I

74 5 2
                                    

     Getaran jam beker yang terdengar keras di telinga-ku semakin membuatku kesal. Posisi tidurku yang menyamping dan kepalaku menghadap langsung sisi kiri meja, membuat bibirku kapanpun bisa mencium meja tersebut.

    "Astaga!", kata pertama yang aku ucapkan sambil menatap langit - langit kamarku, seketika aku pun bangun.

    30 menit yang lalu, baru saja ku pencet tombol yang ada di jam beker, dengan maksud mematikan jam beker tersebut. Aku baru saja kesiangan. Hari ini adalah hari senin. Seperti layaknya siswa lain di sekolahku, atau di semua sekolah di negeriku, entah kenapa hari senin adalah hari yang paling dibenci. Mungkin, karena sebelum hari senin adalah hari minggu, hari dimana kita semua bisa bersantai di rumah, tanpa ada tugas apapun, meski ada pekerjaan rumah atau pekerjaan lain diluar akademis. Tetapi, kata 'libur' mungkin bisa membuat kita senang meski ada tugas yang diberikan atau harus diselesaikan.

    Aku pun berjalan ke arah kamar mandi sambil membawa handuk dan peralatan mandi. Ayahku, sedang sibuk memasak telur dadar di dapur. Sambil jalan, aku berfikir 'apa yang aku lakukan semalam?' . Aku baru saja ingat, kemarin malam aku tidur sekitar pukul satu. Mungkin anak lain sebayaku sudah terlelap dalam mimpi bersama guling dikamarnya. Tetapi, aku sibuk bersama laptop malam itu. Ini mungkin penyakitku selama ini, selalu menunda tugas. Sampai semua menumpuk, baru aku kerjakan. Dan malam itu, aku mengerjakan semua tugas yang sudah menumpuk, meski belum selesai semua.

   Setelah selesai mandi, aku segera memakai seragam sekolah dan bersiap untuk sarapan. Aku mengambil tas dan memasukan laptop di dalamnya. Aku pun berjalan ke arah ruang makan dengan dua buah piring serta dua buah telur diatasnya tertata rapih. Ayahku berjalan dari ruang lain bersama dua buah susu yang baru selesai ia buat sambil menatapku. Aku pun duduk seirama dengan ayahku.

   "Dasimu mana?", tanya ayahku. OH TUHAN, aku lupa memakai dasi. Mungkin karena faktor kesiangan dan terburu - buru, akupun melupakan hal kecil yang memang penting.

   "Sebentar.", jawabku sambil pergi dari ruang makan dan mengambil dasi.

    Setelah hal kecil tadi menganggu sarapanku, aku pun kembali ke ruang makan. Aku menyantap sarapan dengan terburu - buru karena waktu sudah semakin siang. Seperti biasa, tidak ada percakapan yang panjang menemani santap pagi pada hari - hari biasa. Kami memang jarang berbicara. Aku pun menyelesaikan sarapan dan mengecek jam. 30 menit lagi gerbang akan di tutup di sekolahku. Sekolahku adalah salah satu sekolah yang favorit di kotaku. Nilai rata - rata temanku juga terbilang bagus. Serta, fasilitas sekolah yang memadai demi kelangsungan proses belajar mengajar.

   Aku pun pergi ke sekolah dengan motor 'setengah' gede hadiah ulang tahunku saat aku baru saja naik ke jenjang menengah atas. Ayahku menawarkanku sebuah mobil, tetapi aku lebih prefer menggunakan motor. Karena, ya, memang penggunaannya yang mudah, juga bisa menghindari macet. Well, kotaku salah satu kota dengan tingkat kemacetan tertinggi dan traffic terburuk. Itu mengapa aku lebih prefer dan memilih menggunakan sepeda motor.

   Yap, benar sekali, dari dalam kaca helm motorku, terlihat ekor kemacetan yang mulai menumpuk. Bising suara knalpot sepeda motor bercampur klakson yang dibunyikan, menjadi irama yang membuat semua orang jengkel. Apalagi ditambah dengan bau yang dihasilkan dari polusi udara, sungguh miris sekali. Aku pun dengan cermat menyalip kendaraan dengan harapan bisa melewati kemacetan - kemacetan tersebut. Baru kusadari, waktu sudah lewat 5 menit dari ditutupnya gerbang. Aku pun mempercepat laju sepeda motor yang kunaiki. Sesampainya di parkiran, aku pun menaruh helm dan bergegas pergi ke gerbang.

   Tepat sekali dugaanku, upacara dimulai. Yang sulit disadari, ternyata aku satu - satunya orang yang terlambat waktu itu. Aku pun melihat penjaga gerbang yang tegap berdiri di depan gerbang. Dengan sigap, aku menghampiri penjaga gerbang tersebut.

   "Pak kok di tutup sih? Saya baru telat 5 menit lho pak!", aku mencoba membantah si penjaga dengan harapan ia mau membukakan gerbang ini untukku.

   "Mau satu menit, mau dua menit, kalo telat ya telat aja, Jan.", jawab si penjaga dengan muka datar.

   Aku kesal mendengar jawaban si penjaga. Aku berfikir bagaimana teman satu kelasku mentertawakanku karena ulahku ini. Karena sebelumnya, jarang sekali aku telat. Belum lagi wali kelasku yang cerewet, dan di pelajaran pertama nanti adalah pelajaran Matematika dengan guru yang sering disebut guru killer oleh satu sekolah. Aku juga menjabat menjadi seorang ketua kelas di kelasku. Maka akan malu sekali jika saat masuk guruku mencemooh seorang ketua kelas yang terlambat. Ah, whatever. Seharusnya memang karena ini ulahku, aku harus menerima konsekuensi yang aku dapatkan nanti. Aku menghela nafas sambil menyenderkan badan di dinding depan sekolah, menunggu upacara selesai.


Precious WayWhere stories live. Discover now