[0]

86.2K 5.2K 227
                                    

DI KEHENINGAN MALAM, yang terasa begitu sunyi dan menenangkan, kedua pasangan itu duduk di sebuah bangku taman dengan paparan sinar bulan purnama yang indah. Salah satu dari mereka, menggendong buah hati mereka yang mungkin belum tepat berumur dua purnama.

"Bukankah dia begitu cantik?"

Pertanyaan sederhana itu keluar dari bibir sang Luna–membuat Erold terkekeh. Namun jelas, tanpa perlu diteliti lebih lanjut, raut kebahagiaan dapat dengan mudah ditemukan pada wajah keduanya.

"Tentu saja dia cantik, Sayang," tutur Erold. Salah satu tangannya bergerak menuju pipi pasangannya–Elga, mengelus lembut pipi kirinya dan menatap netra biru itu dalam-dalam. "Secantik dan memiliki pesona sehebat ibunya."

Eleanore Gavienna atau biasa dipanggil Luna Elga itu mencubit lengan suaminya. "Jangan menggodaku terus-menerus!" omelnya. "Aku bicara sungguh-sungguh. Putri kita terlihat begitu spesial–entahlah, aku merasa tak pernah melihat bayi secantik ini."

"Dia pasti akan menjadi gadis yang menawan banyak hewolf," gumam Erold tetapi masih terdengar oleh Elga. "Maka hewolf manapun harus berhadapan denganku terlebih dahulu untuk mendapatkan putri kita."

Elga tersenyum. "Kenapa kau berkhayal jauh sekali? Putri kita ini masih kecil. Dan kalaupun nantinya dia dewasa, aku tidak akan membiarkanmu terlalu mengekangnya, Erold."

Suasana di antara keduanya hening. Erold mengangkat kepalanya, menatap purnama yang terlihat begitu indah dan bercahaya.

"Elga," panggilnya. "Dengarkan aku."

"Ada apa?"

Erold menatap putri semata wayangnya. Walau sudah berumur satu bulan lebih satu minggu, putrinya ini masih belum memiliki nama. Baik Elga maupun dirinya belum bisa menemukan nama yang cocok untuk disematkan pada putri cantiknya itu.

"Kurasa aku menemukan nama yang tepat," ucap Erold.

"Benarkah? Aku ingin mendengarnya."

"Bagaimana kalau Esmeralda?" Erold bertanya. Ia pun tak paham kenapa ingin menamai putrinya dengan nama tersebut. Tapi bagi Erold, nama Esmeralda mirip dengan emerald–nama sebuah batu mulia. Lagipula, nama itu terdengar tangguh.

Elga terperangah. Sedikit tak percaya jika suaminya ini–yang menurutnya sering berpikiran dan bertingkah konyol–bisa terbesit nama seindah itu. "Bagus sekali," pujinya. "Erold, sayang, bolehkah aku menyematkan satu nama lagi pada buah hati kita?"

"Tentu saja, Sayang. Aku tahu kau selalu ingin memberi nama anak-anak kita."

"Esmeralda Chloresia. Jika kutambahkan menjadi Esmeralda Gazella Chloresia? Aku ingin dia memiliki inisial nama kita."

Erold tersenyum, merengkuh istrinya lebih dekat lalu mencium pelipisnya.

"Apapun untukmu, Sayang."

.

Elga menatap sekelilingnya dengan awas. Dalam hitungan detik, ruangan yang ia anggap paling aman di pack house ini terasa begitu mencekam. Ia memasang seluruh indranya sebaik mungkin seraya sesekali melihat ke arah ranjangnya, di mana putri kecilnya tetap tertidur pulas–seolah tak terganggu dengan kebisingan yang terjadi di luar.

Dirinya sendiri pun masih tak bisa mempercayai hal ini. Rasanya, baru tadi ia tertidur pulas setelah sebelumnya berbincang-bincang dengan Erold dan penghuni pack lainnya. Kemudian dalam sekejap, suasana hangat itu berubah menjadi dingin juga mencekam.

Takut-takut, Elga mengintip keadaan di luar melalui jendela kamarnya. Satu-satunya hal yang bisa ia temukan hanyalah tubuh-tubuh para warrior yang telah menjadi mayat karena kehabisan darah.

Chain LoveWhere stories live. Discover now