Prolog

408 20 2
                                    

Malam ini, aku sibuk. Mohon jangan diganggu, aku harus bergegas merapikan sisa-sisa wangimu di kolong hidung dan telapak tangan, membersihkan ribuan foto dan ratusan video absurd tentang kita, membungkus segala pemberian yang pernah kau beri kepadaku, dan perihal lain yang hanya kita yang tahu. Aku tak ingin wanitamu cemburu saat menatapku sedang merekap tempat-tempat, atap-atap, kenanga-kenanga, kursi-kursi bioskop atau semua meja yang pernah kau dan aku setubuhi.

Aku juga harus melucuti kenang yang sudah terlalu lama berduduk-duduk di rahang kepala—tentang malam yang ramai hujan dan bising kendaraan, juga kau dan aku yang ramai pembicaraan. Atau inginku menahan kepergian setelah berlama-lama kita menyusuri tempat-tempat asing yang sebelumnya tak pernah kita labuhi.

Aku harus bisa terima bahwa telah kau temukan genggaman tangan yang lebih menenangkan daripada milikku. Aku harus bisa terima bahwa telah mengalir dalam tubuhmu rasa percaya pada mata yang bukan lagi aku. Aku harus terima bahwa telah kau letakkan kedua belah tanganmu di selapang dada selain aku. . .

Di sudut ruangan yang minim pencahayaan itu, ada seorang gadis yang meringkuk, wajahnya telah sembab oleh air mata, tangannya menggigil karena jiwa yang telah membeku. Dia paling tidak suka menulis, tetapi malam ini, dengan harapan-harapan yang dibunuh tanpa perasaan, serta asa-asa yang telah kandas, ia menulis. Menyuarakan rasa sakit yang ada. Menyatakan kehilangan yang teramat dalam.

Mencoba untuk merelakan sebuah perpisahan itu adalah ketidaksanggupan yang membuatnya hampir sekarat dimakan luka. Tubuhnya semakin kurus, matanya telah sayu, bibirnya tak pernah lagi menyunggingkan senyuman bahagia. Yang tersisa, setelah seseorang itu pergi adalah; kenangan, dan luka.

Badan gadis itu semakin menggigil, bahkan ia tak lagi melanjutkan menulis. Sebelum gadis bernama lengkap Dara Maheswara itu jatuh tersungkur tak sadarkan diri–ia merasakan sesuatu yang hangat, namun terasa asing, mendekapnya seolah tak mengizinkannya terjatuh begitu saja ke lantai yang dingin.

Entah apa itu, yang jelas benar-benar hangat. Membuat Dara Maheswara ingin bermimpi selamanya, dan berharap tidak pernah bangun untuk merasakan kepedihan ini lagi.

Namun semakin lama, seiring kesadarannya mulai menyusut, rasa hangat itu perlahan menghilang——
.
.
.
Hingga semuanya menjadi gelap, dan tak ada lagi rasa hangat.

———

The Most Painful TearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang