BAB 4

6.8K 178 6
                                    

BAB 4

Di kota lain, suasana yang begitu dingin menyambut kedatangan pria itu. Dengan langkah tertatih dia memasuki sebuah kamar. Setelah hampir seharian dia berkeliling tidak jelas, dengan raga yang sudah begitu lelah, dia pun akhirnya sampai di hotel kecil di kota hujan.

Ingin rasanya dia berteriak, ingin rasanya menangis. Namun apa daya, dia tidak mampu melakukan hal itu. Dirinya begitu naif, begitu egois hingga sesakit apa pun dia rasakan yang bisa  dilakukan adalah diam. Membiarkan kesakitannya sedikit demi sedikit menggerogoti hati.

Dengan hati sesak dan tubuh yang sudah tidak sanggup berdiri, pria itu merebahkan diri ke ranjang. Menatap langit-langit kamar berwarna putih. Hingga sebuah perasaan diam-diam menelusup ke hatinya, membuatnya kesulitan bernapas.

Dia sangat rindu! 

Dia merasa kehilangan....

Perlahan pria itu mengembangkan jari-jarinya... menerawang jauh ke alam bawah sadarnya.

Seharusnya, dia bisa menggendong tubuh mungil itu... menyentuh kulitnya yang halus, terbangun saat mendengar tangisannya di tengah malam.

Seharusnya, saat ini dia bisa bersenda gurau dan menikmati celotehan riang dari sosok mungil itu.

Seharusnya... Ah... begitu banyak kata seharusnya yang membuat dia semakin terpukul dan mendendam.

Karena memang begitulah dia dengan segala keegoisannya. Yang perlahan semakin membesar, yang semakin lama semakin berkembang. Hingga dia tidak dapat melihat mana yang benar dan mana yang salah. Dan semua itu terjadi sejak dua tahun yang lalu. Tepat saat hari ulang tahun perkawinannya yang pertama.

***

Alia mengerjapkan matanya berkali-kali. Manik hitam itu mencoba menyesuaikan cahaya-cahaya yang mengintip dari gorden kamarnya. Setelah maniknya terbuka sempurna, Alia mengedarkan pandangan menelusuri di mana dia berada.

Hingga dia melihat hal yang mengagetkan berada tepat di sebelahnya.

"Lisa?" ucapnya kebingungan.

"Hmm..." Sahabatnya yang masih tertidur itu bergumam pelan.

"Lisa, kamu di sini?"

"Sebentar lagi, Bun... Lisa masih ngantuk, nih." Lisa meracau tidak jelas membuat Alia mengernyit, kemudian terkekeh pelan.

Lisa memang ajaib. Usia mereka tidak terlalu jauh. Tapi lihatlah sikapnya. Bagaimana seorang wanita mandiri seperti Lisa mendadak menjadi anak kecil seperti ini?

Terlintas ide jahil di benak Alia.

"Lisa bangun! Mario sudah jemput..." teriak Alia tepat di telinga Lisa.

Dan benar saja, dalam waktu beberapa detik. Mata bulat wanita itu terbelalak sempurna. "Mariooo...!!!" pekik Lisa seraya menaruh kedua tangan di pipinya. Alia tertawa seketika.

Mendengar Alia terkekeh, Lisa sontak menoleh dan segera tersadar... Alia sudah sukses mengerjainya.

"Kamu jahat banget sih, Al. Tega!" dengus Lisa. Alia tersenyum.

"Sebegitunya kamu denger nama Mario. Duh...yang lagi jatuh cinta emang gitu ya," goda Zara membuat Lisa makin cemberut. "Oh ya.. Mario nggak jemput kamu memangnya?" sambung Zara.

Lisa yang hendak tidur kembali mengumam pelan, "Hari ini aku bolos."

"Bolos??"

"Hem"

"Kok??"

Merasa kesal, Lisa akhirnya terbangun. "Iya, Alia. Aku mau bawa kamu ke rumah sakit."

"Rumah sakit? Untuk apa?"

The Broken WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang