Chapter (2)

121 19 14
                                    

                      🎡Bianglala🎡

''Rintik hujan memutar ingatan
Yang berhibenasi panjang
Sebelum gemuruh menyapu
Satu persatu,
Perasaan datang merindu
Sangat mengganggu

Halte, 417''

Langit nampak mendung, awan awan hitam bergerumbul tak mengijinkan sinar matahari lolos. Kini, bunyi cipakan air terdengar bersamaan dengan sepasang kaki yang terus menghentak di atas kubungan air. Seorang gadis berseragam Senior High School menyebikkan bibirnya, nampak kesal. Namun berbanding terbalik dengan binar matanya apalagi tingkahnya di kursi halte sembari menunggu Bis berikutnya.

''Arana S''

Name tag itu terpampang di atas saku depan seragamnya. Ia menghentikan aktivitasnya, dan mendongak tanggannya menyentuk bahunya yang terasa basah. Dengusannya terdengar, Atap halte berlubang di mana mana. Rintik hujan mencari keberuntungan dari lubang lubang berkarat dan berlumut itu untuk membasahi siapapun yang berniat berteduh ataupun menunggu Bis, seperti Ara.

Jalanan beraspal membentang panjang seperti roti gulung dengan kendaraan sebagai selai isinya. Ah, bagaimana jika khayalan Ara betul adanya. Pasti dengan lahap tidak ada lagi jalan beraspal di dunia ini. Ara tersentak, khayalannya tidak bisa di teruskan sebelum ia menganggap pohon cemara yang tertanam di samping Halte sebagai es krim.

Kembalilah ke dunia nyata Ara, dewi di hatinya berbicara.

Tepat saat itu bunyi klakson bis dengan dencitan rem menguar bersamaan. Ara berdiri dan menepuk seragamnya, barangkali jika ada bekas cipratan air kubangan. Ia tersenyum tipis, entah ia memang sedang beruntung atau tidak, tidak ada bercak noda selain pakaiannya nampak lusuh karena ulahnya.

Kedua mata Ara terpejam, setelah beberapa menit mencari posisi tidur yang nyaman di kursi penumpang. Angin berhembus menyibak kesadaran Ara, hingga ia benar benar terpejam dan tertidur.

Badannya menggeliat tanpa sadar meregangkan kedua tangannya ke udara. Sedetik kemudian,ia meringis malu. Ada beberapa penumpang lain yang memandang aneh dirinya, tingkah Ara seolah ia sedang bangun tidur dari ranjangnya. Dengan gesit ia menarik kedua tangannya, dan berpura pura tidak melakukan apa apa. Ia menengok, saat ada telapak tangan tersodor di depannya. Lalu, ia mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku, dan menaruhnya di telapak tangan si kernet.

🎡Bianglala🎡

Ara mendorong ke depan Knop pintu. Sebuah bangunan tinggi berlantai tiga, di isi dengan 6 kamar dan 4 kamar utama dengan kamar mandi pribadi di masing masing kamar. Wajar saja, ukurannya saja bila ditambah dengan luas halaman depan dan belakang cukup sekitar 3,5 hektar. Lumayan untuk dijadikan lapangan, pikir Ara saat kali pertama menginjakkan kaki di tempat ini.

Kreekk...

''Ara... Dari mana saja kau? Dan ... Astaga kenapa baru pulang sekarang?'' Baru saja pintu terbuka, sesosok wanita paruh baya membombardirnya dengan banyak pertanyaan.

Dan Ara hanya tersenyum kecut, saat tangan wanita itu menyentuh seragamnya yang masih basah.

''Ya Tuhan .... '' pekik wanita itu.

''Kenapa Seragammu basah semua? Apa yang kau lakukan sepulang sekolah? Apakah kau bermain dengan hu–'' ucapan wanita itu terpotong saat mendapati bahunya ditepuk dari belakang.

Kedua wanita berbeda usia itu menatap remaja laki laki yang hanya mengenakan boxer dan kaus dalam saja.

''Sudahlah dia sudah besar,'' ucap laki laki itu dan berbalik hendak kembali menonton tv yang sempat tertunda atas kebisingan ibunya.

''Jangan memotong ucapanku!''

''Pakai Bajumu Bodoh! ''

Ucap Bibi Rose dan Ara bersamaan, menghentikan langkah laki laki itu sebentar. Lalu menggendikkan bahu acuh dan kembali berjalan.

Bibi Rose dan Ara saling berpandangan dari senyum mereka tersirat sesuatu. Sedetik kemudian, mereka mengejek laki laki itu, kakak sepupu Ara. Farel, begitu semua orang memanggilnya.

''Memang bodoh anak itu'' Bibi Rose tercikik sambil berjalan berdampingan dengan Ara.

''Ya, Anak bibi itu sangat bodoh'' Balas Ara tanpa ragu.

''Begitu juga dia sepupumu'' kilah Bibi Rose.

''Ah! Betul! Yang penting aku tidak bodoh sepertinya'' Ujar Ara lantang dengan sengaja ketika melewati ruang tengah.

Mendengar sedang dihina, Farel berdiri dari sofa dan berkacak pinggang. Di hadapan kedua wanita itu.

''Hey! Aku ini putramu, mengapa terus mengejekku dan membela dia?'' dagunya menunjuk ke arah Ara yang masih cekikan.

''Dan kau! bunny Kenapa terus menghinaku? Aku ini 100 kali lebih pintar dari mu'' Farel menunduk dan membungkuk untuk menyesuaikan tinggi badannya dengan Ara.

Pletak

Jari Farel menyentil dahi Ara dan langsung berlari tunggang langgang  menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Ara menggeram dan berlari menyusul Farel dengan berteriak teriak.

''Hei Bodoh berhenti!'' Teriak Ara yang masih berada di anak tangga ke lima.

Farel menoleh kebelakang dan menjulurkan lidahnya, ''Tidak akan''

Bibi Rose memilih berjalan menuju dapur untuk memasak makan malam. Pemandangan semacam tadi sudah biasa untuknya. Sejak kedatangan Ara di rumahnya, sesuatu yang pernah hilang dan kosong kini terisi olehnya.

                      🎡Bianglala🎡

Hawa dingin menyergap seluruh tubuhnya. Padhahal sebelumnya ia berfikir sweater nya cukup untuk menembus dinginnya malam yang di penuhi rintik hujan. Ia mengulurkan tangannya, telapak tangannya menengadah membiarkan sedikit air hujan tertampung disana.

Kedua kelopak matanya menerjap, dan ia menumpahkan air hujan tadi ke udara. Seakan ia melempar makanan dan di bawahnya adalah kolam penuh ikan. Mengingat tentang kolam dan ikan, ia kembali teringat kejadian di sekolah tadi. Mau tak mau ia tertawa hambar.

Bukankah di dunia ini benar kalau tidak ada orang yang bertanggung jawab? Itulah pikiran Ara.

Ara tidak mau berlarut larut dalam lamunannya. Ia meringis, perutnya kembali sakit. Mungkin ini karena berlarian dengan Farel tadi. Tangannya menutup pintu balkon dari dalam kamar.

Selesai itu, tangannya mengacak isi laci nakas di samping tempat tidurnya. Ia meraih beberapa tablet dan pil, lalu mengambil gelas yang sebelumnya sudah ia isi air.

Sekali teguk beberapa butir obat itu berhasil di telannya. Lalu berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan akan menutup hari ini dengan kewajibannya.

Di depan kaca wash basin ia meringis kesakitan. Duganya karena obatnya mulai bereaksi di tubuhnya. Langkahnya tertatih untuk menggapai lemari dan mengambil mukenanya.

''Ya Tuhan.....'' rintihnya

Ara bergerak gelisah, meski berulang kali merapalkan mantra tidur. Nihil kubro hasilnya. Rekaman usang di dalam ingatannya mendesak untuk di putar. Dan Ara menghela nafas pasrah, mencoba memejamkan matanya.

                      🎡Bianglala🎡

       Thanks for your appreciation❤

Soundtrack: Dengerin aja pas langit lagi nangis❤

Bianglala #Watty2017Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang