31 - Masa Lalu, Awal Dari Takdir

33.4K 3.1K 228
                                    

Nanti baca di bawah cerita, ya!:)

31
______

Masa Orientasi Siswa, 2014

Seorang cowok dengan rambut cepak berpotongan rapi itu terkadang menyisir pandang ke sekitar. Matanya menatap lurus, bersamaan dengan seorang gadis bertubuh tinggi dan kurus sedang menatapnya juga. Dari sini Benaya melihat kalau gadis itu cantik, apalagi mengenakan jilbab. Karena ia suka cewek memakai jilbab. Entah sugesti atau apa, tapi, cewek berjilbab lebih manis dan anggun menurutnya. Benaya kira, cewek itu akan mengalihkan pandang. Namun, beberapa detik setelahnya beralih dan digantikan oleh senyuman manis yang membuat Benaya tertegun beberapa saat. Tidak membalas senyum cewek itu dan memilih bangkit berdiri untuk masuk ke dalam barisan karena senior sudah memberi perintah melalui mic. Sekilas, Benaya melihat raut wajah cewek tersebut. Namun dihiraukannya.

"Eh!"

Sebuah tepukan mendarat di pundaknya begitu Benaya masuk ke barisan putra. Matanya melirik ke arah tepukan itu, lalu mengangkat sebelah alis.

Anjir, songong, batin Dafa yang menerima balasan nggak mengenakkan dari Benaya.

"Lo di sini? Kok tadi gue nggak lihat elo?" tanya Dafa, lelaki yang mengenakan topi warna kuning seperti Benaya---identitas regu MOS. Beberapa jam yang lalu mereka memang sempat ngobrol tentang beberapa hal, termasuk tentang seniornya yang sok pasang muka galak. Jadi nggak sungkan lagi mau tanya.

Beberapa detik, Benaya hanya diam. Namun ia berdeham langsung. "Telat," sahutnya cepat. Padahal ia tadi mangkir sebentar untuk menghirup udara segar, di kantin.

Dafa seolah tak percaya. Tapi akhirnya keduanya kembali menghadap depan. Di mana ada panitia MOS-yang tak lain adalah anggota OSIS dan MPK-sedang berbicara banyak hal. Benaya hanya mendengar beberapa, sesekali ikut mengiyakan seperti temannya yang lain. Sampai sebuah suara lain memasuki indra pendengarnya.

"Astaghfirullah ... kok ganteng banget ya?" Suara cewek dengan kadar kegembiraan yang bisa didengar hanya melalui suara.

Benaya mendengus. Menatap senior yang mungkin dimaksud oleh cewek itu.

Sedangkan teman barunya, Dafa, sudah menoleh ke belakang melalui lirikannya.

"Eh, diem. Sssttt." Dafa meletakkan telunjuknya di bibir dan tersenyum kecil.

Cewek berambut panjang itu mengangguk sekilas membalas ucapan Dafa sambil terkekeh. "Iya. Sssttt."

"Lo kemarin yang jatuh di semak-semak ya?" Dafa kembali memulai obrolan dan Benaya sesekali mencuri dengar tanpa mau ikut-ikut nimbrung. Buang-buang waktu. Walau dengar senior ngomong juga bikin ngantuk.

Terdengar kekehan di belakangnya sebelum membalas, "Iya, hehe. Gue yang itu. Lo Dafa, 'kan?"

"Yoi. Dafa. Lo?"

"Mau panggil Shadara juga nggak apa sih, mau panggil Dara juga nggak apa-apa. Asal jangan panggil Wawan, meski nama gue Mahawan." Cewek di belakangnya itu lagi-lagi terkekeh. Terdengar sedang melawak, padahal nggak lucu sama sekali.

"Dara aja deh manggilnya, soalnya nama gue Dafa."

Narsis, ketus Benaya di dalam hati.

Melalui ujung matanya, dilihatnya Dafa mengangguk dan tersenyum manis. Benaya menggelengkan kepalanya samar. Karena tingkah Dafa seperti cowok baru pubertas. Eh, tapi memang sih.

"Sekolah kita sangat menjunjung tinggi nilai IPTEK dan IMTAK, makan dari itu..."

"Oh iya, lo lihat cewek di sana nggak, Dafa?" Suara cewek itu lagi-lagi mengganggu Benaya.

Benaya dan DaraWhere stories live. Discover now