Terlalu Gengsi dan Terlalu Tidak Peka

133 9 4
                                    

Everything has changed.

Seiring waktu berjalan, siapapun itu tidak akan tetap pada posisi sebelumnya. Pasti ia akan pindah, pasti pengalaman semakin banyak, dan hal itu lambat laun, tanpa disadari, telah merubah kebiasaan-kebiasaan yang pernah dulu dilakukan.

Entah untuk menjadi lebih dewasa, atau untuk alasan yang lainnya.

"Berubah kayak gimana?" Hasbi menaikkan sebelah alisnya. "Gue 'kan bukan bunglon," sambungnya seraya mencomot bakwan yang tersedia di atas meja.

Dale mengangkat bahu. "Beda pokoknya, Bi."

"Lo bilang gue berubah, tapi lo sendiri engga tau perubahan gue dimana," katanya. Lalu matanya terbuka semakin lebar, dengan telunjuk terancung tinggi-tinggi. "Ya, Dale, gue juga ngerasa kalau gue berubah akhir-akhir ini."

"Tuh, 'kan!"

Hasbi mengganguk dua kali. "Berubah jadi ganteng!"

Sontak Dale menyemprotkan air yang tersisa disedotannya ke arah Hasbi. Benar-benar tidak tahu kondisi sedang serius!

"Bisa serius ngga sih lo?" sentak Dale.

"Nggak usah serius-serius terus, Dale, nanti cepat tua," sanggahnya. "Kalau udah mau nikahin elo tuh baru serius!"

Mungkin hanya para cewek yang peka–atau terlalu peka, ketika pasangannya berubah, menjadi tidak seperti dulu, terlebih sewaktu bulan-bulan pertama pacaran. Mungkin kalian pernah merasakannya, menginjak bulan ke sembilan, sepuluh, dan seterusnya, kita akan diajak masuk ke dunia pasangan kita.

Dunia yang sebelumnya tidak pernah ia tunjukkan kepada kita. Kemudian ketika kita sudah masuk ke dalam dunianya–boom! Ketidakterbiasaan itulah yang mensugestikan kita kalau pasangan kita telah berubah.

Dale kini sedang merasakan itu. Berada pada fase-fase yang membingungkan–ingin bertahan, tetapi selalu makan hati, atau melepaskan, namun terlalu sayang. Dua pilihan itu sama-sama memiliki resiko sakit hati yang tidak bisa terelakkan.

Tetapi hubungan ini–bisakah untuk tidak terasa hambar lagi? Terhindar dari segala perdebatan yang melelahkan?

Dengan satu hentakan napas, Dale bangkit dari duduknya, memandang penuh marah pada Hasbi, kemudian berlari meninggalkan kantin.

"DALE!" teriak Hasbi, langsung saja mengejar Dale.

Aksi kejar-kejaran pun terjadi, namun Dale dengan sigap belok ke kanan ketika di ujung lorong, langsung masuk ke kamar mandi perempuan. Sungguh untuk kali ini Dale benar-benar marah!

"Dal, keluar, Dal, ngapain lo di dalem situ!" Hasbi mengedor-ngedor toilet tersebut. Dale bungkam. "Dal, ah, nggak seru lo mainnya sembunyi-sembunyi, kita 'kan engga main petak umpet."

Tuh 'kan masih aja!

Hasbi memang sudah minta maaf atas keterlambatannya pada minggu lalu, setelahnya juga hubungan mereka baik-baik saja. Namun kemarin malam puncak amarahnya Dale, Hasbi membalas chatnya terlalu lama, untuk kasus itu Dale mencoba untuk mengerti. Mungkin Hasbi sibuk.

Tapi, Hasbi sama sekali tidak mencari suatu topik untuk dibicarakan, untuk mereka bahas bersama-sama, seperti apa yang dulu-dulu Hasbi lakukan, untuk menemani malam-malam suntuknya Dale. Dan makin parahnya, Dale ditinggal tidur!

"Dale, keluar dong!" teriak Hasbi lagi. "Kalau lo engga keluar, gue yang masuk nih! Peduli setan sama kamar mandi cewek!"

Dibalik pintu itu, Dale sudah mulai terisak, namun sebisa mungkin ia meredamnya. "Pergi! Gue lagi pengen sendiri."

The Most Painful TearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang