Gita POV
"Biar aku yang antar kamu pulang ya, Git." Telah memasuki hitungan keempat, Radit menyuarakan tawaran yang berakibat pada lemahnya detak hatiku.
Ketampanannya saat ini membuatku dengan mudahnya tersipu. Apalagi jika berada di dalam satu mobil dengannya, aku mungkin akan salah tingkah setengah mati.
"Jangan deh, Dit. Nggak enak diliat pegawai yang lain." Akhirnya, aku bisa menemukan suatu alasan yang tepat.
Saat ini, kami belum beranjak dari tempat yang menjadi saksi bisu kejadian memalukan beberapa menit yang lalu. Kejadian ketika aku memeluk manusia yang berjarak paling dekat denganku karena keberadaan seekor kucing tepat pada satu langkah di samping tempatku berdiri. Menemukan pemandangan itu, aku secara spontan berteriak dan menjatuhkan diri dalam pelukan Pak Satpam. Akan tetapi, hal yang jauh lebih memalukan adalah ketika kejadian itu disaksikan pula oleh Dean dan Radit. Dua lelaki tampan yang sedang dikagumi oleh hatiku.
Rasanya menjadi berkali-kali lipat memalukan ketika ada seorang perempuan cantik yang berdiri tepat di sebelah Dean. Aku hanya berkhayal terlalu tinggi jika menganggap suatu saat nanti bisa bersanding di sebelah lelaki tampan itu. Bagaimana tidak? Istri pilihannya itu benar-benar serasi dalam menyeimbangkan keindahan wajah Dean. Tapi bukan masalah besar, memang lebih baik jika aku mengetahui fakta ini lebih awal, aku belum memasuki tahap menanamkan harapan-harapan.
"Git. Kamu denger aku, kan?" Menyibukkan diri dengan pikiranku sendiri membuat aku mengabaikan Radit, bahkan dia telah mengayun-ayunkan tangannya tepat di depan wajahku.
"Hah? Gimana, Dit?".
"Aku bilang, kenapa harus peduli sama omongan pegawai lain nantinya?"
Bagaimana ini? Radit sepertinya tidak menawarkan tumpangan untuk pulang. Tetapi, dia dengan jelas tengah memaksaku.
"Ya udah, ini pertama dan terakhir ya, Dit. Aku harus balik ke ruangan lagi, nih." Tujuan awalku menuju lobby adalah untuk menerima berkas titipan Gea, rekan kerjaku dari divisi pemasaran yang berhalangan hadir hari ini. Hampir saja aku melupakan tujuan itu.
"Untuk yang pertama sih aku setuju, Git. Tapi untuk yang terakhir, aku nggak setuju."
Kenapa dia semakin keras kepala sih? Menyebalkan, batinku.
"Kita bahas nanti aja ya, Dit. Liat tuh udah mulai banyak yang liatin." Ucapanku memang didasari oleh kenyataan yang ada. Beberapa pegawai tampak sengaja berlalu lalang di sekitar lobby untuk memantau kami.
"Okay, tapi bisa di-unblock kan kontak aku? Biar nanti kamu kabarin di sana aja kalau udah selesai kerjaannya."
Hua! Ternyata Radit tau selama ini kontaknya itu aku block.
"Oh, iya. Aman. Aku balik ke ruangan, ya." Aku setengah berlari menuju ruangan kerja setelah sebelumnya mengambil berkas Gea. Benar-benar memalukan.
***
"Jadi gimana? Beneran enggak mampir? Mau langsung pulang aja?"
Saat ini, aku dan Radit telah berada di dalam mobil miliknya menuju perjalanan ke rumahku. Suasana canggung yang aku bayangkan beberapa jam yang lalu benar-benar terjadi. Aku seakan kehilangan kemampuan berbahasa. Aku hanya bisa menyuarakan kata iya, tidak, atau mungkin.
"Iya, langsung pulang. Kan kamu juga nawarinnya ngantar pulang." Suasana hatiku tiba-tiba saja memburuk. Mungkin dikarenakan aku bukan tipikal manusia yang rela begitu saja dipaksa. Dari sikap dan pertanyaan Radit barusan, aku menemukan sifatnya yang suka memaksa walaupun secara tersirat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akhir Pertama [Segera Terbit Open PO]
General Fiction"Kalau emang kamu gak suka sama Radit, jangan kasih celah buat dia bisa dapatin kamu, kasih ke aku." *** Kisah ini datang dari dua manusia dengan kecepatan jatuh hati yang saling bertolak belakang. Gita selalu mudah jatuh hati pada lelaki yang berpe...