awelien

113 9 0
                                    

Selain gelap, aku pun membenci relap. Disaat hujan deras yang nengakibatkan listrik padam, mama selalu mengajakku ke kamarnya, merangkul sambil tersenyum menenangkan, kemudian kami akan bercerita tentang berbagai macam hal sampai aku terlelap. Sampai aku lupa ketakutanku terhadap relap dan gelap.

Aku senang memiliki ibu seperti mama, beliau adalah wanita yang sabar dan penyayang. Meskipun omelannya kerap kali terdengar, tapi aku sayang Mama.

Akan tetapi, seperti apapun aku mengenang. Menarik kembali tiap kenangan yang sering kali berputar di otakku, jarak antara aku dengan Mama tidak akan pernah terhapus. Kami berpisah, sejak tujuh tahun yang lalu.

Aku masih ingat betul tubuh kaku Mama yang dibawa ke atas ambulans, kemudian isak tangis terdengar di sekelilingku.

Kalau Mama ingin tahu, aku tidak menangis saat itu. Pun dengan adik yang hanya diam kebingungan. Sementara itu, aku melihat Papa diam-diam menyeka air matanya, tapi kemudian menyunggingkan senyum tegar ketika aku menghampiri Beliau.

Aku tidak menangis ketika tubuh kaku Mama dimasukkan ke dalam tanah, meskipun tanteku sibuk mengusap-usap punggungku sambil terisak.

Aku tidak menangis, karena aku tahu mama sering kali menahan air mata mama agar aku tidak menangis. Kali ini, aku ingin melakukan hal seperti itu juga. Aku tidak menangis, karena aku tidak mau mama menangis. Aku tidak mau mama tahu kalau aku tidak rela dan mama ikut sedih.

Malam ini hujan deras datang lagi di penghujung bulan Desember. Listrik padam, dan aku sibuk dengan dukaku. Sibuk mengenang kebersamaanku dengan Mama. Seandainya Mama ada di depanku saat ini, yang aku ingunkan cuma satu, aku ingin memeluk mama lagi, bercerita panjang lebar sampai aku terlelap dan lupa dengan ketakutanku.

Seandainya Mana ada di sini, aku cuma mau bilang, selamat hari ibu ma. Terima kasih sudah menjadi Mama yang luar biasa dan mengorbankan segalanya untuk aku.

Teruntuk, IbuWhere stories live. Discover now