Kesialan

18.3K 536 40
                                    

Daffi

"Pak, ada yang mau ketemu." Ucap Angga saat aku tengah menggoreng ikan.

"Siapa sih Ngga? Suruh tunggu aja deh di ruangan saya." Kataku cuek.

Aku sedang frustasi. Klien yang akan memakai jasa restoranku ternyata membatalkan kerjasamanya. Entahlah kenapa. Padahal, kalau aku bisa menggaet dia, bisa kupastikan restoranku ini semakin berkembang. Sebagai gantinya, aku mengacak-acak dapur restoran. Memasak untuk mengalihkan pikiranku.

"Ya ampun pak. Ini dapur apa kapal pecah?" Ucap Angga kemudian. Hanya dia yang berani berkata seperti itu saat yang lainnya hanya mengkeret pada bentakanku.

"Bawel ya!" Bentakku. "Ambilin merica! Cepetan!" perintahku.

Sebuah botol merica tiba-tiba ada di depan mataku. Dipegang oleh tangan Angga yang mulus. Kenapa mulus begitu tangannya si Angga? Sejak kapan dia perawatan tangan?

"Nggak usah liatin tangan gue!" Ucap suara yang ada di samping kiriku. Loh suaranya seperti ku kenal? Saat aku menoleh, ternyata Selina. "Lo kalau marah nyeremin ya." Kuputar mataku pada ucapannya.

"Ngapain lo kesini?" Kataku ketus. Baru kali ini aku berkata ketus begitu padanya.

Tangannya terangkat dan menyerahkan sebuah amplop putih padaku. Kenapa di tolak lagi sih? Aku hanya mengangkat alisku padanya. Pura-pura tidak mengerti.

"Ambil nih." Ucapnya kesal. "Gue nggak butuh. Udah gue bilang berkali-kali." Tambahnya.

Selalu saja dia menolak pemberianku. Memangnya aku memberikan uang itu padanya? Bukan! "Itu bukan buat lo. Itu buat mereka."

"Gue nggak butuh uang segepok lo ini!" Semburnya.

"Terus?! Lo mau ngasih makan mereka uang hasil copetan lo?! Gitu!" Bentakku.

Aku tidak bisa lagi membendung kesalku padanya. Sangat keras kepala sekali perempuan ini. Sama keras kepalanya seperti batu karang!

Selina menatapku dengan marah. Aku bisa tahu itu. Emosi itu terbentuk dimatanya. "Gue nggak perlu ya lo nasehatin! Lo itu bukan bokap nyokap gue!" Teriaknya.

Astaga! Membawa-bawa orangtua segala? Yang benar saja! Dua tahun kami berteman, ternyata dia masih saja keras. Tdiak pernah berubah sama sekali. Dilemparkannya uang itu kearahku. Uang ratusan ribu itu beterbangan di seluruh penjuru dapurku. Setelah itu dia pergi begitu saja.

Aku merasa tidak dihargai di sini. Kenapa tidak sekali saja aku dihargai? Kenapa harus dengan cara begitu dia memberikan uang yang kuberikan padanya?

"ANGGA!!" Teriakku. Terdengar sahutan pelan di belakangku. "PUNGUTIN DUITNYA!! HABIS ITU SUMBANGIN KE MASJID!!" Teriakku membahana. Setidaknya, kalau kusumbangkan uang itu ke masjid, uangku akan diterima baik.

"Siap pak." Sahutnya. Kudengar dia dengan gaduh memunguti uang yang beterbangan.

"YUGO!!" Teriakku lagi. Yugo datang tergopoh-gopoh dengan nampan ditangannya.

"Ya pak?" Cicitnya. Wajahnya terlukis ketakutan sekali.

Kutarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Tidak seharusnya aku membentak karyawanku. "Beresin dapurnya." Tercium bau gosong. Pasti ikannya gosong. "Beresin ikannya." Kataku lagi kemudian berjalan keluar dapur.

"Ya pak." Sahut Yugo pelan.

"Saya mau keluar dulu. Mau cari angin." Ucapku sambil lalu.

***

Entah kenapa aku malah berakhir di sini. Di dermaga ancol. Kutarik rokokku dan menjentikkan api. Kuhisap dalam-dalam rokokku. Ck! hari ini aku sial sekali. Penawaran kerjasamaku gagal dan Selina yang datang dengan kekeras kepalaanya.

Cerita Cinta 4: Bukan Rayuan GombalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang