15. Kamu Milikku - (3)

49.7K 3.1K 20
                                    

Buku pelajaran Anastasya masih berserakan di ruang tengah. Televisi masih menyala, tetapi baik Ilyas maupun Anastasya tidak ada di sini. Saat mencari remote tv, Ilyas sudah di belakangku menyodorkan remote itu.

"Nyari ini?" tanya Ilyas.

"Iya. Nemu di mana?" Aku menerima benda itu dari tangan Ilyas.

"Dibawa Tasya."

"Anaknya mana?" Aku mematikan tv dan membereskan buku-buku Anastasya.

"Di kamar. Kamu telepon kak Gina, bilang kalo Tasya mau tidur di sini," perintah Ilyas.

Apa? Tidur di sini lagi? Sudah sebulan keluarga kak Gina menempati apartemen baru yang satu gedung dengan apartemen kami. Anastasya jadi sering main ke sini. Dia bahkan beberapa kali ikut menginap. Ini yang kesekian kalinya Anastasya tidak mau pulang.

"Ok," jawabku. Kutelepon nanti saja, setelah selesai pekerjaanku di ruang tengah ini.

"Sekarang aja sana! Ini biar aku yang beresin. Kamu 'kan udah beresin dapur." Ilyas mengambil alih pekerjaanku.

Sebenarnya dapur tidak terlalu berantakan. Sejak ada Anastasya, Ilyas suka mengajak aku dan Anastasya makan di luar atau pesan antar seperti malam ini. Jadi, yang kucuci hanya peralatan makan saja. Aku tidak terlalu lelah karena tidak memasak atau mencuci peralatannya. Kak Gina juga sering mengirim masakan untuk kami. Mungkin karena dia merasa Anastasya sering bermain bersama kami, jadi sebagai balasannya dia sering memberi makanan untuk makan malam. Lumayan bisa hemat pengeluaran dan tenaga untuk memasak. Aku pergi ke kamarku. Saat aku masuk kamar, Anastasya belum tidur. Anak itu sedang bermain iPad milik Ilyas.

"Kalo mau nginep ya tidur, jangan mainan iPad," tegurku.

"Tante belum minta izin ke mama, ya?" tanya Anastasya.

Ih kenapa aku yang minta izin? Bukan aku yang meminta anak ini tidur di sini. Aku mengirim pesan kepada kak Gina agar tidak usah menjemput Anastasya. Dia minta tidur di sini.

Anastasya senang tidur di sini karena kami tidur bertiga. Di apartemennya dia akan tidur sendiri. Ilyas sama sekali tidak keberatan ada Anastasya di kamar kami. Dia bahkan mengajak Anstasya juga saat kami pergi bersama teman-temannya. Ilyas cocok dengan Anastasya, dia memperlakukan Anastasya dengan baik. Kak Gina sendiri bahkan kesulitan membujuk Anastasya yang menangis saat keinginannya tidak dituruti. Ilyas juga bisa tegas pada anak itu jika dia tidak mau berangkat les atau mengerjakan tugas sekolahnya.

"Anastasya sudah gosok gigi?" tanyaku. Dia hanya mengangguk saja.

"Tante sudah sms ke mama kalau Tasya mau nginep di sini. sekarang tidur, ya," bujukku. Anastasya memberikan iPad itu kepadaku dan menarik selimutnya. Aku ke kamar mandi untuk menggosok gigi dan mencuci mukaku.

Lima menit berselang, aku mendengar pintu kamar mandi dibuka lalu ditutup kembali. Entah Ilyas atau Anastsya yang masuk, mataku sedang tertutup dan aku sedang membasuh muka. Tengkukku dicium Ilyas dan pinggangku direngkuhnya. Dia memelukku dari belakang. Ini orang enggak sabaran banget buat gantian pakai kamar mandi.

"Bentar aku pakai krim malam dulu," ujarku saat mengeringkan wajah dengan handuk. Bibir Ilyas masih menciumi bahu dan leherku.

"Minggir dulu, aku susah pakainya." Aku melepaskan tangan Ilyas di pinggangku, tetapi dia malah membalikkan tubuhku menghadapnya.

"Aku udah gosok gigi kok. Periksa aja nih," ujarnya.

Aku membuka mulutku untuk mengatakan sesuatu, tetapi dia memanfaatkanya untuk menciumku. Membuatku memasukkan lidah lalu mengeksplorasi mulutnya. Tangan Ilyas sudah meremas tubuh bagian depanku.

Tiba-tiba pintu diketuk lalu Tasya berteriak, "Tante ... Tante! Ini mama telepon."

"Kamu nggak bilang kak Gina, Tasya akan tidur di sini?" tanya Ilyas dengan ekspresi sangat kesal.

"Udah sms." Aku mendorong tubuh Ilyas dan merapikan ujung tank top-ku yang naik ke atas hingga memperlihatkan perutku. Aku membuka pintu lalu menerima telepon yang diberikan oleh Tasya.

"Tidur, Tasya," bujukku lagi dan dia tidak membantah lalu naik ke ranjang lagi.

"Ya, Kak?" sapaku ke kak Gina.

"Tasya nginep lagi?"

"Iya, tadi Jessie kan sms kakak."

"Suruh pulang aja, Jess!" perintah kak Gina.

"Aku nggak mau pulang, Ma ...." Tasya berteriak seakan tahu disuruh pulang oleh mamanya.

"Dia nggak mau pulang, Kak," aduku.

"Aduh, aku takut ganggu kamu lho, Jess," sesal kak Gina.

Ya, memang mengganggu. "Nggak, kok," kilahku.

"Ya udah, kalau dia bandel, nggak nurut, suruh pulang aja, Jess. Semakin dekat hari lahir adiknya, dia jadi makin cari perhatian aja deh," tutur kak Gina.

"Namanya juga anak-anak, Kak." Mau berkomentar apa lagi coba? Kak Gina menutup teleponnya setelah mengucapkan terima kasih. Aku berbaring di samping Anastasya dan tak lama Ilyas ikut bergabung. Anastasya berbaring di tengah-tengah kami.

"Om tadi ngapain di kamar mandi?" tanya Anastasya yang kini menghadap ke arah Ilyas.

"Cuci muka," jawab Ilyas singkat.

"Cuci muka aja kok ditemenin Tante? Aku aja berani ke kamar mandi sendiri," ejek anak itu.

Aku segera menarik selimut menutupi wajahku dan memejamkan mata. Tak berniat membantu Ilyas memikirkan jawabannya. Bukannya aku tidak suka keberadaan Anastasya. Hanya saja, aku berharap dia tidak setiap hari tinggal di apartemen kami. Nantinya Ilyas yang harus kesal karena menunda aktivitas kami sebagai suami-istri.

"Jangan banyak ngomong, udah tidur aja!" Kudengar nada bicara Ilyas masih ada rasa kesal di sana.

Aku menahan tawaku di balik selimut. Salah sendiri kemarin keponakan menginap dikasih izin. Sekarang menginap lagi, dibolehin juga. Giliran hasratnya tidak tersalurkan karena diinterupsi keponakannya sendiri malah emosi.

***

REPOST 30/11/21

I Love You, Suamiku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang