"Kita mencintai Rasulullah. Tapi lisan kita bahkan terasa berat untuk mengucapkan shalawat kepadanya. Kita mencintai Rasulullah, tapi tubuh kita berat untuk mengikuti sunnahnya."
"Saat orang lain berlomba-lomba mengamalkan sunnahnya, kita malah berdalih, ah, kan cuma sunnah, bukan wajib, jadi tidak apa-apa bila tidak dikerjakan." Ni Maya memberi tausiyah sehabis isya
""Mau ditaruh dimana muka kita, saat bertemu beliau nanti. Kita yang mengaku mencintai beliau, tapi dengan sengaja melukai hatinya, dengan meninggalkan sunnahnya."
"Sunnah itu pegangan hidup kita, jalan hidup kita untuk selamat dunia akhirat. Itulah yang dulu dilakukan oleh Rasulullah. Itulah yang kita ikuti."
"Apabila saat ini kita bertemu dengan Rasulullah, apa yang akan kita katakan padanya? Apa yang bisa kita banggakan dihadapannya? Beliau yang sampai akhir hayatnya menyebut nama kita, ummati ummati ummati." Suara ni Maya terdengar serak.
Yaa Rabb, aku seperti bisa mendengar Rasul memanggil kami, ummatnya, saat beliau sakaratul maut. Air mataku menggenang.
"Beliau yang menyebut nama kita dihadapan para sahabatnya, sehingga para sahabat merasa cemburu. Kita disebut sebagai saudara oleh beliau. Kita, manusia akhir zaman, yang tidak pernah melihatnya, tapi mencintainya, dan mengikuti sunnanhnya."
Air mataku mulai mengalir, allahumma shalli 'ala muhammad. Betapa aku masih jauh dari mencintaimu, betapa aku masih jauh dari mengamalkan sunnahmu.
"Siapa yang ingin bersama kekasih Allah saat di hari akhir nanti? Kita semua ingin, ingin sekali. Bertemu dengannya, memeluknya, mengatakan bahwa kita adalah ummatnya, yang mengamalkan sunnahnya, saat yang lain meninggalkannya."
Hiks.., aku mulai terisak. Aku ingin ya habiballah, ingin sekali. Tapi aku masih terlalu jauh dari sunnahmu.
"Kita ingin, Rasul memberikan syafaat pada kita saat hari akhir nanti. Kita ingin Rasul memandang kita dengan wajah penuh senyum."
"Jangan sampai.., Rasul memalingkan wajahnya, karena malu melihat kita. Mengaku ummatnya, tapi meninggalkan sunnahnya.." Ni Maya memberi penutup dengan suara serak, menahan tangis.
Semua peserta meneteskan air mata. Larut dalam tausiyah yang disampaikan ni Maya. Apa yang disampaikan dengan hati, akan sampai ke hati. Aku ingin suatu hari nanti bisa seperti ni Maya. Memberi manfaat kepada orang lain.
Kami berpelukan satu sama lain, menangis sesugukan. Saudaraku, sesama muslimah. Merekalah yang akan menjadi penolongku nanti di hari akhir.
Cari aku wahai saudariku, panggil aku, saat kau tidak menemukanku di surga nanti. Tangisku bertambah kencang, aku memeluk ni Maya seolah tidak mau melepaskannya. Inilah ukhuwah, terasa begitu indah.
====
Aku terbangun saat waktunya shalat malam. Pelan aku duduk dan melihat sekelilingku. Ada yang sudah bangun, ada juga yang masih terlelap. Aku membangunkan Arum yang tidur disebelahku. Kami tidur menggelar karpet di ruang tengah.
Aku beranjak ke kamar mandi untuk buang air kecil lalu berwudhu.
"Gufronnaka." Ucapku setelah keluar dari kamar mandi.
Kami shalat lail berjamaah. Kali ini ni Ratih yang menjadi imam. Ni Ratih ketua keputrian di FSI Teknik. Bacaannya tartil dan lembut. Menyentuh hati siapapun yang mendengarnya.
Walau aku tidak paham arti surat yang dibacakan, tapi hatiku larut dalam kesedihan. Aku mulai terisak, ingat akan dosaku, maksiyat yang aku lakukan, dan betapa kecilnya diriku dihadapan-Nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dearest Mai (Insya Allah akan dinovelkan, beberapa bab Unpublished]
SpiritualPernahkah kamu tidak menyukai seseorang, tapi kemudian hatimu berkata lain? Pernahkah kamu mengira, bahwa ia adalah jodohmu, tapi ternyata ia ingkar janji? Pernahkah kamu merasa putus asa, hingga menerima jodoh yang tidak kamu kenal sebelumnya? Pern...