9 :: Surat Terakhir Buat Kakak

283 8 0
                                    

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui"

Sejenak kumenghentikan bacaanku, begitu makna Al-Baqarah ayat 216 aku pernah mendengarnya, rupanya orang mengutipnya dari sini, sebagai pengobat saat kuharus mengakui satu hal yang membuatku membenci keadaan ini

Aku menutup Al-Qur'anku tanpa menyelesaikan sampai maqro, tanpa Shadaqallah untuk mengakhirinya. Rasanya lidahku tak bisa membaca kalam Illahi itu dengan benar, percuma tak ada lagi teguran saat aku salah melafalkan tajwid maupun makhraj. Semua tak lagi kudapat semenjak orang itu diam dan tak bergerak sama sekali.

Katanya aku terlalu dini untuk mengerti semua ini, usia 12 tahun terlalu kecil untuk memahami yang sedang terjadi. Orang dewasa mana yang mengerti perasaanku bahwa aku sangat takut.

"Mifa, udah ngajinya" aku menengadah setelah membenamkan wajahku di samping orang yang saat ini masih tetap istiqomah dengan tidur panjangnya, aku menatap wanita yang berdiri dekat tempat dudukku, lalu kembali menatap orang itu yang wajahnya terhalang oleh ETT yang menerobos tenggorokannya, padahal jika tak ada alat itu ia begitu tampan.

"makan dulu ya, Ayah nunggu di kantin, biar kakak bunda yang jaga" bujuknya sambil mengelus kepalaku yang terbalut kerudung biru tua, warna favorit kakak.
Aku mengangguk pelan dan meletakkan Al-Qur'anku di atas meja, berat kakiku meninggalkan ruangan itu, ruangan dingin yang seminggu ini menjadi rumah kedua kami.

***

Azam, begitulah orang memanggilnya, ia akan protes bila aku memanggilnya kazam, kak Azam, itulah maksudku.

Jika orang bercerita tentang pacarnya, ayah atau bundanya, maka aku ingin menceritakan tentang kakakku, kakak juara satu yang kumiliki, kakak terhebat yang kuteriakan namanya agar semua tau, tak ada yang kubanggakan selain dia.

"kehidupan ini seperti ikhfa, samar. Nikmat yang Allah limpahkan itu seperti Idzhar, jelas"

"jadi hukum nun mati bertemu fa itu apa? Ikhfa atau Idzhar?"

"huruf Ikhfa ada berapa, lima belas" kak Azam belum kasih tau semuanya

"kalau Idzhar, kakak udah kasih tau, kan, apa Fa termasuk di dalamnya?"

"tidak"

"nah, sekarang kau tentu tau jawabannya, satu lagi yang mesti dibiasakan, panggil kakak aja, ga usah pake nama ga sopan"

Baru setahun ini kak Azam mengajarku, yang saat itu aku baru menamatkan iqro enam, saat itu ia masih terlihat baik-baik saja meski tubuhnya terlihat semakin kurus, aku tak tau apa yang terjadi, setauku kak Azam pulang dari pesantren karena sudah selesai Tsanawiyyah dan akan melanjutkan ke Aliyyah di pesantren yang berbeda.

Awalnya aku mengiyakan, karena alasan cukup berlogika, namun hampir sebulan pasca tahun ajaran baru, kak Azam belum mengurusi pendaftaran ke Aliyyah manapun dan tak ada tanda akan kembali ke ponpes, aku mulai curiga, hingga akhirnya tau semua yang disembunyikan.

"emang Mifa gak ingin ya, kakak tetap dirumah?" tanyanya saat aku bertanya kenapa belum kembali kepesantren

"yee, tidak kak, malah Mifa seneng, kan kakak bisa ngajarin Mifa sampai khatam" jawabku sambil memperhatikan kak Azam yang sibuk dengan notebooknya

"Mifa tau ga siapa yang menghidupkan kita" tanyanya

"Allah..!" jawabku enteng

"kalau begitu, Allah juga yang mematikan kita, nah kalo urusan mati, mau kakak dulu atau Mifa dulu?"
Sejenak aku diam dan berfikir "yang tua dulu dong kak, haha" candaku
Kak Azam tertawa pelan "kalo benar kakak mati duluan, Mifa jangan nangis ya, kan Mifa sendiri yang minta, hehe!"
"yee pede, sayang tau air mata Mifa kalau hanya untuk nangisin kakak" celetukku, padahal aku begitu takut jauh darinya, jangankan untuk mati, waktu dia di pesantren saja, aku suka nangis sendiri ngangenin dia.

INDONESIA MEMBACAحيث تعيش القصص. اكتشف الآن