Prolog

411 14 3
                                    

Menunggu adalah satu hal yang paling menyebalkan, siapa yang tidak setuju denganku? Kurasa kalian pasti setuju. Hujan turun dengan teganya, membiarkan aku duduk sendirian di dalam cafe. Oh tidak, aku tidak sendirian, secangkir coklat panas dan sepotong cheese cake masih setia menemaniku.

Tak hentinya aku melirik ke arah notifikasi ponselku, menunggu balasan dari pesan yang sebelumnya sudah aku kirimkan pada seseorang. Tak bisa kuhitung lagi, sudah berapa kali aku mengecek ponselku, namun tetap saja tidak ada balasan yang masuk.

Dia dimana? Batal lagi? Batinku gaduh, sudah satu jam sebelum hujan turun aku menunggu di cafe yang sepi ini. Tak lama setelahnya, aku melihat sebuah mobil yang baru saja parkir di depan cafe, pemiliknya segera turun dari mobil dan masuk ke dalam cafe.

"Aku telat ya? Maaf, tadi masih ada tambahan satu mata kuliah." ungkapnya memberitahuku alasan dia terlambat.

"Gak apa-apa, udah biasa nunggu kok." Sindirku halus, syukur kalau dia peka.

Seorang Kayla Deanisa sudah biasa menunggu, apalagi menunggu hal yang tidak pasti.

"Oh iya, habis ini aku gabisa lama-lama, soalnya ada urusan sama anak band."

Setelah membuatku menunggu hampir dua jam, sekarang dia bilang tidak bisa berlama-lama karena ada urusan. Hah! Sekalian saja tidak usah datang menemuiku.

"Dea? Sayang, kamu gak apa-apa, kan?"

"Hah? Iya aku aku gak apa-apa kok. Kamu perginya pas hujan reda?"

"Iya, tapi hujannya deres banget. Jadi aku harus nikmatin waktunya bareng bidadari cantik di depan aku."

"Ga, kamu sibuk banget ya? Sampe udah jarang ada waktu buat aku." Tanyaku tak menghiraukan gombalan--basinya--yang biasa dia lontarkan.

"Iya nih, tugas kuliah numpuk banget. Belum lagi bakal ada pentas seni dan band aku juga ikut tampil. Jadi kita harus sering-sering latihan."

"Kamu kan weekend libur, apa gak bisa luangin waktu buat aku?"

"Weekend aku gunain buat latihan sama anak-anak. Kita kan masih bisa chat, teleponan, atau videocall."

Yap, selama hampir dua minggu ini Rega selalu sibuk dengan tugas kuliahnya. Bahkan saat weekend pun dia juga tidak ada waktu untukku karena sibuk latihan band bersama teman-temannya. Jadilah kami hanya bisa chatting, telepon, atau videocall.

Raditya Abrega mempunyai posisi penting di bandnya, sebagai vokalis. Selain itu dia juga menjadi panitia dalam acara pensi di kampusnya.

Aku bisa memaklumi tugas kuliahnya, aku tidak benar-benar tahu apa tugas kuliahnya memang banyak atau itu hanya alasannya sehingga kami tidak ada waktu untuk bersama. Kalau untuk bandnya, aku pikir setelah pensinya selesai mungkin dia akan ada waktu untukku karena tidak akan sering-serimg latihan lagi.

Tak terasa hujan reda dengan cepat setelah Rega datang, kurasa setelah ini ia akan meminta izin padaku untuk segera pergi.

"Sayang, hujannya udah reda. Aku pergi ya?" Benar kan apa kataku, dia benar-benar minta izin untuk pergi. Secepat itukah?

"Iya, hati-hati di jalan. Jangan ngebut." Hanya itu kata-kata yang bisa aku ucapkan.

"Iya, kamu hati-hati pulangnya. Aku sayang kamu." Ucapnya sebelum ia keluar dari pintu cafe.

Lama-kelamaan punggung tegap Rega menghilang dari penglihatanku, berganti dengan lalu lalang kendaraan. Aku tidak ingin pulang, sudah terlanjut PW di cafe ini, lagi pula hidangan yang aku pesan belum kucicipi sedikitpun.

Dalam keadaan seperti ini, aku hanya bisa mengingat kenangan dua tahun lalu saat Rega menyatakan perasaannya kepadaku. Kami beertemu di toko buku untuk pertama kalinya, saat itu aku membeli beberapa buku tapi aku lupa membawa dompet. Kebetulan saat itu Rega juga sedang antri di belakangku dan kurasa dia mengerti kalau aku tidak bawa dompet, ia pun membayar bukunya sekaligus buku yang aku beli. Sejak saat itu kami jadi sering bertemu dan menghabiskan waktu bersama, tiga bulan setelahnya, barulah Rega menyatakan perasaannya padaku.

Tapi sejak Rega memasuki kuliah semester enam, ia jadi sibuk dan jarang ada waktu untukku, sedangkan aku selisih satu semester dibawahnya. Puncaknya beberapa minggu terakhir ini, ia bahkan hanya bertemu denganku hari ini dan itu pun hanya beberapa menit saja. Kalau seperti ini, aku jadi punya firasat tidak enak. Apakah ini hari terakhir aku bertemu dengan dia sebelum dia benar-benar lenyap bersama kegiatannya? Ah tidak, aku harus menjauhkan pikiran buruk itu.

Kemudian lagu Wish You Were Here milik Avril Lavigne menyala dari speaker di cafe ini. Lagunya sangat pas dengan perasaanku saat ini, haruskah aku ikut bernyanyi?

Hari semakin sore tapi entah kenapa kakiku malas melangkah keluar dari cafe ini, jika aku pulang terlalu sore akan sangat sulit menemukan taksi untuk pulang. Haruskah aku jalan kaki? Amboi, mirisnya.

Love and LiesWhere stories live. Discover now