Deponu

283 15 0
                                    

Dia berjalan terseok-seok. Bajunya yang lusuh kembali mengalami robekan-robekan kecil.

Toko demi toko Ia singgahi, demi segenggam butiran-butirah bening yang mengenyangkan. Tak ia perdulikan jemari kaki yang mulai membengkak lantaran perjalanan jauh. Yang Ia tau hanyalah membuat perut si kecilnya terisi.

"Saya mohon Bu, satu genggam saja. Bayi saya benar-benar kelaparan." Dia bersimpuh di hadapan wanita berbaju merah. Kalung emas yang bertengger di leher wanita itu tak membuatnya iri. Sekali lagi, Ia hanya ingin makanan untuk sang anak.

"Tidak! Walau sebutir pun saya tak sudi memberikannya! Kalo mau makan, ya kerja! Jangan mengemis!"

Badan ringkihnya terhunyu ke belakangan karena dorongan kuat itu. Tulang kering yang menonjol di kakinya memar akibat terjangan dari wanita cantik di hadapannya. Dia menerima setiap tindakan ini dengan beruraian air mata.

Tak apa, Ia rela diperlakukan hina seperti ini demi sesuap nasi untuk anaknya.

Di tepi jalan, dua orang anak kecil menangis sembari berpelukan sesaat setelah menyaksikan sang Ibu dihina habis-habisan demi sesuap nasi yang bahkan tak mampu mengenyangkan perutnya. Jauh di dalam hatinya, ia rela menahan lapar hingga esok pagi, asal tak melihat sang ibu diperlakukan seperti itu.

Setelah puas memukuli wanita lemah itu, akhirnya wanita berbaju merah melemparkan secanting beras ke hadapan wanita lemah itu.

"Tuh pungut sendiri! Sudah baik saya kasih kamu beras! Cepat pergi!"

Dengan mata berbinar, wanita lemah itu memunguti satu per satu bulir beras yang berceceran. Disatukannya kumpulan beras itu dalam satu kantung plastik yang Ia bawa. Pegawai-pegawai toko yang melihat kejadian itu hanya menatap iba, mereka lebih memilih diam daripada kehilangan matapencahariannya.

Setelah berhasil mengumpulkan beras, wanita itu lekas mengucapkan terimakasih lalu beranjak pergi dari toko itu. Ia menyebrang jalan lalu menghampiri kedua putrinya sembari memeluknya erat.

"Kita bisa makan sayang, kamu dan adikmu Syifa tidak perlu kelaparan lagi."

Ada perasaan sakit saat mendengar ucapan itu. Saat di luar sana kumpulan orang membuang-buang makanan yang mereka, di sini Anis dan anak-anaknya harus mengais-ngais sisa makanan.

Dunia memang sekejam itu.

Anis lekas menuntun kedua putrinya pulang. Sesampainya di rumah, Anis mencium puncak kepala bayi kecilnya dan segera memasak beras yang Ia dapat tadi.

Hatinya kembali ngilu saat melihat butiran-butiran beras itu. Perasaan marah dan sedih secara bersamaan menyeruak. Bahkan, untuk makan anaknya Ia harus rela di cela habis-habisan.

Tapi, tak apa. Tak ada yang mudah dalam hidup. Sebagai seorang Ibu, dia harus tahan banting. Demi keluarganya, demi anak-anaknya.

Setelah nasi itu matang, ia membawa keluar beserta dengan lauk pauknya. Tak ada yang istimewa, hanya nasi putih dan garam.

Dengan semangat, Ia menyedokkan nasi itu ke piring sang buah hati. Tak lupa ia buat sedikit bubur untuk bayinya. Tetapi, bukannya makan, Mila--sang anak sulung malah menangis tersedu-sedu.

"Lho, Mila kenapa? Enggak suka lauknya ya?" Tanya Anis dengan sayang.

Mila menggelengkan kepala sebagai jawaban.

"Terus kenapa? Ga baik lho, Nak, nangis di depan makanan. Walau dengan garam beginipun kita harus tetap bersyukur karena bisa makan hari ini. Di luar sana pasti banyak yang lagi nangis kelaparan karena ga bisa makan."

Bukannya meredup, tangis Mila makin kencang. Segera dipeluknya tubuh kurus sang putri, tak lupa Ia memberi kecupan-kecupan sayang yang menenangkan.

"Mi ... Mila nangis bukan karena lauknya cuma garam, Bu." Mila terdiam sejenak. "Ta ... Tapi karena Mila terharu dengan segala perjuangan yang Ibu beri untuk Mila, Safa dan Syifa. Ibu ga pernah ngeluh meski beban yang Ibu tanggung sangat berat."

Air mata Anis luruh. Hatinya tercuil saat mendengar ucapan itu.

"Se-selamat hari Ibu, Bu. Tetaplah menjadi Ibu yang tangguh untuk kami, Mila janji untuk membalas segala rasa lelah Ibu. Mila janji akan membayar semua air mata Ibu yang luruh demi mengisi kekosongan perut kami. I love you, Bu, i love you."

Malam di pengujung Desember itu mereka habiskan dengan air mata haru. Ternyata di sela-sela kesesakan hidup, Tuhan masih memberikan Mila satu kebahagiaan yang tak terhingga, yakni kasih sayang seorang ibu.

Teruntuk, IbuWhere stories live. Discover now