2

370 28 1
                                    

Ini ruangan yang dibenci eunbi. Setiap minggu ia melakukan pengecekan tentang sudah seberapa jauh kemajuan terhadap penyakitnya. Ia harus memakai beberapa alat yang merepotkan. Jika bukan karena meningakokus bodoh yang ia hadapi, ia tak akan mau masuk ke sini. Entah apa yang menyebabkan penyakit ini tertempel terus padanya.

"Bagaimana dok?" Tanya Nyonya Lee setelah pengecekan berlangsung, kurang lebih setengah jam.

Suara percakapan nyonya Lee dan dokter terdengar pelan. Mereka mungkin sengaja menyebunyikannya dari eunbi. Mungkin hasilnya tak baik.

"Kau makin tinggi saja sepertinya?" Tanya perawat itu mengacaukan rencana eunbi, mengetahui ia mencoba untuk mendengarkan percakapan dokter dan ibunya.

"Biasa saja. Aku sudah melewati umur 16. Mana bisa aku makin tinggi. Ahjumma, aku mau ganti baju. "

"Baiklah. 5 menit. Aku akan keluar"

"Terima kasih. " Ujar eunbi tersenyum.

Setelah ia menyuruh perawat itu keluar dengan alasan ganti baju, eunbi mencoba kembali mendekati ruang konsultasi tempat dimana dokter dan ibunya sedang membicarakannya. Sebenarnya tak masalah jika ia harus berganti baju didepan perawat wanita itu, ahjumma itu bahkan sudah seperti neneknya. Kadang eunbi merasa kasihan, umur sepertinya harus bekerja. Apalagi ia sering mengeluh tentang punggungnya yang sering sakit saat bekerja.

"Iya. Sekitar 3 bulan. Maaf nyonya Lee. Saya tak bisa banyak membantu. Begitu saat saya memeriksanya untuk pertama kali, hal itu sudah menyebar sampai sumsum tulang belakangnya."

Sebuah suara familiar seorang dokter terdengar dari lubang kunci. Eunbi sengaja menempelkan daun telinganya tepat di lubang kunci ruangan. Untunglah ruangannya masih berupa gagang pintu kuno yang sudah lama belum di ganti, setidaknya hanya ruangan itu saja yang menggunakan kunci manual.

"Aku sudah selesai." Ucap Eunbi memberi kode kepada perawat ahjumma untuk masuk.

"Oh baiklah. Kau boleh menunggu di luar."

--

Perjalanan menuju ruangan terasa sunyi bak ditengah hutan pada malam hari. Bahkan kepakan sayap lalat pun bisa terdengar. Tidak, ini hanya bercanda, mencoba untuk menggambarkan suasana saja.
Eunbi sudah tahu begitu melihat wajah pucat ibunya keluar dari ruangan konsultasi.

Dengan senyum yang dipaksakan nyonya Lee mencoba memulai percakapan begitu mereka berdua sampai pada ruangan.

"Besok kau akan melihat bunga ceri bersama eomma." Celetuknya mencari alasan agar eunbi tak curiga kenapa ia harus keluar dari rumah sakit, karena kenyataannya perawatan selama disini di cap gagal.

Miris melihat ibunya seperti itu. Bahkan eunbi tidak merasakan demikian frustasinya, padahal ia yang menderita sakit.

"Eomma, Apa hasil labnya tidak baik?" Eunbi mencoba bertanya pada ibunya dengan tujuan agar ibunya mengatakan apa yang terjadi diruangan konsultan tadi.

"Tidak. Semua baik- baik saja. Bahkan dokter menyuruhmu pulang. Kabar baik bukan?"

Kabar baik katanya. Mungkin kabar baik bagi keuangan keluarga karena eunbi tak harus lagi mengeluarkan hampir 20 juta seminggu untuk membiayai segala macam hal dirumah sakit.

"Tentang umurku 3 bulan lagi?"

Setelah mengatakan demikian, nyonya Lee mulai mengusap telunjuk kananya dengan jempol ditangan kirinya. Ini kebiasaan buruk eommanya. Begitu ia ketahuan tidak jujur, ia selalu mengusap dia jari itu dengan waktu yang cukup lama.

"Eomma. Kenapa kau tak memberitahuku? Kau ingin aku mati tanpa mengetahui semua ini?"

"Oh anakku! Tentu saja tidak!! Ibu sangat frustasi. Ibu tak ingin kehilanganmu setelah kehilangan kakakmu."

Oh, kembali lagi terngiang sebuah memori kusam di pikirannya, yang bahkan sudah tertutup rapat didalam benaknya. Lee Hyun sang, kejadian itu sudah 10 tahun lalu. Ya, dia memang bukan anak kandung dari rahim ibu sendiri. Tetapi karena keramahannya, ia diangkat menjadi anak oleh ayah dan ibu. Tentang orang tua aslinya, sudah tak ada kabar sama sekali. Ibu mengambilnya dari panti asuhan. Karena ayah sering mendonasikan beberapa boneka dan buku bekas, bertemulah mereka pada hyun sang. Saat itu eunbi ingat benar, kelopak bunga cheri yang saat itu menjadi barang istimewanya. Anak itu hanya tersenyum lebar dan menjadikan kelopak cheri itu sebagai tanda terima sebuah hubungan persaudaraan.
Sayang, kenangan hanya tinggal kenangan. Sebuah takdir kadang kejam adanya. Hyun sang mengalami kecelakaan pesawat saat hendak pergi menggali ilmu di negara matahari terbit. Saat itu eunbi ingat benar bagaimana syok ibunya itu.

"Eomma.."

Eunbi memeluk ibunya yang mulai menangis sedu. Diusapnya pelan punggung ibunya.

"Aku akan baik-baik saja, dan eomma tentu juga akan baik-baik saja. Oke?"

'Aku tak baik-baik saja.'

Itu yang terngiang di kepala eunbi yang tak ingin ia utarakan. Bagaimana mungkin mengetahui umurnya sudah tak lama lagi. Bagi seorang anak berumur 20 tahun, kematian adalah ketakutan terbesar. Rasanya ngeri mendengar kata kematian itu. Hanya membayangkan saja bagaimana rasanya saat jiwa terpisah dari raga.

"Eomma. Tetaplah kuat." Katanya sambil memeluk erat ibunya dipelukannya.

--

"Halo ??? Eunbi kah??? Apa kabar!!!"

Suara itu terdengar nyaring. Ia terlihat gembira mengetahui sahabat karib masa sekolah dulu meneleponnya tiba-tiba.

"Oh, Saeyeon? Halo. "

"Ada apa? Apa kau sudah menerima paketan karangan bunga dariku???"

"Oh.. iya. Tentu. Itu indah sekali."

"Cepatlah sembuh sahabatku. Aku sangat menantikan..."

"Tentang itu.." putus eunbi.

Beberapa detik eunbi terdiam terlihat lesu. Bibirnya tak mampu bergerak untuk melanjutkan kalimatnya. Sampai sampai membuat sahabatnya itu tak sabar.

"Ya? Apa ada masalah?"

"Bisakah kita bertemu? Di cafe dulu? Aku sudah lama tak berjalan-jalan."

"Tentu saja! Kenapa tidak!"

"Oke. Besok jam 9. Aku tunggu."

--

IF I KISS YOU -- Dino fanfic Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang