Lima

53.1K 6.3K 328
                                    

Hai, sebenarnya aku gak ada niat untuk update hari ini. Tapi aku kalah taruhan di grup. Dan aku utang dua kali update-an untuk hari ini. Hiks *emot nangis*. Mereka menyebalkan, kan? Sekarang aku update 1 part dulu. Satunya mesti ditulis dulu. Tobat aku ikut taruhan. Gak pernah menang. *emot nangis (2)*. Buat mak-mak mecum dan lajanger di grup, puas kalian? Puas???? Huhuhu...

**

Tawa Sofi sepertinya tidak berujung. Dia tampak sangat menikmati kesialanku. Aku tadi menceritakan bencana telpon imajinasi yang membuat Pak Andra menggeleng-geleng. Terlihat berusaha keras menahan diri supaya tidak mengomel. Aku tidak tinggal lebih lama di tempat itu untuk mengetahui reaksinya lebih jauh. Aku segera melompat masuk ke dalam taksi yang kebetulan berhenti di situ untuk mengantar penumpang. Berpamitan sekadarnya tanpa menunggu Pak Andra menjawab.

"Itu tadi malu-maluin banget," kataku di sela-sela suapan makan siangku. "Kalo kejadiannya di atas atap, gue pasti udah terjun tanpa mikir dua kali."

"Lebay lo!" Sofi mencibir. "Sejak kapan lo punya malu?"

"Ïtu salah dia juga sih." Aku membela diri. "Kalo dia nggak sombong dan nyebelin kayak gitu, gue kan nggak perlu pake jurus kotor ngadepinnya."

"Dia Bos lo," Sofi mengingatkan. "Tugas dia emang buat menilai hasil kerja lo. Dia dibayar untuk mencaci maki dan bikin hidup lo susah."

"Kalo dia nggak searogan itu, dia pasti nyenangin buat dikecengin. Vitamin mata."

"Cakep, ya?" Sofi akhirnya berhasil menghentikan tawa. "Mata lo kan nggak pernah salah kalo urusan lihat barang bagus."

Aku mengangguk. "Banget. Tapi sifatnya nyebelin. Malesin." Aku tiba-tiba teringat gosip Raisa tadi pagi. "Buaya juga. Kayaknya sih penggemar melon."

"Dia vegan?" Sofi mulai antusias. "Ajak ke sini dong. Lumayan buat nambah pelanggan gue." Restorannya memang mengkhususkan diri untuk para vegetarian dan orang-orang yang punya masalah dengan penyakit tertentu sehingga membutuhkan diet khusus.

Aku mengarahkan bola mata ke atas. Daya tangkap sahabatku ini memang kadang-kadang terbatas. Dia selalu tidak percaya diri dan mempertanyakan hal-hal yang tidak perlu. Cinta suami yang tampak memujanya saja masih dia ragukan. Aneh.

"Bukan melon buah." Aku meletakkkan tangan di bawah dada. "Melon buatan Korea yang nempel di dada."

"Ästoge!" Sofi melotot. "Pacarnya punya dada Korea segede melon gitu?"

Aku tidak yakin hubungan fisik Pak Andra dan Mbak Sandra melibatkan perasaan, karena sepertinya mereka baru saling mengenal satelah Pak Andra masuk ke kantor kami. Kecuali kalau mereka mengalami hal konyol dan bodoh yang menjadi bahan tipuan utama drama Korea dan film romantis Hollywood. Love at the first sight. Ciihh...

Hei, jangan salah. Aku pemuja cerita roman panas. Hampir semua buku yang kubaca mengambil tema itu. Ketika pandangan kedua tokoh utama bertemu dan semesta seketika bersekutu untuk membuat mereka jatuh cinta. Saat itu, waktu seperti terhenti, arus listrik menyambar dari mana-mana, hormon yang menggelegak, dan ini yang paling sering, koloni kupu-kupu yang mendadak bersarang di perut mengepak bersamaan, membuatmu geli sekaligus mual karena gugup. Hueekkk. Itu memang berhasil di dalam lembaran buku. Sering menipuku malah. Aku menghabiskan banyak uang untuk mengoleksi buku-buku bodoh itu. Imajinasi yang menyenangkan.

Tapi dunia nyata berbeda dengan negeri khayal yang tertempel di lembaran buku. Atau gambar di layar kaca. Sejatinya, cinta pada pandangan pertama itu hanya tipuan. Terlihat sangat indah karena itu tidak akan terjadi di dunia nyata. Orang butuh beberapa kali bertukar tatap untuk bisa tersipu-sipu. Kecuali kalau kamu kedapatan menatap bokong seseorang dengan sengaja. Alih-alih tersipu, kamu akan rela bunuh diri. Aku familier dengan rasa malu itu.

"Kayaknya mereka nggak pacaran deh." Aku mengangkat bahu. "Friends with benefit."

"Ästaga!" lagi-lagi Sofi melotot. Bola matanya hampir keluar dari rongganya. "Bos lo penganut free sex gitu? Nyemprot di mana-mana?" dia tergidik. "Lo jauh-jauh dari dia deh. Ntar lo malah jadi sasarannya. Lepas segel ama buaya kagak gitu bukan pilihan pinter."

Aku mengedik. "Doi mainannya melon, Sof. Lagi pula, dia pasti sebel banget ama gue karena kejadian tadi deh. Gue beneran harus pasang muka polos kalo ntar ketemu dia pas balik kantor," keluhku.

"Untuk lo, mending disebelin daripada diajak buka segel sebelom ijab. Kalo lo nggak bisa nolak kan bisa jadi bencana. Ketahuan mendesah sebelom ketemu penghulu ama Mama lo, tamat riwayat lo. Digantung di tiang bendera sampe kering lo."

Aku memutar bola mata. "Cakep sih cakep, tapi kelakuan nol besar. Siapa yang bisa jamin kalo onderdilnya bukan mesin produksi virus HIV? Gue sih ogah lepas segel sama mahkluk kayak gitu."

"Hush, hati-hati ngomongnya. Kualat, tahu rasa lo!"

Aku tertawa keras. "Gue nggak munak, Sof. Gue sama sekali nggak masalah sama orang pengalaman kayak dia, atau Kak Gian, tapi sombongnya itu bikin ilfill. Gue bawaannya mau ngamuk aja tiap liat mukanya."

Sofi ikut tertawa. "Kata orang-orang, batas benci dan cinta itu tipis banget lho."

"Orang-orang bodoh, maksud lo?" Aku melirik pergelangan tangan. "Sial, jam istrahat udah kelar," keluhku. "Kelar juga hidup gue kalo Pak Andra ngamuk karena gue kerjain dan bohongin tadi."

Ganti Sofi yang tertawa. "Lo sekarang udah mesti mikir kalo mau ngomong atau ngerjain orang deh."

Itu saran yang bagus, hanya saja, butuh usaha untuk melakukannya.

**

Aku membenamkan diri di kursi setelah sampai kantor. Tak kupedulikan tatapan menyelidik Raisa. Laptop kukeluarkan dari tas dan menghidupkannya.

"Lo kok pulangnya nggak barengan Pak Andra?" tanyanya. Dia tidak berniat membiarkanku sendiri.

"Gue tadi mampir makan di tempat Sofi."

"Presentasinya gagal atau gimana? Kok muka Bos nyeremin tadi?" Raisa terus bertanya.

Aku meringis. "Isshhh... lo kayak ngeremehin bakat gue aja. Presentasinya sukses dong."

"Lalu kenapa tampang Bos kayak orang nanggung pas digerebek hansip?"

Aku mendekatkan kursi pada Raisa. "Gue ngajuin ide sampah gue sama klien, dan mereka milih yang itu." Aku tersenyum puas. "Bos pasti lagi sebel banget tuh."

"Ya ampun!" Raisa menggeleng-geleng. "Nah, kan! Gue udah menduga ini dari awal. Tampang jail lo kalo mau ngerjain orang itu kebaca banget. Nekat banget sih lo, Sit? Lo pasti kena amuk kalo nggak dipecat deh."

Aku mengibas. "Gue nggak mungkin dipecatlah. Gue dapet iklannya, kan? Semua udah gue perhitungin kok."

"Andai gue punya diiikit aja nyali lo, hidup gue bakal lebih berwarna."

Aku tertawa. "Itu pujian, ya? Makasih deh. Gue tahu Bos nggak akan mecat gue kok."

"Dari mana lo tahu?"

"Kalo semalam dia dapet Big O di tempat Mbak Sandra, mood-nya pasti bagus banget hari ini. Nggak mungkin dia mecat orang. Kepuasan batin bikin orang lebih toleran."

Pandanganku beralih pada Putra yang menggeleng-geleng.

"Lo kenapa?" Raisa rupanya mengikuti arah mataku. "Udah kayak boneka anjing pajangan mobil."

"Itu tanda-tanda orang yang batinnya gak puas," selaku. "Lo kelamaan nggak buka gesper, kali. Cari big O gih, kayak Bos, biar nggak muram gitu. Laki-laki yang kehidupan seksualnya sehat, kelihatan dari auranya yang berkilau."

Wajah Putra terlihat makin kecut. Pandangan lurus ke belakang, melewati bahuku. Seketika perasaanku menjadi kurang enak. Pelan-pelan aku menoleh. Astaga, Pak Andra ada di situ! Sejak kapan? Apa saja yang sudah dia dengar? Kenapa nasibku sial sekali hari ini? Aku benar-benar harus mengadakan ritual buang sial.

"Sita, ke ruanganku. Sekarang!" Dia berbalik pergi.

Mati aku!

"Lo mau dikasih big O kali, Sit." Putra menyeringai sambil mengedip genit. "Biar batin lo puas dan nggak nyinyir lagi."

Sialan!



Dirt On My Boots (TERBIT) Where stories live. Discover now