Bab 1

128K 5K 287
                                    

Devanio Arkan Emeraldi Utama dan Devanio Arlan Emeraldi Utama adalah putra kembar yang dilahirkan Inka beberapa bulan pasca Gibran meninggal. Arkan mempunyai rambut hitam legam serta wajah yang benar-benar memperlihatkan ciri khas orang Indonesia, sedangkan Arlan berambut pirang, alis tebal, hidung mancung, bibir kemerahan, tak terlihat seperti kembaran Arkan justru wajahnya akan sanggup mengingatkan siapapun pada sosok Gibran saking miripnya. Setelah mendengar penuturan dokter yang menyatakan kalau Arkan sang kakak jauh lebih lemah dari adiknya membuat Inka juga Devan ketakutan, takut kalau mereka akan kehilangan putra mereka lagi. Rasa takut itu pula yang menyebabkan Arlan diasingkan ah-- dititipkan tepatnya dengan alasan ingin fokus mengurus Arkan.

"Adek jangan nakal, ya, sama Nenek. Bunda marah kalau dengar Ade nakal. Bunda ke Bandung satu bulan sekali."

"Kenapa Adek nggak boleh sama Aa, Bunda? Adek juga mau sama Bunda sama Ayah di Jakarta."

"Aa sakit. Bunda harus fokus mengurusi Aa, nanti kalau Adek sudah besar baru boleh ke Jakarta."

Arlan yang pada waktu itu baru berusia tujuh tahun hanya bisa mengangguk pasrah. Sambil menunduk bocah laki-laki itu menghampiri sang kakak kemudian menggenggam tangannya,"Aa, cepat sembuh, ya? Adek pasti doain dari sini."

Dengan satu tarikan Arkan memeluk erat kembarannya,"Adek jaga diri di sini. Harus sayang sama Nenek dan Kakek."

Arlan mengepalkan tangannya. Emosinya kerap kali tersulut ketika mengingat semua kenangan itu. Nyaris sepuluh tahun Ia hidup terpisah dari ayah, bunda, juga kembarannya. Satu bulan sekali yang dijanjikan sang bunda tak kunjung ditepati. Setiap dihubungi mereka selalu beralasan, entah Arkan sakit, ayahnya sibuk, juga alasan-alasan lain yang sanggup memupus keceriaan Arlan.

"Adek ... "

Arlan menoleh dan mendapati Salma sang nenek sudah berdiri di belakangnya,"Ada apa, Nek?"

"Adek kenapa melamun? Adek teh kangen, ya, sama Bunda, sama Ayah?" Salma mengusap puncak kepala Arlan.

Arlan menggeleng cepat. Sebisa mungkin Ia menghapus kerinduan yang ditujukan kepada orang tua juga kembarannya. Mereka jahat dan Arlan benci mereka semua.

"Adek jangan bohong sama Nenek. Nenek tahu apa yang Adek rasakan sekarang."

Arlan tersenyum getir,"Adek nggak perduli lagi sama mereka semua, Nek. Mereka nggak sayang sama Adek. Jadi untuk apa Adek mengharapkan mereka?"

"Hush ... Nggak boleh begitu, pamali durhaka sama orang tua. Nenek nggak pernah ajarin Adek bicara seperti itu."

"Adek sudah cukup senang punya Nenek sama Kakek."

"Nanti biar Nenek telfon Bundamu, ya?"

"Nggak usah, Nek. Adek pamit dulu, ya, mau ke rumah Gilang."

"Mau apa? Sudah mau magrib, Dek. Nanti Kakek marah."

"Sebentar," setelah mencium punggung tangan Salma, Arlan langsung ngabrit meninggalkan rumah neneknya.

***

Inka mengapit sebuah ponsel dengan kepalanya. Kedua tangannya sibuk memeras sebuah handuk kecil untuk mengompres Arkan. Karena tidak sengaja kehujanan ketika pulang sekolah, akhirnya Arkan jatuh sakit.

"Iya, Ma, Inka tahu. Tapi Arkan lagi sakit. Inka nggak bisa ke Bandung sekarang. Ada apa emang, Ma?"

"Arlan butuh kamu, Inka! Sudah sepuluh tahun kamu tidak pernah menjenguknya. Kamu pikir seperti apa perasaan Arlan saat ini?"

NOTHINGWhere stories live. Discover now