Part 5

29.9K 2.1K 97
                                    

[Pengumuman : Cerita akan dihapus pada tanggal 5 Juni untuk kepentingan penerbit.]

Pagi hari setelah Liam turun dari kamar tidurnya untuk mengambil sarapan di meja makan, Herman—sopirnya—langsung memberitahu bahwa bagian depan Honda Accord milik Samantha penyok lumayan parah.

Ia memeriksanya di garasi. Penyok-nya bukan lumayan parah, tapi sangat parah. Ia heran mengapa Samantha sama sekali tidak bercerita apapun kalau memang ia mengalami kecelakaan kemarin malam.

Tapi Samantha memang tidak bercerita apa-apa begitu ia pulang semalam. Wajahnya tertekuk sangat masam dan perasaan Liam mencegahnya untuk bertanya lebih lanjut.

Wajar saja kalau Samantha tidak berselera menceritakan apapun. Bahkan sangat wajar, kalau sang istri menolak menatap wajahnya dan membalas kecupan keningnya di pagi hari saat mereka bangun tidur.

"Semuanya baik-baik saja?"

Samantha tidak menjawab. Wajahnya tertunduk memandangi layar ponsel seakan-akan ada hal penting yang sedang ia baca.

Liam duduk di sampingnya dengan senyuman ringan. Ia berharap semoga saja kanker terkutuk itu belum merengut senyuman tampan dari wajahnya, biasanya itu modal terkuat untuk meluluhkan hati Samantha.

Tapi sedikit pun Samantha tidak sudi melihatnya.

"Aku selalu suka melihatmu berpakaian kerja seperti ini. You look sexy." Ujar Liam sambil menyapu penampilan Samantha dengan tatapan liarnya.

Setidaknya ia bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Samantha memang kelihatan cantik dengan kemeja putih dan celana kerja yang ia kenakan. Biasanya ia akan menghadiahkan kecupan-kecupan nakal di leher jenjang itu dan merayunya untuk bolos kerja, tapi kali ini jangankan mengecup, menyentuh Samantha seujung jari saja Liam tidak berani.

Terkutuklah ia karena meminta istrinya sendiri untuk hamil dengan kakak kandungnya.

Ia tahu ia gila. Psikopat. Maniak yang pantas dibakar api neraka.

Tapi kalau saja ada cara lain yang bisa mereka tempuh, cara wajar yang tidak kontroversial dan tidak mengundang curiga keluarga Joe Subrata, maka Liam akan melakukannya dengan senang hati. Sebut dia egois, tapi kehadiran anak sangat penting di tengah-tengah mereka agar semua pencapaian yang ia bangun dengan susah payah itu tidak jatuh ke tangan Hansel.

"Aku sedang memikirkan ucapanmu kemarin, tentang mengambil liburan di Jepang dan kamu benar, menurutku itu ide yang bagus."

Samantha mengangkat wajahnya dari ponsel lalu menatapnya untuk pertama kali sejak pagi ini.

"Ayo lakukan, kita beli tiketnya sekarang." Senyum Liam.

"Bagaimana dengan pengobatanmu?"

"Lupakan saja. Lagipula Ralf sudah menolak tawaran kita 'kan?"

Wajah bersinar Samantha redup kembali. "Jadi hanya itu yang kamu pikirkan, bahwa Ralf menolak tawaranmu? Tawaranmu, Liam, bukan tawaran kita. Aku jadi penasaran apa hal pertama yang terlintas di kepalamu begitu melihat aku pulang kemarin. Apa kamu ingin tahu aku sudah berhasil membujuk Ralf? Atau jangan-jangan kamu ingin tahu bahwa apa aku sudah tidur dengan kakakmu malam itu juga?"

"Sam..." Liam mengulurkan tangannya untuk menyentuh lengan Samantha. Tapi perempuan itu menolak.

"Kamu lihat bagian depan mobilku yang penyok? Bisa saja aku menabrak Ralf sampai mati dan kita terpaksa menyewa laki-laki lain untuk menghamiliku. Tapi sepertinya kamu juga akan langsung setuju 'kan? Pria mana saja, asal aku hamil!"

SomedayWhere stories live. Discover now