Latte [7]

8K 882 24
                                    

Awalnya aku enggan untuk datang. Tapi Genta meyakinkanku bahwa bertemu dengan Reon adalah jalan untuk keresahanku. Ya, aku akhirnya menceritakan tentang Reon pada Genta setelah tiga minggu kami saling mengenal. Aku merasa Genta berbeda, dia memiliki pemikiran luas. Dia memberiku penjelasan tentang alasan aku harus bertemu Reon lagi. Bukan karena kasihan tapi agar aku tahu aku harus melangkah ke mana. Bukan tetap berjalan di tempat dengan perasaan yang terbelenggu. Kembali atau melangkah sendiri.

Sekarang di sinilah aku, rumah Reon setelah kemarin bercerita panjang pada Genta. Menjenguk dia yang sakit. Jelas terlihat kantung mata dan tubuh lemas yang dipaksakan duduk tegap. Setiap kata yang dia ucapkan meremas hatiku. Inikah namanya move on yang gagal hanya oleh permintaan maaf?

Tapi ini yang disarankan Genta. Reaksiku atas semua akan jadi jawaban untuk aku melangkah. Aku menangis, rasanya sakit itu terasa lagi. Genggaman tangan Reon di tanganku menyesakkan dada. Aku bimbang. Ternyata aku masih tak mampu menentukan langkahku.

Ada rasa takut untuk kembali ke tempat yang sama. Ada rasa ingin tapi juga enggan untuk kembali merajut hubungan. Melihat matanya yang ikut berkaca-kaca membuat hatiku miris sakit. Tapi tetap saja aku takut untuk kembali. Merasa ada yang mengganjal dan memaksaku untuk tetap diam bukan mengiakan kembali.

"Maaf, aku malah jadi menangis di sini."

"Jangan nangis lagi. Aku mau ngelakuin apapun asal kamu senyum lagi."

Aku menggeleng. Aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Sebelah hatiku merasa lega tapi sebelah hatiku tak mau menerima. Bukan aku labil tapi aku menyadari sesuatu yang pernah tersakiti tak bisa dengan mudah kembali seperti dulu. Butuh proses walaupun kami sudah mengenal cukup lama dan bersama menjadi sepasang kekasih hampir dua tahun.

Sungguh bukan aku ingin membalasnya tapi hatiku bimbang bukan main. Aku merasa lebih baik sendiri saat ini. Belajar lebih mencintai diriku sendiri daripada mencintai orang lain. Dengan begini aku bisa jadi lebih baik, belajar tak jadi cewek posesif dan lebih memahami bahwa semua yang berlebihan akan berakhir kurang baik.

***

"Merasa lebih baik?" tanyanya sesampainya kami di Mc. D

"Ya."

"Lega?"

"Ya," jawabku lagi tanpa mengubah arah pandangku pada langit yang mulai menggelap. "Makasih."

"Mau langsung pulang atau ingin minum ronde mungkin?"

"Bisakah membawaku ke Mc. D?"

"Mc. D?"

"Aku mau beli ayam pokpok versi anak-anak biar dapet mainan."

"Ok. Walaupun terasa aneh. Ronde jadi ayam," balasnya dengan alis terangkat sebelah.

Aneh. Entahlah tiba-tiba saja aku kepikiran untuk makan ayam pok-pok dan mendapat mainan imut. Aku mengulum senyum melirik ekspresi Genta yang mengerutkan kening sekarang.

"Aku ingin mainannya."

"Kalau cuma ingin mainannya kita bisa beli di toko mainan."

"Aku bukan hanya ingin mainannya. Tapi merasakan sensasi bisa mengumpulkannya."

"Kamu sungguh luar biasa aneh."

"Semoga terbiasa."

"Akan aku biasakan, pastinya."

Kami pun tertawa renyah. Perasaanku sungguh lega saat ini dan ingin tersenyum bahkan tertawa lepas. Genta benar, aku harus menghadapinya bukan menghindarinya. Apapun risiko yang didapat. Aku tetap harus memilih. Karena hidup memang sebuah pilihan. Memilih melangkah atau berhenti di tempat dan perlahan namun pasti aku akan mati tanpa merasakan prosesnya melangkah meraih masa depan.

Aku, Kopi, dan KameraWhere stories live. Discover now