Ilona menyingkirkan selimut yang menutupi kakinya. Dari balik jendela yang tirainya sedikit terbuka, dia melihat hujan masih mendera bumi dengan derasnya. Harum tanah dan rumput basah semilir masuk ke dalam kamar melalui celah-celah jendela dan lubang ventilasi di kamarnya.
Pukul dua dinihari, dan Ilona masih terus gelisah membolak-balik tubuh di atas tempat tidur tanpa bisa pulas. Pertanyaan Ferdan tiga hari yang lalu masih terus mengganggunya. Meskipun sewajarnya sebagai seorang atasan Ferdan bertanya tentang statusnya sebagai anak buah, namun dia menangkap keingintahuan yang terlalu besar dalam suara Ferdan. Dan simpati yang terkandung dalam suaranya, membingungkan Ilona.
Sejak kehadiran Ferdan di kantor menggantikan kepala divisi humas yang pensiun, tidak sedikit karyawati yang mencoba menarik perhatiannya, mulai dari memberikan sapaan manis penuh madu, menawarkan makan siang buatan sendiri sampai terang-terangan menawarkan diri menemaninya ke karaoke atau makan malam. Semua di tanggapi dengan senyum seulas dan ucapan terima kasih yang santun. Sudah memasuki bulan ke tujuh dan persaingan masih tetap panas.
Calon pewaris tunggal perusahaan besar beraset raksasa, meskipun duda namun usianya masih terbilang sangat muda, dengan rupa dan perawakan di atas rata-rata, tampaknya tidak membuat Ferdan menjadi demikian mudah menerima sembarang wanita untuk mendampinginya. Sedikit banyak pasti karena adanya Tasya.
Kedudukan manager yang sekarang sedang dijalaninya, semua orang tahu, hanyalah sebuah batu loncatan yang akan membuka gerbang kearah jabatan direktur utama yang sampai saat ini masih dipegang oleh ayahnya, Danarta Widjadja. Gosip bahwa sang Ayah tengah melatih anaknya dari bawah sebentar lagi mungkin bukan hanya sekedar gosip.
Keingintahuan banyak orang tentang almarhumah istrinya, bagaimana mereka menikah di usia muda kemudian mempunyai putri seperti Tasya, membuat Ferdan lebih keras menjaga batas profesional, meskipun diluar kantor ia ramah dan santai.
Ilona sedikit miris dengan kenyataan, anak seperti Tasya harus kehilangan ibunya dalam usia yang masih sangat muda, apalagi dengan segala kelemahan dan penyakit yang dideritanya. Ferdan pasti banyak mengalami masalah dan kesulitan dalam mengurus Tasya. Ilona seringkali merasa kesal mendengar beberapa karyawati berbisik-bisik membicarakan Ferdan.
Dua hari yang lalu Ilona bahkan sempat adu mulut dengan karyawati bagian Marketing yang mendekatinya hanya untuk meminta informasi tentang Ferdan. Posisinya sebagai asisten utama membuat Ilona seringkali dipandang sebagai saingan berat atau bahkan sumber informasi oleh karyawati-karyawati yang cukup percaya diri untuk menarik perhatian Ferdan.
Ponselnya berdering ditengah lamunan. Ilona heran, melihat jam dinding di kamarnya sudah bergeser lagi ke pertengahan antara angka dua dan tiga. Siapa yang meneleponnya selarut ini.
Ilona melihat layar lcd ponselnya dan menemukan nama Ferdan tertulis di atasnya. "Ha ... halo ...?"
"Lona...maaf aku membangunkanmu, tapi aku butuh teman sekarang, dan entah mengapa aku hanya bisa mengingatmu," suara Ferdan terdengar panik dan gelisah. "Tasya...dia kejang hebat, baby sitternya sedang cuti, aku...apa aku mengganggumu?"
Ilona bangkit dari tempat tidur dan menyambar jaket dari kapstok, mencari-cari kunci mobil di atas meja riasnya sambil tetap menempelkan telepon di telinganya. "Tidak ... aku belum tidur," sahut Ilona sambil membuka pintu kamar dan mematikan lampu. "Dimana Tasya sekarang?"
Terbata-bata Ferdan menyebutkan alamat sebuah rumah sakit. Ilona bergegas memacu mobilnya, membelah gelap dinihari yang berhujan. Dia sama sekali tidak memperdulikan penampilannya yang pasti acak-acakan, tanpa sempat menyisir rambut apalagi mengenakan make up.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sempurnanya Cinta
RomanceSudah terbit ya... Pemesanan versi cetak (cerita agak sedikit berbeda, lebih greget pokoknya), bisa hubungi penulis langsung) Perceraiannya dengan Bima, pernikahan Bima dengan wanita lain pilihan Ibu mertuanya, dan kelahiran anak-anak kembar Bima, m...