Father's Day

2.2K 135 11
                                    

Gadis berusia enam tahun dengan mata sendu itu memandangi bayangannya yang terpantul di cermin, sebuah senyuman tampak di wajahnya. Rambutnya di kuncir dua, gaun berwarna pink kesukaannya di ikat dengan pita di belakangnya. Hari ini adalah Hari Ayah di sekolah, dan dia tidak sabar untuk pergi.

"Viny?" dia mendengar suara lembut feminim memanggil namanya.

"Ya, Mama?" Viny menoleh ke arah kanannya, melihat ibunya yang berdiri di depan pintu.

Shania perlahan menghampiri anaknya, kesulitan berjalan dengan perutnya yang besar. "Mama rasa kamu seharusnya tetap dirumah, Vin... teman-temanmu mungkin tidak akan mengerti," dia menasihati putrinya dengan khawatir, berharap dapat mengubah pikiran Viny.

Tapi gadis kecil itu tidak takut, karena dia tahu apa yang harus dikatakan. "Mama, Viny tau apa yang harus aku katakan pada teman-temanku."

Tetap saja, ibunya khawatir padanya harus menghadapi hari ini seorang diri. "Viny... apa kamu benar-benar yakin? Kita bisa melakukan sesuatu yang lain..." dia memohon pada anaknya, mencoba membuatnya putrinya tetap dirumah dan jauh dari rasa sakit.

"Aku ingin hadir, Mama. Aku ingin menceritakan pada mereka tentang Ayah." Ucap Viny bersikeras, tidak sabar untuk menceritakan pada mereka semua tentang ayah tercintanya.


-----------------------


Viny duduk di kursinya, sebuah senyuman terpasang di wajahnya. Dia merasa bersemangat untuk memperkenalkan ayahnya yang sudah beberapa bulan ini tidak dilihatnya.

Shania berada di belakang ruangan. Berdiri bersandar pada dinding dengan para ayah dari murid-murid lainnya. Dia merasa salah tempat karena dialah satu-satunya Ibu yang menonton acara kecil yang terjadi di depan kelas, tapi dia tidak peduli. Yang dia pikirkan adalah putrinya yang akan segera mendapatkan gilirannya.

Para murid menggeliat tidak sabaran, cemas di kursi mereka masing-masing. Satu-persatu, guru memanggil seorang murid dari kelas untuk memperkenalkan ayah mereka di depan kelas.

Beberapa menit perlahan berlalu, akhirnya guru memanggil namanya. Viny berdiri tidak terpengaruh di depan kelas, saat mata penasaran semua orang terfokus padanya dan tempat kosong di sampingnya, setiap dari mereka mencari ayahnya yang tidak ada disana dengannya.

Shania merasa hatinya nyeri, melihat putrinya berada dibawah tatapan tajam semua orang yang hadir didalam ruangan. Dia sangat ingin membawa putrinya pulang sebelum anaknya tersakiti.

"Dimana ayahnya?" Viny mendengar seorang teman sekelasnya bertanya.

"Dia mungkin tidak punya ayah," murid lain berani berteriak.

Dan dari suatu tempat di belakang kelas, Viny mendengar seorang bapak berkata, "Sepertinya ayah yang tidak bertanggung jawab – terlalu sibuk untuk acara seperti ini."

Tapi kata-kata mereka tidak melukai hatinya, saat dia tersenyum kepada ibunya yang berdiri dengan tidak nyaman dengan segerombolan bapak-bapak yang sedang menonton. Dia menoleh kearah gurunya, bertanya-tanya apakah dia sudah boleh mulai.

"Silahkan, Viny." Gurunya mempersilahkan dengan lembut. Dia, juga, bertanya-tanya dimana ayah Viny berada.


-----------


Viny meletakkan tangannya di belakang saat dia perlahan mulai mengucapkan kata-kata yang sudah diingatnya dengan segenap hati.

"Ini pertama kalinya ayahku tidak disini untuk merayakan Hari Ayah bersamaku, karena dia tinggal ditempat yang sangat jauh sekarang, tapi aku tahu dia berharap dia dapat hadir karena ini hari yang sangat spesial. Dan walaupun kalian tidak dapat bertemu dengannya, aku ingin kalian mengetahui semua tentangnya dan betapa dia sangat menyayangiku.

Ayahku senang sekali membacakan cerita sebelum tidur untukku dan bermain denganku sepanjang hari. Dia dengan sabar mengajariku berenang dan mengendarai sepeda. Dia mengajariku tentang bintang dan bagaimana cara meraih mereka saat aku sudah dewasa, dia mengajariku banyak hal – yang tidak akan pernah aku lupakan."

Mata Shania mulai dipenuhi oleh air mata – terharu akan keberanian putrinya dan pilihan kata-katanya. Dia merasakan hatinya sakit karena mengingat kenangan nostalgia akan suaminya yang sedang dia coba dorong ke sudut terjauh pikirannya.

"Dia selalu mengejutkanku dengan sekotak coklat setiap kali aku sedih. Dia selalu memelukku saat malam ketika aku tidak bisa tidur, melindungiku dari monster sepanjang malam. Dia tidak pernah lupa untuk mengungkapkan betapa dia mencintaiku dan Mama setiap kali dia memiliki kesempatan.

Aku selalu menulis surat padanya karena dia tinggal sangat jauh. Aku menceritakan padanya bagaimana hari-hariku dan betapa aku menginginkannya di rumah. Tidak ada satu haripun berlalu tanpa aku memikirkannya... tidak sesaatpun berlalu tanpa aku merindukannya."

Suara Viny kecil pecah ketika mendekati akhir, merasakan kesedihan merasuki hati kecilnya. Dia terdiam beberapa saat, mengedipkan matanya yang berkaca-kaca beberapa kali untuk mencegah airmata terbentuk. Menghela napas dalam, dia melanjutkan ceritanya.

"Dan walaupun kalian tidak bisa melihatnya, aku tahu aku tidak berdiri sendirian disini... karena Ayahku selalu bersamaku walaupun kami terpisah. Aku tahu karena dia memberitahuku... bahwa dia akan selamanya ada di hatiku."

Dengan begitu, tangan kecilnya terangkat dan diletakkan di atas dadanya – merasakan detak jantungnya sendiri di balik gaun kesukaannya.

Dari kerumunan para ayah, Shania berdiri sambil berlinangan air mata, menatap bangga pada putrinya yang lebih bijaksana dari anak seusianya. Dia tidak bisa percaya bahwa Viny kecilnya berdiri demi ayah yang sangat dicintainya, yang sudah tidak ada lagi di kehidupan ini.

Viny menjatuhkan tangannya, menatap lurus pada kerumunan. Dia memperlihatkan senyuman pada mamanya; matanya turun kearah perut besar Shania.

"Aku punya adik kecil yang belum kulihat. Dia masih tumbuh disana didalam perut Mamaku. Aku merasa kasihan padanya, karena dia tidak akan pernah bisa bertemu ayah kami, tapi aku tahu Ayah akan melindunginya... karena dia memperhatikan kami dari atas."

Beberapa orang di kerumunan melepaskan napas pelan, sekarang menyadari betapa tidak pekanya mereka tadi... sekarang menyadari dimana sebenarnya ayah Viny berada.

Viny mengakhirinya dengan suara sangat pelan, tapi pesannya jelas dan lantang. "Aku sangat mencintai Ayahku; dia adalah bintangku. Dan jika dia bisa, dia akan berada disini... tapi surga terlalu jauh."

Shania menutup mulutnya dengan kedua tangannya, berusaha menahan isakannya, saat berbagai perasaan menjalari nadinya.

"Tapi terkadang, saat aku menutup mataku... rasanya seperti dia tidak pernah pergi."

Lalu Viny memejamkan matanya dan melihat Boby disana bersamanya hari itu.

Dan Shania takjub, dia menyaksikan dengan terkejut. Sebuah ruangan penuh dengan para bapak-bapak dan anak-anak kecil, semua mulai memejamkan mata mereka.

Siapa yang tahu apa mereka lihat dihadapan mereka, siapa yang tahu apa yang merasakan dalam hati. Mungkin untuk sepersekian detik, mereka melihat ayah gadis itu di sampingnya.

"Aku tahu kau bersama denganku, Ayah," Viny berbisik pada kesunyian saat air mata terjatuh dari matanya. Walaupun dia masih sangat muda mungkin, hati kecilnya masih sakit memikirkan bahwa ayahnya tidak akan pernah bisa pulang kerumah.

Dan apa yang terjadi selanjutnya akan membuat orang-orang itu, yang awalnya dipenuhi rasa tidak percaya, mejadi linglung. Tidak seorangpun di ruangan itu dapat menjelaskannya, karena mata mereka semua terpejam, saat mereka melihat disana di meja yang berada disampingnya...


Sebuah kotak penuh dengan coklat.


Dan seorang anak telah diberkati, walaupun hanya sesaat, oleh cinta dari bintangnya. Dan diberikan hadiah yang membuatnya percaya... bahwa surga tidak pernah terlalu jauh.

MementoWhere stories live. Discover now