VII : Tangannya In Boe Yang

1.2K 13 0
                                    

Boe Yang menghela napas panjang.
"Selama beberapa hari ini kau telah melihat sesuatu, kau mendengar sesuatu juga," berkata ayah ini. "Ibumu, Tan Hian Kie, juga Siangkoan Thian Ya, pasti telah mengucapkan sesuatu tentangku di hadapanmu, maka tidaklah heran jikalau kau sangat menyesalkan aku."
"Tan Hian Kie tidak membilang suatu apa tentang ayah." menerangkan si anak.
"Aku ketahui apa yang mereka itu perkatakan. Semua itu benar atau salah, tidak hendak aku membantahnya. Memang dulu hari itu aku pernah berdaya merampas kitab ilmu pedang kakekmu itu dan sekian lama aku telah perlakukan dingin pada ibumu, itulah suatu kenyataan. Jikalau mereka cela aku, aku tidak gusar."
Kedua tangannya So So bergemetaran, dengan itu ia menutup mukanya.
"Kenapa ayah perlakukan dingin pada ibu?" dia menanya. "Aku dengar, di waktu ibu menikah dengan ayah, ibu sudah mengurbankan cintanya satu ayah dengan anak gadisnya. Ialah ibu telah menolongi ayah mencuri pedang itu. Apakah Prbuatan ibu itu terhadap ayah masih tidak cukup
"Dalam hal itu memang aku yang tidak berbuat selayaknya," In Boe Yang mengaku. "Sebenarnya saja aku menikah dengan ibumu itu untuk kitab itu."
Si nona menjerit tajam, ia mundur dua tindak. Bukan main sakit hatinya. Tidak pernah ia menyangka ayah ini akan mengaku terus terang secara demikian, menjadi benar apa yang orang telah memberitahukan kepadanya.
Terdengar In Boe Yang berkata pula, dengan sabar sekali.
"Anak, kau polos dan bersih sekali," katanya, "kau tidak dapat mengijinkan orang berbuat keliru sedikit juga. Adakah cuma karena ini urusan remeh maka kau menjadi takut?"
"Apakah cuma karena ini?" si anak mengulangi. "Belasan tahun kau telah perlakukan dingin pada ibu, adakah itu suatu urusan remeh?"
Boe Yang tertawa, tertawa sedih.
"Selama hidupku, aku telah melakukan sejumlah kesalahan," ia berkata pula, "apa yang mereka itu bilang, ada yang dusta. Tapi, umpama kata semua itu benar, itu pun tidak berarti apa-apa. Yang paling membikin aku bersusah hati adalah satu kesalahan besar yang aku telah perbuatnya. Di kolong langit ini, tidak ada seorang jua yang mengetahui itu. Selama ini belasan tahun, itulah yang membikin aku sangat menyesal. Ya, So So, mengertikah kau apa yang membuatnya hati orang paling bersengsara? Itulah melakukan suatu dosa tanpa ada orang lain yang mengetahuinya, tidak ada orang yang menegurnya, hingga dia menjadi tersiksa sendirinya, tersiksa bathinnya. Inilah hukuman yang paling kejam di kolong langit ini! Kaulah anak yang aku paling cinta, sekarang aku hendak memberitahu padamu. Untuk itu aku bersedia untuk kau tegur, untuk kau ludahi..."
Inilah hal yang tidak disangka-sangka. In Boe Yang yang demikian kosen, suatu jago, berbicara secara demikian menyedihkan, ia mirip seorang penjahat di muka seorang hakim, hingga ia rela meminta teguran puterinya sendiri. Tadinya mukanya pucat, sekarang paras muka itu menjadi merah. Itulah tanda dari bergolaknya sanubarinya, hati nuraninya. Tetapi So So pun mendapat goncangan hati yang terlebih hebat lagi, mulanya dia kaget, lalu dia menjadi heran, akhirnya dia menjadi ketakutan, menjadi berkasihan.
"Ayah, kau bicaralah," katanya, suaranya mengemetar. "Kesalahan besar apa juga kau telah lakukan, So So tetap anakmu."
Boe Yang telah mengkerut alisnya, sekarang ia dapat buka itu.
"Pada duapuluh tahun yang lalu..." katanya. "Ah, tunggu dulu, hendak aku melihat yang mana yang telah datang berkunjung..."
So So ingin minta ayahnya cerita terus, tetapi ketika ia sudah memasang kupingnya, ia mendengar suara tak wajar, mulanya jauh di pekarangan luar, atau lekas juga telah berada di pekarangan dalam. Itulah suara dari beberapa orang.
"So So, kau berdiam di dalam kamar ini, jangan kau keluar," berkata sang ayah. Ia nampaknya gelisah jauh melebihkan daripada datangnya Tjio Thian Tok.
So So melihat keluar dari antara jendela. Ia melihat lima orang tua berdiri berbaris di dalam pekarangan dalamnya. Tiga antaranya toosoe atau imam, yang dua lagi orang biasa, hanya yang satu gemuk yang lain kurus, mereka ini mirip dengan seorang dusun dan seorang guru sekolah.
In Boe Yang tertawa terbahak-bahak.
"Boetong Ngoloo datang berbareng sungguh suatu kehormatan untukku!" berkata dia dengan nyaring. Boetong Ngoloo itu ialah lima tertua dari Boetong Pay.
So So terkejut. Ia pernah mendengar namanya lima tertua itu dari ayahnya. Boetong Pay diakui umum sebagai suatu partai persilatan yang terbesar di jamannya itu dan muridnya pun paling banyak, di antaranya ada murid imam, ada juga murid orang biasa, artinya yang tidak mensucikan diri. Dan ketiga imam ini adalah tiangloo-tiangloo dari Boetong San, yaitu Tie Wan Tiangloo si ketua, Tie Hong Tiangloo si penilik, dan Tie Kong Tiangloo kepala dari pendopo Tat Mo Ih. Orang yang mirip orang dusun itu ialah Tjioe Tong, salah satu tertua Boetong Pay dari kalangan orang biasa, dan yang seperti guru sekolah ialah Kok Tjiong, juga satu tertua dari kalangan orang biasa itu, hanya yang satu dari Boetong Pay golongan Utara, Pak Pay, yang lain dari golongan Selatan, Lam Pay. Mereka ini berdua satu di selatan dan satu lagi di utara, terpisah jauh satu dengan lain, tetapi sekarang mereka ada bersama tiga tertua dari Boetong San, itulah bukan kejadian yang biasa saja.
"Tanpa ada urusan tidak berani kami datang berkunjung," berkata Tie Wan Tiangloo. "Hari ini kami datang untuk meminta orang."
Imam ini bicara dengan singkat dan terang tentang maksud kedatangannya itu.
In Boe Yang sudah dapat menduga apa yang orang akan mengatakannya. Coba Boetong Ngoloo datang pada dua hari yang lalu, pastilah ia mau menganggap mereka mengancam dan dia bakal menjadi gusar sekali. Tapi sekarang, setelah ia mendapatkan pengalamannya yang paling belakang ini, hatinya sudah menjadi dingin.
"Kamu meminta orang, inilah gampang," sahutnya. "Silahkan masuk dulu untuk minum teh."
Jawaban ini di luar dugaannya ke lima tetamu itu. Mereka menyangka bakal terjadi satu pertengkaran, tidak dinyana, Boe Yang lantas saja menerima baik.
"Di mana adanya Siangkoan Thian Ya sekarang?" Tie Hong tanya. "Apakah kau sudah berbuat atas dirinya ahli waris dari Boetong Pay kami?"
Tjioe Tong ada seorang yang keras adatnya, tanpa menanti Tie Hong berhenti bicara, ia sudah turut campur bicara.
"Jikalau gampang, lekas kau antar dia keluar!" bentaknya. "Siapa mempunyai kesempatan untuk meminum air tehmu?"
Wajahnya Boe Yang menjadi muram, akan tetapi ia masih dapat mengendalikan diri. Ia berdongak dan tertawa bergelak.
"Jikalau Ngoloo tak tenang hatinya, marilah kita pergi," ia menjawab. "Malah kita lihat apakah aku orang she In telah perlakukan tak selayaknya kepada ahli waris kamu."
"Ayah!" berkata So So dari balik jendela. Ia ketahui ayahnya bakal kecele.
Ia hendak lompat keluar jendela, ketika ia dengar ayahnya berkata dengan lunak: "So So, tak usah kau campur urusan ini. Aku berjanji padamu hari ini aku hendak berbuat murah hati untukmu, kau jangan buat kuatir."
Selagi ayah ini berkata-kata mereka sudah berjalan keluar dari pintu besar dan mulai berlari-lari mendaki bukit. Suaranya Boe Yang itupun dikeluarkan menurut suara tenaga dalam.
Si nona menjadi bingung, ia berlari keluar, untuk menyusul. Baharu ia menikung atau ia telah melihat ayahnya itu dan Boetong Ngoloo sudah berada di depan guha. Hanya Boe Yang segera menjadi kaget sekali, sebab pintu guha ambruk runtuh. Ia mendahului lari masuk ke dalam guha itu, akan akhirnya dengan murka ia berseru: "Kamu sudah bekerja sama merusak pintu guhaku ini, sekarang kamu datang untuk meminta orang!" Ia lantas menyangka, menuduh lima tertua itu.
Tie Hong pun menjadi terlebih murka.
"Kau seorang kenamaan!" bentaknya. "Kenapa kau mendusta begini macam?"
"Di mana kau tahan ahli waris kami?" Tjioe Tong menanya. "Benarkah kau telah menganiaya dia?"
Dalam murkanya, jago Pak Pay ini sudah lantas menyerang dengan pukulannya "Mega menutup gunung Tjhong San," lima jari tangannya menyambar ke tulang piepee dari tuan rumahnya.
Boe Yang tertawa dingin. Belum lagi serangan tiba, ia sudah menangkis sambil menyambar dan diteruskan dengan satu tarikan, maka tidak ampun lagi, Tjioe Tong kena tertarik keluar guha. Di ambang pintu, tuan rumah itu berdiri tegar.
"Jikalau kamu hendak bertempur, marilah di luar!" tantangnya. "Jangan di dalam, nanti kamu membikin rusak kamar samedhiku!"
Tie Wan Tiangloo sabar sekali.
"Kami bukannya bangsa buaya darat," ia berkata, "maka silahkan kamu berdua menghentikan tangan kamu. Mari kita bicara dulu, untuk mengetahui kenyataan, benar atau salah akan terbukti belakangan."
Kata-kata itu kelihatannya menegur kedua pihak, tetapi sebenarnya Tjioe Tong yang dilindungi.
Boe Yang sangat mendongkol, tetapi untuk memegang derajat, ia menahan sabar. Ia telah berketetapan untuk tidak takuti mereka itu.
Tie Wan yang keluar paling belakang. Ia memeriksa ke tanah di pintu.
"Kiesoe membilangnya pintu guha ini kamilah yang merusak," ia berkata, tenang. Wiesoe adalah seorang kenamaan, pasti kau dapat melihatnya. Kami benar mengerti juga sedikit ilmu silat tetapi inilah bukan perbuatan kami. Kiesoe periksa sendiri, bukankah ini hanya serangan tangan dari satu orang? Kenapa kiesoe menuduh kami, adakah itu disengaja?"
Hatinya Boe Yang bercekat. Ia lantas memeriksanya. Memang, kalau dihajar berlima dengan berbareng, akibatnya tidak nanti berupa demikian macam. Ia telah terlepasan omong. Ia menduga demikian karena Thian Tok sudah mati dan ia menyangka tidak ada lain orang yang melebihkan Thian Tok kecuali Boetong Ngoloo ini. Sekarang ia disenggapi imam tua itu.
"Ya, aku telah melihat keliru," katanya, mengaku. "Kalau begitu, Siangkoan Thian Ya sudah melarikan diri."
"Hm!" Tie Hong Tiangloo tertawa dingin.
"Pintu guha ini kau yang menggempurnya sendiri, sekarang kau menuduh kami, bagus benar, Apakah maksudmu?"
"Dia sudah mengaku salah sudahlah," Tie Wan Tiangloo menyelak. "Sekarang kami cuma perlu meminta orang!"
"Kau telah mengurung ahli waris kami, lalu kau juga sengaja menggempur pintu guhamu!" Tjioe Tong campur bicara. "Hm! Kau sengaja hendak menimpakan kesalahan kepada lain orang! Sebenarnya, apakah kau telah perbuat atas ahli waris kami itu?"
Makin hebat pertanyaannya rombongan Boetong Ngoloo itu.
In Boe Yang menjadi gusar.
"Untuk membinasakan Siangkoan Thian Ya, perlu apa aku sampai memakai segala akal begini?" ia berseru. "Asal aku lemparkan dia ke gunung untuk digegarasi serigala, lalu aku menyangkal, apa kamu bisa bilang?"
Alasan ini dapat diterima baik. Memang, perlu apa Boe Yang memakai akal yang berbelit-belit itu bahkan merusak percuma-cuma pintu guhanya? Tetap, Boetong Ngoloo berpendapat: "Kecuali In Boe Yang, tidak ada orang lain setangguh dia."
Boe Yang berkata pula: "Kamu lihat bagian dari guhaku ini, di tembok penuh segala coretan ilmu silat yang aku sedang yakinkan, dengan ini kamu bisa menduga kenapa aku kurung Siangkoan Thian Ya di dalam guha ini. Mustahilkah kamu tidak dapat melihat maksudku yang baik?"
"Tetapi itulah kata-katamu sendiri!" kata Tie Kong dingin. "Siapa yang ketahui maksudmu yang sebenarnya?"
"Memang!" Kok Tjiong membenarkan kawannya itu. "Kau mengurung dia di sini atau tidak, siapakah yang mengetahuinya? Umpama kata benar kau kurung dia di sini, habis kau menggempur pintunya, tidakkah itu bukan berarti kau berniat kurang baik terhadap dirinya?"
"Kecuali kau cari Siangkoan Thian Ya, iblis pun tak akan mempercayaimu!" Tie Hong putuskan.
Selagi Boe Yang belum sempat menjawab tertua-tua Boetong Pay itu, tiba-tiba terdengarlah satu suara yang halus tetapi terang: "Memang benar Siangkoan Thian Ya dikurung di dalam ini guha akan tetapi pintunya bukanlah ayahku yang menggempurnya."
Di antara mereka segera muncul seorang nona. Mereka semua orang lantas berpaling dan mengawasi nona itu.
"Nona In, kau hendak menjadi saksi untuk ayahmu?" Tie Hong Tiangloo tanya. Pertanyaan itu bersifat mengejek.
So So berdiri tegak, sikapnya halus tetapi keren.
"Memang aku menjadi saksi di pihak ayahku," ia mennyahut, tenang. "Tadi malam aku sendiri telah datang kemari dan aku telah bertemu sama Siangkoan Thian Ya. Adalah maksudku untuk menolong memerdekakan dia tapi dia menolak." Ia terus menoleh kepada ayahnya dan berkata: "Ayah, kau toh tidak marahkan aku bukan?"
"Nona In bermaksud baik sekali!" kata Kok Tjiong tertawa.
"Memang juga di bawahan panglima gagah tak ada serdadu yang loyo!" Tie Hong turut mengejek. Teranglah mereka tidak sudi percaya nona itu. In Boe Yang menjadi sangat mendongkol dan gusar. Tidak apa orang tidak mempercayai dia, tetapi anak daranya tidak dipercaya juga, inilah hebat, itulah satu penghinaan terhadap dirinya. Tiba-tiba saja ia menghajar sebuah batu besar di dekatnya hingga batu itu pecah hancur berhamburan!
Boetong Ngoloo terkejut, segera mereka mengambil sikap bersedia untuk bertempur.
"Kau memaksakan keteranganmu, karena kau tidak berhasil, kau menjadi malu dan gusar, bukankah?" Tie Wan Tiangloo tanya.
"Untuk bicara dengan pantas, aku mesti lihat dulu pihak sana pantas diajak bicara atau tidak!" berkata Boe Yang, yang tertawa terbahak. "Karena kau bilang aku memaksakan, baiklah, sekarang aku memaksa! Siangkoan Thian Ya ada satu anak muda, ia dari tingkatan bawahan, tetapi terhadap aku dia berbuat kurang ajar. Di waktu tengah malam buta rata, dia lancang naik ke gunungku ini dan memasuki rumahku, maka itu aku telah bekuk dia dan membunuhnya! Sekarang pergi kamu mengundang kaum Rimba Persilatan untuk mereka memberikan keputusannya!"
Boetong Ngoloo saling mengawasi. Mereka terbenam dalam kesangsian. Benarkah kata orang ini atau dia mendusta?
Tie Wan Tiangloo biasa menghargai diri sendiri, biarnya Boe Yang berkeras, ia lihat pada itu bukannya tidak ada alasannya. Maka itu ia berkata dengan sabar: "Jikalau benar Siangkoan Thian Ya memasuki tanpa sebab musabab, sekalipun kau membunuh dia, aku tidak dapat membilang suatu apa. Tetapi kau telah mencuri kitab ilmu pedang dari Boetong Pay, dialah ahli waris kami, maka itu dia datang untuk meminta pulang kitab itu, maka kenapa kau berani bilang dia datang tanpa alasan?"
Parasnya In Boe Yang berubah, akan tetapi ia menoleh kepada puterinya dan berkata: "Sekalipun kata-katanya seorang muda tak dapat terlalu diandalkan, maka itu lain kali kau mesti berlaku waspada. Aku pandang Siangkoan Thian Ya sebagai seorang muda yang berbakat baik, kiranya dia pun mendustakan aku!"
Memang Siangkoan Thian Ya membilang dia diutus Bouw It Siok, bahwa halnya kitab pedang itu dia tidak pernah omong kepada lain orang, bahwa sebelum dia datang ke gunung Holan San ini, dia sudah menitipkan sepucuk surat untuk Tie Wan Tiangloo, surat mana barulah boleh dibuka Tie Wan andaikata berselang satu tahun tak ada kabar ceritanya tentang dia. Tapi sekarang, dalam tempo yang pendek, Boetong Ngoloo datang bersama, bahkan mereka segera menyebut-nyebut tentang kitab ilmu pedang itu. Seandainya Siangkoan Thian Ya tidak mendusta maka terang sudah Tie Wan Tiangloo sudah lancang mendahului membuka suratnya itu sebelum tempo satu tahun. Dengan mengatakan Thian Ya mendustakan dia, Boe Yang hendak memberi ingat kepada puterinya supaya puteri ini pun jangan terlalu percaya Tan Hian Kie, agar anaknya ini tidaklah sampai kena diperdayakan.
Tie Wan Tiangloo melengak mendengar perkataannya tuan rumah ini.
"Dalam hal apakah Siangkoan Thian Ya menipu kau?" ia tanya.
Suratnya Thian Ya memang dibuka Tie Wan, dibuka dengan lantas, tanpa menghormati pesan Siangkoan Thian Ya untuk menanti satu tahun. Inilah disebabkan terutama karena Tie Wan sendiri pernah mendengar kabar angin bahwa In Boe Yang telah mencuri kitab pedangnya Bouw Tok It. Ketika ia menerima suratnya Thian Ya itu dengan Thian Ya lantas pergi tanpa pamitan lagi, ia sudah lantas menduga urusan kitab itu. Tentu saja ia menjadi curiga dan menguatirkan itu murid yang menjadi ahli waris, maka ia buka surat orang dan lantas bertindak mengumpulkan kawan dan menyusul ke Holan San ini dengan niat membantu atau menolongi ahli waris itu.
In Boe Yang menjawab: "Siangkoan Thian Ya telah menipu aku, sudah saja, hitung-hitung mataku buta. Tentang itu tak usah kau tanya-tanya lagi. Kau menyebut kitab ilmu pedang, baiklah, mari kita omong tentang kitab itu. Aku ada mantunya keluarga Bouw kamu sendiri, kamu pernah apakah? Mentuaku itu bekas tjiangboendjin dari partaimu tetapi kitab pedang yang ia dapatkan itu belum pasti milik partaimu itu. Di dalam kalangan Rimba Persilatan tidak ada semacam aturan. Seandainya mertuaku ada pesannya bahwa ilmu pedangnya itu tidak dapat diwariskan kepada anak perempuan dan mesti cuma kepada ahli waris, yang kemudian menjadi tjiangboendjin, nah, aku minta, kamu tunjukilah surat wasiatnya itu!"
Ini pun alasan yang dipaksakan, tetapi karena itu, merah mukanya Tie Wan Tiangloo tidak dapat ia alasan untuk menjawab.
Menampak itu, Kok Tjiong melirik kepada tiga kawannya yang lain, dari berduduk, ia bangun berdiri. Dengan dingin, nadanya seram, ia berkata: "mertuamu itu terbinasa di tanganmu yang berbisa, dia mati secara mendadak, walaupun dia memikir untuk menulis surat wasiatnya, sudah tidak ada ketikanya lagi!"
Mendengar ini, So So kaget bukan kepalang. Tiba-tiba ia ingat: "Ayah pernah mengatakannya bahwa seumur hidupnya ia pernah melakukan satu kesalahan besar, yang ia buat penyesalan, adakah ini kesalahannya itu? Jikalau benar dia bunuh kakekku, mustahil ibu dapat tetap tinggal dengannya untuk banyak tahun? Seharusnya, tidak menanti sampai sekarang, ibu sudah mesti pergi meninggalkannya....
Boe Yang bermuram durja. Pada matanya tampak sinar pembunuhan. Mendadak saja, ia mendongak dan tertawa panjang.
Kok Tjiong adalah murid kepala dari Bouw Tok It. Pula ia terlebih tua sepuluh tahun daripada Bouw It Siok. Katanya ketika Bouw Tok It meninggal dunia, orang yang mendampinginya adalah ia sendiri bersama It Siok. Maka itu, dengan kedudukannya itu, tidak mungkin Kok Tjiong melainkan menuduh Boe Yang.
So So menjadi sangat berkuatir, ia memandang ayahnya itu.
"Aku si orang she In telah berdosa di matanya orang luar, itulah terjadi bukan cuma urusan ini saja!" katanya nyaring, "semua itu tuduhan belaka! Boetong Ngoloo, hari ini kamu datang, sikapmu sangat galak, kiranya kamu datang untuk menegur aku. Baiklah, aku tidak hendak membantah lagi. Kamu menghendaki cara apa, silahkan kamu menyebutkannya. Sekalipun menghadapi pedang atau golok, tak nanti aku mengerutkan keningku!"
Hatinya So So goncang pula. Kata-katanya ayah ini terang menunjuki Kok Tjiong memfitnah belaka. Melihat sikap ayahnya, itulah terang bukan sikapnya seorang yang berdosa. Kemudian lega juga hatinya. Toh tetap ia ragu-ragu, benar atau tidak kakeknya terbinasa di tangan ayahnya itu..."
Kok Tjiong tertawa pula dengan dingin.
"Memang biasa seorang berdosa besar, bisa dia memainkan lidah!" katanya. "Kau boleh menyebutkannya aku memfitnah, tetapi kematiannya guruku itu akulah yang menyaksikan dengan mataku sendiri! Adakah kau kira Kok Tjiong satu pendusta? Mustahilkah aku hendak memfitnah padamu?"
In Boe Yang mengangkat kepalanya, ia mengawasi kelima orang itu, sikapnya jumawa.
"Kau mendusta atau tidak, cuma kau sendirilah yang mengetahuinya!" ia berkata. "Sudah aku bilang, tidak hendak aku membantah. Perlu apa kau banyak bacot lagi?" Ia mengangkat alisnya, ia menambahkan dengan nyaring: "Untukku, julukan si orang berdosa besar tetaplah sudah, maka itu, baiklah, mari aku menambah itu dengan melakukan satu kedosaan besar lainnya! Maafkan aku, Ngoloo, sekarang aku hendak menahan kamu!"
Tie Hong menjadi sangat murka.
"In, In Boe Yang!" serunya. "Kau sangat terkebur! Berapa tingginya kepandaian kau maka kau berani menahan kami? Hendak aku lihat, hari ini siapakah yang bakal mengubur tulang belulangnya di ini gunung belukar!"
Boetong Ngoloo ada bagaikan gunung Tay San atau bintang Pak Tauw dalam kalangan Rimba Persilatan, jangan kata mereka berlima, satu saja di antaranya tidak nanti sudi orang permainkan. Sekarang In Boe Yang tidak memandang mata kepada mereka mereka hendak "dibereskan," tidak aneh mereka menjadi gusar, lebih-lebih Tie Hong yang berangasan.
"Hari ini kau hendak menahan kami, itulah bagus!" kata Kok Tjiong dengan tawar. "Kami disebut tiangloo dari Boetong Pay, tetapi kami belum pernah menyaksikan ilmu pedang Tat Mo Kiamhoat yang diwariskan oleh tjouwsoe kami, maka sekarang adalah ketikanya yang paling baik untuk belajar kenal. Umpama kata kami berlima mesti roboh di tanganmu, itulah berharga, supaya dengan begitu dunia akan mendapat ketahui lihaynya ilmu silat partai kami!"
Kok Tjiong ini dikenal sebagai "Imkan Sioetjay," Sasterawan Neraka, maka itu bisa dimengerti jikalau dia licin sekali. Dengan kata-katanya itu, di luar ia memuji In Boe Yang, di lain pihak ia menyindir yang Boe Yang sudah mencuri ilmu silat Boetong Pay dengan apa dia menentangi murid-murid Boetong Pay sendiri, maka juga, menang atau kalah, muka Boe Yang tidak bakal jadi terang cemerlang.
Sepasang alisnya Boe Yang, bergerak pula, kembali dia tertawa lebar.
"Kamu berkukuh bahwa Tat Mo Kiamhoat ada ilmu pedang Boetong Pay, baiklah! katanya. "Hari ini aku si orang she In tidak hendak menggunai pedang, aku hanya akan melayani kamu dengan sepasang tangan kosong! Kamu lihat bisa atau tidak aku menahan kamu!"
Habis sabarnya Tie Hong, tanpa membilang apa-apa lagi tinjunya melayang!
Berbareng dengan itu, Boetong Ngoloo mendengar suara tertawa yang nyaring dan panjang, yang seperti menulikan kuping, lantas mereka melihat tangannya Boe Yang bergerak laksana kilat. Habis itu, di antara bentroknya dua tangan Tie Hong roboh terbanting, menyusul mana tangan kirinya si orang she In, ialah dua jarinya, mencari jalan darah giokkoat dan imhiat dari Kok Tjiong. Itulah dua jalan darah yang utama, yang tidak sembarang orang dapat menotoknya. Rupanya saking panas hatinya, Boe Yang mengarah kedua jalan darah itu. Siapa tertotok di jalan darah itu, kalau dia tidak lantas binasa, sedikitnya tubuhnya akan bercacat.
Maka itu, menampak demikian, Tie Kong dan Tjioe Tong kaget tidak terkira, keduanya berseru, sambil berseru, mereka lompat maju. Mereka ini ada terlebih lihay daripada Tie Hong, tangan mereka masing-masing menyambar ke dada dan perutnya si orang she In itu.
"Bagus!" Boe Yang berseru seraya segera mengubah cara bergeraknya. Ia bukannya menangkis, hanya jeriji tangannya memapaki Tie Kong. Tepat ia mengenai jalan darah kioktie, hingga seketika itu juga, sebagian tubuhnya tiangloo itu seperti mati kaku, hingga dia terhuyung dua tiga tindak.
Boe Yang tidak berhenti sampai di situ, sikutnya bekerja terus, mampir di tubuhnya Tjioe Tong, hingga dia ini, jago Boe Tong Pay dari Utara, mesti melengkung-melengking pinggangnya. Menyusuli itu, dengan Tangan Geledek berantai, Boe Yang terus meninju punggungnya Kok Tjiong. Hanya kali ini, belum lagi tinjunya itu sampai pada sasarannya, ia merasakan dorongan angin yang keras sekali hingga ia mesti membatalkan seragannya itu seraya memutar tubuhnya, untuk berkelit. Tetapi ia tidak cuma berkelit, hanya dengan kedua tangannya, ia menahan dorongan yang luar biasa itu. Maka bentroklah empat buah tangan.
Penyerang itu, yang menolongi Kok Tjiong, adalah Tie Wan Tiangloo, orang tertangguh di antara Boetong Ngoloo.
"Roboh!, berseru In Boe Yang, yang tak berhenti karena hanya rintangan itu. Kedua tangannya, dengan masing-masing terlentang dan tengkurap, bergerak dengan sangat dahsyat menghalau tangannya Tie Wan Tiangloo, hingga ketua Boetong Pay ini mesti terhuyung beberapa tindak. Masih syukur untuknya, dia tidak sampai terguling roboh.
Lagi-lagi In Boe Yang mengasi dengar tertawanya yang nyaring dan lantang, karena sekarang ia berpikir: "Aku tidak sangka Boetong Ngoloo ada seperti kantung nasi saja! Tie Wan sendiri cuma dapat menyambut tiga jurusku!" Sebenarnya ia hendak menyindir mereka itu, tempo terlihat Tie Kong bersama Tie Hong, Kok Tjiong dan Tjioe Tong, pada berlompat bangun, bahkan dengan mengambil keletakan empat penjuru mereka maju mengurung.
Sekarang Boe Yang memandang enteng sekali pada kelima lawannya itu. Kata dia sambil tertawa dingin, "Hm! Serombongan kambing menyerbu harimau galak! Apakah faedahnya jumlah kamu yang banyak!"
Baru orang she In berkata demikian atau mendadak ia merasakan dirinya terkurung dorongan angin yang dahsyat. Tentu saja ia menjadi kaget sekali. Tapi ia besar nyalinya, ia tidak takut. Dengan lantas ia membela diri dengan gerakannya "Angin hujan di delapan penjuru", kedua tangannya bergerak memutar bundar dengan apa ia menolak mundur serangan lawan. Kesudahannya itu, karena bentroknya tangan mereka, empat jago Boetong itu mundur setindak dan Boe Yang terhuyung. Sebab meski benar ia dapat menangkis, membela dirinya, satu melawan empat, ia kasih keteter.
Baru sekarang Boe Yang terkejut. Insaflah ia, satu lawan satu, mereka itu tidak berarti banyak tetapi apabila mereka bergabung, mereka merupakan lawan yang tangguh. Ia memangnya tidak mengetahui, apabila mereka bekerja sama, empat jago Boetong itu menjadi hebat sekali, empat seperti berubah menjadi delapan.
Hanya mundur satu tindak, Tie Hong berempat sudah mengambil pula kedudukan mereka, lagi sekali mereka maju dengan berbareng.
Boe Yang telah merasakan tenaga orang, sekarang ia tidak berani memandang enteng pula. Dengan lantas ia menancap kuda-kudanya, kedua tangannya dirangkap, tidak lagi dipisah seperti bermula tadi. Ia pun mengeluarkannya dengan perlahan. Maka sekarang tenaganya tidak terpencar pula. Kali ini ia berhasil, ia tidak sampai terhuyung. Keempat jago Boetong itu pun tidak dapat maju setengah tindak juga dengan penyerangan tergabungnya itu.
Tie Wan menyaksikan itu pertempuran, matanya jadi seperti menyala, mukanya menjadi suram. Itulah tanda bahwa ia ada sangat gusar. Ia lantas bertindak maju, perlahan tindakannya itu.
In Boe Yang dapat melihat sikapnya ketua Boetong Pay itu, ia mengeluh di dalam hatinya. Melawan empat jago saja ia sudah merasakan hebat sekali. Tapi terpaksa ia mengempos semangatnya, untuk mengerahkan tenaga di kedua tangannya itu.
"In Boe Yang," berkata Tie Wan Tiangloo sambil mengertak gigi, "hari ini beberapa tulangku yang tua hendak aku serahkan padamu!" Kata-kata ini disusul sama diulurnya tangannya yang satu, dikasi turun dari atas ke bawah.
Ancaman Tie Wan ini adalah batok kepalanya Boe Yang. Berbareng dengan itu Tie Hong berempat juga menyerang serentak.
Boe Yang mencoba mempertahankan diri, ia merasakan hampir sukar bernapas. Ia tidak kalah tetapi toh lawannya itu dapat maju satu tindak.
Tipu silat Boetong Ngoloo, ini ialah yang dinamakan "Ngoloei Thiansim Tjianghoat," Tangan Lima Geledek khasiatnya ialah lima menjadi satu. Dengan ini mereka berhasil mendesak lawan, sia-sia Boe Yang mempertahankan diri, pihak lawan dapat maju sedikit demi sedikit. Maka diakhirnya ia berpikir, tidak dapat ia bertahan terus secara demikian.
Kembali bersinar cahaya matanya jago she In ini. Mendadak saja dia berseru disusuli melayangnya tangannya yang kiri diarahkan kepada Tie Hong, salah satu lawan yang paling lemah.
Imam ini terkejut, dengan sendirinya ia kena digertak beberapa tindak.
Menampak itu, Boe Yang girang sekali. Maka hendak ia berlompat, untuk menerjang keluar. Tapi ia menjadi kaget ketika ia merasakan batok kepalanya tersambar angin. Ia mengerti itulah serangan dari belakangnya.
Memang itulah serangan Tie Wan Tiangloo berdua Tjioe Tong, mereka itu menggunai masing-masing sepasang tangan mereka.
Dalam kagetnya, Boe Yang berkelit, untuk menangkis, karena mana, batal ia menerjang keluar, sebaliknya, ia menjadi kena terkurung pula.
"Kepala, dan buntut berantai, dari empat penjuru menyerang berbareng," Tie Wan mengasi isyarat perlahan kepada keempat kawannya. "Jangan kemaruk untuk maju."
Tie Hong berempat mengangguk perlahan.
Benar saja, habis itu serangan mereka tidak sehebat tadi sebaliknya pembelaan dirinya bertambah kuat, ke mana saja Boe Yang menyerang, ia seperti menyerang tembok yang kokoh besar. Beberapa kali ia mencoba menerjang dengan kesudahan tanpa hasil.
Beberapa saat kemudian, kening Boe Yang bermandikan keringat. Dari kepalanya pun menghembus hawa seperti asap.
So So cemas hatinya. Ia belum mahir dalam ilmu tenaga dalam tetapi ia mengerti yang ayahnya sudah mengerahkan tenaga melebihkan batas kekuatannya. Itu artinya ancaman bahaya untuk ayahnya itu.
Selagi begitu, Boetong Ngoloo berbareng berseru, berbareng dengan desakan mereka, serangan mereka diikuti dengan majunya kaki satu tindak. Tie Wan Tiangloo pun menyerang dua kali dengan beruntun.
"Kelihatannya Boe Yong sangat terdesak, ia bagaikan tak kuat untuk membalas menyerang. Dengan begitu kelima lawannya dapat merangsak lebih jauh.
"Walaupun kitab pedang Boetong Pay kami dapat kau curi," berkata Tie Wan dengan dingin, "kau yang sangat kesohor ilmunya, In Boen Yang, tidak nanti kau dapat menahan tulang-tulang tua dari kami1 Kau sekarang akan tunduk bukankah? Hm! Kau sendiri boleh telengas, hendak kau menghabiskan lain orang, tetapi kami orang-orang Boetong Pay, kami bukannya bangsa jahat dan busuk, asal kau menyerah dan suka mengangguk tiga kali kepada kami sambil menyerahkan kitab pedang itu, suka kami berlaku murah, akan kami memberi ampun kepada jiwa cilikmu!"
Mendengar itu, kedua matanya Boe Yang bersinar pula. Tetapi ia tidak menghunjuk kemurkaannya, sebaliknya, ia tertawa.
"Kau bicara tentang menghabiskan, tentang jahat dan busuk? Ha, kau justeru menyadarkan aku!" jawabnya.
Tie Wan terkejut juga mendengar perkataan orang itu. Ia memberi tanda kepada kawan-kawannya, ia lantas menyerang pula dengan hebat untuk mencegah orang mendapat ketika akan membebaskan diri.
Beberapa jurus kemudian, dengan satu suara nyaring, pundak Boe Yang kena terhajar kepalannya Tie Kong Tiangloo.
"Ayah!" berteriak So So. "Bukannya kau yang membunuh kakek, mengapa kau tidak mau menyangkal?"
Nona ini berkata demikian, tetapi sebenarnya ia tak tahu suatu apa tentang kematian kakek luarnya itu, hanya sebagai anak, dapat ia melihat roman ayahnya, mau ia percaya ayahnya bukanlah si pembunuh, kalau tidak, tidak nanti tadi ia tak tahu suatu apa tentang kematian kakek luarnya itu, hanya sebagai anak, dapat ia melihat roman ayahnya jadi sangat mendongkol dan gusar.
Boe Yang telah terkurung, ia sudah merasakan bogem mentah, akan tetapi ia masih dapat bersenyum, cuma mulutnya saja yang tinggal bungkam.
Lagi satu kali terdengar suara "Duk!" dan kali ini Tie Wan Tiangloo yang dapat menyerang dengan jitu. Imam ini lebih lihay daripada empat kawannya, maka juga robeklah baju di punggungnya si orang she In, hingga di punggung itu terlihat tapak tangan yang merah.

Thian San 1 : Sebilah Pedang Mustika (Hoan Kiam Kie Tjeng)Where stories live. Discover now