Indomi Terakhir

189 15 8
                                    

Dia pulang dengan tergesa-gesa. Gas pol motor tuanya yang kurang terawat, salip kanan kiri membelah kemacetan dengan lincahnya sambil menyungging senyum yang secerah matahari di musim panas.

Sebelum sampai rumah, dibelokkan motor butut itu ke pasar. Di lapak Yu Jamilah, dia memilah kangkung, diambilnya dua ikat. Lalu membeli bawang, cabe dan juga tomat. Tak lupa beras sekilo dan seplastik ikan asin klothok.

Maka makin cerahlah senyumnya di sore yang mendung itu. Sudah terbayang sedapnya sambal goreng klothok, tumis kangkung bersama nasi yang masih mengepul.

"Romlah, hari ini kita makan enak Dik. Tak perlu lagi berbagi sebungkus indomi berdua yang stoknya makin tipis itu."

Ya, mungkin indomi adalah makanan yang lezat. Tapi ketika kamu harus bertahan hidup dengan hanya makan indomi selama hampir seminggu, itu pun masih perlu dibagi sebungkus untuk mengganjal dua perut. Kamu akan tahu betapa munek-muneknya perut Sodiq dan Romlah.

Tapi bagaimanapun, 10 bungkus indomi yg merupakan 'berkat' dari hajatan tetangga itu telah membantu mereka bertahan hidup.

"Ini tidak akan lama Dik, aku akan bekerja ikut Cak Topa mbangun rumah Wak Kaji Mamad di Ngeni sana."

Romlah yang takdzim pada imamnya tersebut hanya mengangguk.

"Aku bantu sampean pake dhuha dan wirid ya Mas," ujarnya sambil mengelus perutnya yang menggelembung berisi janin usia 21 minggu.

Sodiq memainkan rambut Romlah, betapa bersyukurnya ia punya istri sebaik dia.

***

Di kos-kosan, Sodiq memarkir motornya sepelan mungkin. Berjalan mengendap-ngendap sesenyap mungkin. Dari balik pintu kamar triplek nan usang diterpa panas hujan, terdengar suara perempuan sesenggukan.

Bergetar hati Sodiq, apa gerangan yang menimpa sang istri tersayang hingga ia menangis? Apakah ia sedang berdoa sambil menyandarkan segala keluh kesah padaNya? Mungkinkah ia sedang bermunajat menaikkan segala harap kepadaNya? Sodiq terus menerka-nerka.

Atau... Jangan-jangan adindaku bersedih lantaran sudah lima hari cuma makan indomi sementara Bu bidan Puskesmas menganjurkannya makan makanan sehat bergizi.

Tetiba secarik nyeri muncul di hatinya. Penyesalan pun bergemuruh. Senyum Sodiq yang tadinya secerah matahari di musim panas hilang berganti mendung pekat. Gelap. Tiada harap. Oh Dik Romlah maafkan suami keremu.

Perlahan diketuknya pintu sambil menata hati yang terlanjur berantakan. Romlah yang sore itu berdaster merah jambu masih nampak manis meski tak berbedak dan tak bergincu. Namun mata sembabnya tak bisa ia sembunyikan.

"Kamu kenapa Dik?" tanya Sodiq dengan suara begetar.

Terkesiap Romlah segera bangkit, mencium punggung tangan suaminya yang baru pulang berjihad untuk keluarga kecilnya.

"Maaf mas, aku ndak tau Mas pulang"

Sodiq masih tegang, menunggu penjelasan isak tangis Romlah. Mudah-mudahan dia tidak berniat minta dipulangkan ke rumah orang tuanya.

" Tadi.... Mbak Reny minjemin aku hapenya mas. Terus dikasi password wifinya juga."

"Terus...." Sodiq tetap tegang, kresek belanjaan pun terlepas dari tangan.

"Aku ndak tahan mas..."

Tidak Tuhan... Batin Sodiq menjerit. Moment seperti ini kalau di sinetron Raam Punjabi bakal nge-zoom in zoom out wajahnya berkali-kali.

"Aku nonton drama Korea di hape Mbak Reny, sedih waktu Ji Eun Tak mencabut pedang Goblin Dan Goblinnya berubah jadi debu. Lenyap. Sedih banget mas... Huhuhuhu..."

Dalam hati Sodiq mengumpat... Reny kampret.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 26, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

10 Bungkus IndomiWhere stories live. Discover now