TV -4- Skyborn

283 18 0
                                    

4.     Skyborn

Chanelle POV

Aku mengerjapkan mataku beberapa kali saat pria itu bicara. Nazilevskii? Nama apa itu? Apa sebuah nama tempat? Nama seseorang? Telingaku sama sekali asing dengan nama itu. Selagi pikiranku bekerja, mataku tak hentinya melihat kedua belah mata pria di hadapanku. Bagaimana bisa ia memiliki garis perak itu? Setahuku tidak pernah ada manusia yang memiliki garis perak di sekitar pupil matanya.

“Aku tahu ini begitu memusingkan,” kata Brandon—kalau aku tak salah. Sebuah senyum menentramkan terbit di sudut bibirnya. “Tapi izinkan aku menjelaskannya padamu, Chanelle. Kau bersedia ikut denganku?”

Sebelah tangan Brandon terulur. Aku mengamatinya sejenak. Tangan itu terlihat begitu putih dan pucat, seakan tidak ada darah yang mengalir di sana. Dengan jari-jari panjang dan lentik, agak mengingatkanku pada tangan seorang wanita. Wanita siapa, aku tak begitu ingat. Yang pasti aku pernah melihatnya.

“Aku tidak akan menyakitimu.” Suaranya yang seperti menyanyi terdengar mantap dan meyakinkan.

Pikiranku masih bekerja dengan begitu cepat. Memilah berbagai sensasi yang diterima panca indraku dan berusaha memberikan persepsi pada saat yang bersamaan. Anehnya, hal itu tidak membuatku pusing seperti yang biasanya terjadi. Aku tetap diam. Mungkin jika dari luar aku terlihat seperti orang tolol yang hanya menatap pada satu titik tanpa bergerak.

Perlahan aku menggerakkan tanganku untuk menyambut tangan Brandon yang masih terulur mengundang. Tangan Brandon sehalus bulu tapi juga sekokoh karang. Ia menggenggamku dengan lembut dan menarikku bangun. Brandon membuatku berdiri dan untuk pertama kalinya merasa ada yang aneh dengan langkahku saat kami berjalan keluar dari ruangan putih. Aku menengok ke bawah tapi tidak menemukan hal yang ganjil pada kakiku seperti sepatu roda kasat mata atau sebagainya. Hanya kakiku yang bergerak cepat mengikuti langkah kaki Brandon.

“Kita mau ke mana, Sir?” tanyaku masih bingung. Lagi, pikiranku memberikan persepsi saat mendengar suaraku dengan kata ‘aneh’. Apa suaraku memang terdengar semerdu itu?

“Ke aula.” Jawab Brandon, masih dengan senyum menentramkannya. “Kau akan mengetahui apa yang telah dan sedang terjadi di sana.”

“Oh.”

Aku membiarkan Brandon menarik tanganku tanpa pertanyaan apapun lagi. Otakku rasanya bekerja dua kali lebih cepat sekarang. dan mataku tak henti-hentinya bergerak, melihat apapun yang terlihat dari ekor mataku. Lorong yang kami lewati juga di dominasi oleh warna putih seperti di kamar putih. Hanya bedanya beberapa perabotan lebih berwarna meskipun tetap pucat. Cermin satu arah melapisi dinding yang menghadap ke luar, membuatku bisa melihat bahwa bangunan ini terletak di tengah-tengah padang es beku yang tebal. Sejauh mata memandang, aku hanya bisa melihat es dan salju. Tidak ada tanaman, tidak ada binatang. Hanya es.

Kami melewati lorong lain. Kali ini pemandangan lain terlihat. Amat kontras dengan sebelumnya, aku melihat beberapa pohon cemara kecil—hanya sekitar satu meter tingginya—juga lumut yang melapisi bebatuan menghiasi sebuah taman yang sangat luas. Taman itu seluruhnya dilapisi batu sungai bulat halus yang membuat berbagai macam pola dari gradasi warna lumut yang melapisinya. Dua puluh lima meter ke depan terdapat sebuah tembok yang menjulang tinggi dan sepertinya tembok itu mengelilingi seluruh bangunan. Cemara-cemara kecil itu bergoyang sedikit saat angin meniup mereka. Aku tidak tahu bagaimana caranya cemara itu bisa tumbuh karena sepertinya tanah sudah benar-benar tertutup es yang beku. Tapi toh pohon cemara itu tumbuh meskipun kecil.

Dan tiba-tiba kami berhenti. Sebuah pintu ganda terbuat dari kayu tebal mengilap dan berukiran rumit berada di depan kami. Aku melayangkan pandangan bertanya pada Brandon. Brandon hanya mengangguk sekali seakan berkata, “Ya, kita sudah sampai.” Kemudian dilepasnya tanganku dan ia mendorong kedua pintu tersebut hingga menjeblak terbuka.

The Vesper [CANCELLED]Where stories live. Discover now