Seandainya broken happy ending

11.9K 500 80
                                    

Baca sampai habis!

Hallo, ini bukan ekstra part atau apa pun, ya. Di sini aku mau ajak kalian kembali berandai-andai. Aku kangen sama Gibran :")

Sumpah ya aku sayang banget sama Gibran. Mungkin karena proses penulisannya pun terlalu berkesan buat aku. Makanya aku suka sedih kalau cerita-ceritaku ditiru karena mereka enggak tau gimana susahnya nulis cerita ini dulu; di mana aku benar-benar baru mulai menulis cerita dengan genre berbeda. Apalagi kalau adegan yang ditiru itu bukan yang biasa dialami banyak orang :")

Jadi, untuk mengobati rasa kangenku sama temenku yang hari ini ulang tahun, Gibran, si kembar, pembaca lamaku, juga kalian yang baru aja mampir, aku mau nulis satu part yang isinya tentang "Seandainya Broken happy ending."

Aku kembali menghilang setelah ini. Sampai ketemu bulan depan! 😘

Selamat membaca 😊

💔💔💔

Seandainya kebenaran tak menuntunnya pada sebuah kehilangan, mungkin sampai saat ini Aura tetap tertahan dalam penantian tanpa kepastian.

Dan seumpama sosok Gibran tak pernah Tuhan kirim untuk menjadi teman hidupnya, boleh jadi hingga detik ini Aura tidak akan pernah mengerti arti mencintai yang sesungguhnya, atau sekadar menemukan hikmah di balik kehilangan.

Aura perempuan yang beruntung. Kehilangan Raka diganti Tuhan dengan kebahagiaan yang luar biasa.

Lihatlah putri kecilnya yang kini berlarian bersama si kembar. Gia namanya. Nama sederhana itu tercetus dari gabungan namanya juga Gibran. Gibran-Aura.

"Mama Om Alan nakal!" Gadis itu berlari kecil ke arah sang mama, berusaha meloloskan diri dari kejaran Arkan dan Arlan. Mereka berdua terus mengusilinya. Rambut Gia yang semula terkepang rapi, tahu-tahu sudah berantakan.

"Dek, ah, diusilin terus ponakannya. Masukin lagi ke rahim Bunda nih!" Gibran misuh-misuh melihat putri kesayangannya diperlakukan seperti itu.

Kontan Arkan dan Arlan tergelak mendengar pernyataan Gibran. Keponakan mereka terlalu menggemaskan, enak untuk dijahili. Jika Arkan senang menggelitik Gia, Arlan justru hobi memainkan pipi gembul anak itu.

Melihat dua adiknya tertawa, Gibran semakin sebal saja. Si kembar memang begitu, ada saja ide untuk membuat Gia menangis.

"Udah, Gibran. Biarin aja, lagian Gia juga enggak diapa-apain kok," kata Aura menenangkan.

"Tapi, Aur ... Arkan sama Arlan tuh ngeselin banget." Gibran menyahuti dengan bibir mengerucut. Luntur sudah wibawa lelaki itu di depan putrinya. Gibran masih orang yang sama dengan beberapa tahun silam, laki-laki manja. Bedanya, Gibran saat ini memiliki tubuh yang lebih atletis dibanding dulu.

Aura mengangkat sebelah tangan, lalu mencubit bibir kemerahan suaminya. Sudah memiliki satu anak, tetapi masih saja bersikap demikian. Gibran marah saat adik-adiknya mengusili Gia, padahal dulu ia juga sering menjahili Arkan dan Arlan. Bahkan pernah suatu ketika Arlan dililitnya dengan kain——hanya menyisakan bagian kepala——lalu dibiarkan menangis di ayunan taman belakang rumah mereka. Arkan diperlakukan lebih sadis lagi. Karena anak itu mengganggu Gibran ketika sedang makan, Gibran tak segan-segan menuangkan kecap pada kepala Arkan. Alhasil, rambut hitam yang selalu dijaganya berubah lengket.

"Aa, Adek, makan dulu sini."

Mereka kompak menoleh ke sumber suara dan mendapati sang bunda sudah berdiri tak jauh dari mereka. Meskipun tak muda lagi, tetapi Inka masih tampak segar. Begitu juga suaminya. Devan banyak berubah setelah putra pertamanya berhasil meloloskan diri dari penyakit mengerikan itu. Ia tak lagi kasar dan suka main tangan. Bahkan, caranya membesarkan Arkan dan Arlan jauh berbeda dengan Gibran dulu.

NOTHINGWhere stories live. Discover now