[DUA PULUH DELAPAN]

16.9K 1K 61
                                    

"Makasih."

Adina tersenyum saat menerima secangkir cappuccino yang dibuatkan Hera. Gadis Jepang itu tersenyum dan duduk di hadapan Adina. Pagi ini Adina datang menemui Hera di rumahnya. Hera tahu kalau cepat atau lambat Adina akan datang. Secara tidak langsung selama ini ia sudah ikut campur dalam urusan hubungan Adina dengan Angkasa.

"Lo sampe jam berapa?" tanya Adina setelah meneguk cappuccino yang manis itu.

"Jam 11 malem dan gue masih lumayan jet lag," jawab Hera.

Adina meringis merasa bersalah karena datang terlalu cepat. "Sorry, gue nggak kasih lo waktu buat istirahat."

Hera tersenyum lalu menggeleng. "Gue tahu kok lo pasti bakalan samperin gue. Jadi, darimana gue harus memulai?"

"Soal Sherin, dia memang bener-bener punya gangguan?" tanya Adina. Sejujurnya sampai detik ini ia masih juga belum percaya kalau Sherin sesempurna itu memiliki gangguan mental.

"Lo nggak nyangka, kan? Awalnya gue juga nggak percaya kalau Sherin punya gangguan. Semenjak hari itu lah, hari dimana Sherin pertama kalinya curhat ke gue soal Angkasa. Gue lihat obsesi yang menggebu-gebu di dalam diri Sherin. Awalnya itu semua cuma dugaan sementara gue doang. Tapi semakin ke sini, Sherin mulai nggak kekontrol. Dia terobsesi sama Angkasa."

"Kenapa Angkasa?"

"Angkasa cinta pertama Sherin dan Sherin semakin terobsesi saat tahu kalau Angkasa dengan suka rela mendekatkan dirinya sendiri ke Sherin. Gue tahu kalau Angkasa cuma mainan. Gue udah ngingetin dia. Tapi tetep aja, Sherin tetep menganggap kalau Angkasa itu milik dia."

Adina menunduk menatap cangkir yang ada di atas meja. Jari-jarinya bergerak di atas pahanya. Ia menghela napas lalu menatap Hera, "apa gue bisa ketemu sama dia?"

"Untuk saat ini lebih baik jangan dulu. Emosi Sherin belum normal. Apa lagi dia tahu kalau dia bakalan masuk penjara. Sekali lagi, Din. Atas nama keluarga besar Sherin, gue minta maaf soal apa yang Sherin lakuin ke lo."

Adina tersenyum. "Gue udah maafin semuanya kok."

"Termasuk Angkasa?"

Adina menggeleng. "Dari dulu gue nggak pernah marah sama Angkasa."

"Gue tahu Angkasa punya ketakutan masa lalu. Ketakutan masa lalu yang terbawa dan membuat lo menjadi korban. Angkasa udah cerita semuanya ke lo, kan?"

Adina mengangguk.

"Angkasa bener-bener cinta sama lo. Apa yang dia lakuin selama ini karena ketakutan masa lalu yang kebawa sampai sekarang."

"Iya, gue tahu soal itu." Adina tersenyum saat mengingat Angkasa. Bagaimana pemuda itu kini sudah berubah menjadi pacar yang manis. Hera bisa melihat ketulusan cinta Adina kepada Angkasa dan ia ikut tersenyum.

"Nggak ada yang bisa gue salahin. Masa iya gue salahin masa lalu yang nggak berbentuk objek nyata? Gue sekarang lagi menikmati masa-masa indah ini. Gue nggak peduli soal apa yang terjadi lalu-lalu. Cuma buang-buang waktu aja kalau harus salah-menyalahkan," tambah Adina.

"Lo dewasa, Din! Gue kagum sama lo," ujar Hera. "Oh ya!" Seperti ingat sesuatu, Hera merogoh secarik kertas yang dilipat dari kantong celananya. "Nevan ninggalin contact person dia buat lo. Dia bilang, kalau lo ada waktu, lo bisa ngehubungin dia."

"Sebenarnya itu tujuan gue ke sini selain tanya soal Sherin." Adina menerima secari kertas itu. "Gue bakal ngehubungin Nevan."

Hera mengangguk dan kembali tersenyum. "Gue selalu berdoa buat kebahagiaan lo, Din. Gue yakin lo bakalan bahagia sama Angkasa."

BOYFRIENDWhere stories live. Discover now