ciang yang tidak mendatangkan angin, akan tetapi cukup hebat hingga kalau hwesio itu berhati jahat, tentu ia telah menderita luka dalam, dan bukan hanya jubahnya yang terobek. Cepat ia menjura dan berkata,

"Pinto telah berkenalan dengan Pek-kong-ciang yang hebat dan telah berkenalan pula dengan hatimu yang welas asih. Terima kasih, terima kasih!" Setelah berkata demikian, Kim Huo Tojin lalu mengajak kedua sutenya meninggalkan tempat itu tanpa berani banyak cakap lagi. Sebagai seorang tokoh persilatan yang berkedudukan tinggi. Ia harus memegang janji dan secara laki-laki ia telah mengaku salah terhadap hwesio tua itu.

Kok Kong Hwesio menghela napas lega. "Untunglah mereka itu masih ingat bahwa mereka adalah pendeta-pendeta yang harus memegang teguh kebersihan batin. Sekarang tidak ada bahaya lagi, kalian berdua hari ini juga boleh berangkat ke kota raja dan serahkan pedang itu kepada pemimpin besar, kemudian mintalah agar supaya Liu Mo Kong dibebaskan."

Nyo Liong dan Yang Giok menghaturkan terima kasih kepada Hwesio tua yang baik hati ini dan mereka lalu berangkat secepatnya ke kota raja.

******

Ketika tiba di kota raja, Oey Couw menyambut kedatangan mereka dengan gembira sekali, karena ia telah kenal dan pernah bertemu dengan Nyo Liong yang banyak membantu pergerakannya. Ia menerima pedang Thian Hong Kiam dan mencabutnya dari sarung pedang untuk diperiksa.

"Pedang baik, pusaka bagus. Akan tetapi, apakah artinya pedang ini jika dipegang oleh seorang yang berhati jahat?" Ia lalu menggantungkan pedang pusaka itu pada pinggangnya dan semenjak itu ia tak pernah berpisah lagi dengan pedang Thian Hong Kiam itu.

Dengan senang hati Oey Couw membebaskan Liu Mo Kong yang memang mendapat kebebasan penuh walaupun tinggal di dalam penjara, dan pertemuan antara Liu Mo Kong dan puterinya terjadi sangat mengharukan.

Nyo Liong lalu mengajak tunangan dan calon mertuanya untuk pergi ke rumah orang tuanya, di mana mereka disambut oleh Nyo wan-gwe dengan gembira.

"Oey Couw memang seorang gagah perkasa yang berbudi luhur," kata Pangeran Liu, "akan tetapi sayang sekali, ia tidak pandai memegang pemerintahan, hingga aku sangat kuatir kalau-kalau kekuasaannya takkan bertahan lama."

Kemudian atas persetujuan kedua pihak, perkawinan antara Nyo Liong dan Yang Giok dilangsungkan dengan meriah dan kedua mempelai hidup penuh kebahagiaan.

Ramalan dan kekuatiran Pangeran Liu Mo Kong ternyata terbukti. Tak lama kemudian terjadi rebutan kursi di antara para pembesar yang ingin memperoleh pahala dalam perjuangan yang lalu. Perebutan kekuasaan inilah yang kemudian melemahkan kedudukan mereka.

Sementara itu, kaisar yang melarikan diri ke Secuan tidak tinggal diam. Ia bersekutu dengan tentara Turki Barat yang disebut Shato dan dibawah pimpinan Li Ke Yung. Empat tahun kemudian, barisan Turki dengan sisa barisan kaisar bergerak maju dan menyerang Tiang-an. Pasukan tani yang kini telah menjadi lemah akibat perebutan kekuasaan itu, terpukul hancur hingga kota raja dapat direbut kembali oleh kaisar atas bantuan Li Ke Yung dan barisan Turkinya.

Oey Couw dan sisa anak buahnya lalu melarikan diri ke Honan, kemudian lari terus ke propinsi Shantung. Kemudian, di puncak gunung Tai-san, Oey Couw yang gagah perkasa ini karena merasa sedih dan kecewa oleh gagalnya perjuangannya yang telah mengurbankan banyak jiwa rakyat dan harta benda itu, lalu berdiri seorang diri dengan pedang Thian Hong Kiam terhunus dan terpegang dalam tangannya. Angin pegunungan yang sejuk meniup dan dan membuat ikat kepalanya terlepas hingga rambutnya terurai ke pundak dan berkibar tertiup angin, bersaing dengan ikat pinggangnya yang juga berkibar bagaikan bendera megah.

Ia menegadah memandang awan yang berarak lalu, dan berkata dengan suara nyaring,

"Kaisar lalim! Biarpun perjuangan kami gagal, biarpun laksaan petani dan rakyat kecil terbunuh di ujung pedang, biarpun aku Oey Couw akhirnya harus melarikan diri karena kalah dan gagal, akan tetapi ingatlah "Jiwa perjuangan suci takkan pernah hancur, takkan pernah mati. Para pejuang dan pahlawan rakyat boleh mati, mayat boleh bertumpuk-tumpuk, akan tetapi jiwa dan api perjuangan yang timbul dari pada derita rakyat yang tertindas oleh kaummu yang sewenang-wenang, takkan padam dan selamanya akan berkobar lagi. Kalian lihat dan tunggu saja, akan datang saatnya api ini berkobar dan bernyala hebat dan akan membakar semua penindas dan pemeras, dan akhirnya rakyat yang akan menang. Hidup perjuangan rakyat tertindas."

Setelah berkata demikian, pahlawan yang gagah ini lalu menggunakan pedang Thian Hong Kiam untuk menusuk dada kirinya hingga ujung pedang itu masuk sampai menembus jantungnya. Ia roboh terlentang dengan mata terbelalak, tak berkutik lagi, sedangkan pedang Thian Hong Kiam terpancang di atas dadanya. Angin bertiup lalu sepoi-sepoi .....

TAMAT

Pedang Keramat (Thian Hong Kiam) - ASKPHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang