Dua Puluh

3.9K 201 38
                                    

Gue membisu. Sejak kapan Fajar tau kalau gue suka sama Arkan? Lebih tepatnya masih suka sama Arkan? Gue menghentikan langkah gue dan menatap Fajar yang terdiam di tempat, menunggu jawaban dari pertanyaan yang baru saja ia lontarkan. "Siapa?" tanya gue pura-pura tidak mengerti.

"Udah ah, capek gue." Fajar mendahului gue, meninggalkan gue yang masih berdiri di tempat, menatap kepergiannya. Gue menatapnya kosong lalu memutuskan untuk kembali melangkah menuju kelas.

"Jadi, apa jawaban lo?" tanya Fajar yang sudah sampai di lantai atas.

"Jawaban? Jawaban yang mana?" Gue mencoba mencari 'jawaban' yang dimaksud Fajar. Jawaban yang mana? Pertanyaannya banyak banget sampai gue bingung harus jawab yang mana dulu.

"Jawaban tentang pernyataan gue kemarin," jelasnya.

"Oh, yang itu." Gue menghela napas. "Gue masih belum tau apa jawabannya, mendingan sekarang let it flow dulu, kita jalanin aja. Kalau misalnya gue udah siap, gue pasti bakal ngomong ke elo."

Fajar tersenyum menatap gue. "Gue tunggu ya," katanya. Fajar melambaikan tangan dan berlalu menuju kelasnya. Gue menatap kepergiannya, menatapnya datar lalu melanjutkan langkah menuju kelas.

****

Hari ini adalah tepat sebulan diamana gue deket sama Fajar tanpa adanya kepastian. Gue masih nggak bisa nentuin jawaban yang pasti karena disisi lain gue masih suka sama Arkan. Fajar juga udah ngerti gimana posisi gue yang masih belum bisa move on dari Arkan.

"Sampai kapan lo masih suka sama Arkan?" tanya Fajar suatu saat.

"Entahlah, gue masih belajar move on dari Arkan. Bantuin gue ya," kata gue.

"Iya, gue bantu kok."

Gue menyandarkan kepala di bahu Fajar. Gue nggak enak banget sama dia yang masih belum gue beri kepastian hanya karena gue masih berat sama Arkan. Maafin gue, Jar.

"Masih mikirin Arkan?" tanya Fajar tanpa menatap gue.

"Enggak. Jangan sok tau," kata gue.

Fajar memutar kepala dan menatap gue yang masih menyadar di bahunya, ia tersenyum dan berhasil membuat gue tersipu. "Jangan labil lama-lama. Gue juga bisa capek kalau nunggu kelamaan."

"Iya, gue usahain."

****

Seluruh siswa sibuk untuk menyiapkan acara drama memperingati Hari Pahlawan. Gue dan Laura duduk di depan kelas, menikmati kesantaian disela-sela kesibukan. Laura memutar-mutarkan pistol mainan di tangan kanannya, sesekali melirik gue yang menyandar di bahunya.

"Dorr dorr dorr." Delvin menggerakkan pistol mainan di tangannya seolah-olah sedang menembak sasaran.

"Vin, lo sehat?" goda Laura.

"Alhamdulillah, Delvin masih sehat. Laura sehat?"

"Sehat kok."

"Lo ngapain dar dor dar dor gitu? Belet nembak?" tanya gue.

"Kenapa? Lo mau gue tembak?" tanya Delvin.

"Ih, ogah." Gue memasang ekspresi datar dan mendapat jitakan Delvin.

"Ra," panggil Delvin dan melangkah mendekati Laura.

"Apaan... Eh, Allahuma..." Laura yang menoleh langsung kaget menemukan ujung pistol mainan yang dipegang Delvin hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya. "Apaan sih."

"Dor..." seru Delvin melakukan kegiatan yang sama dengan kegiatan beberapa menit lalu.

"Terima nggak yaa?" Laura menempelkan jari telunjuknya di bibir, seperti memikirkan sesuatu. Pemikirannya berbeda. Gue tau Delvin hanya bermain tembak-tembakan, tapi Laura merubah pemikiran yang sebelumnya sama dengan pemikiran gue. "Gimana, Fin? Terima kagak?"

He(A)rt - [SELESAI]Where stories live. Discover now