Chapter (8)

38 6 4
                                    

🎡Bianglala🎡

''Harapan lebih kuat dibanding ketakutan. Namun tekad akan surut ketika rasa takut memenuhi pikiranmu. Dan aku mengalami ketakutan yang lebih besar dari sebuah harapan

Bandung, June 2017''

   Tanpa terasa dua hari terlewati,  Ara seperti biasanya diam dan melamun. Sama sekali tidak fokus dengan Pelajaran yang bahkan baru memasuki bab awal, waktunya ia habiskan dengan mengemban tugas menjadi sekertaris Dane. Ara berdecak ketika bayangan Dane melintas di kepalanya, teman Sekolah Menengah Pertamanya dihabiskan tiga tahun dengan satu kelas bersama Dane, entah Tuhan sedang bercanda posisi ketua kelas selalu jatuh pada Dane, dan posisi sekertaris lagi-lagi jatuh pada Ara untuk ke empat kalinya. Takdir yang lucu.

''Ara, apa kau sudah siap?''

   Ara menoleh, mendapati Farel tengah membenarkan dasinya dengan setelan jas dan tuxedo putih. ''Kau bisa membantuku membenarkan dasi ini?'' tanya Farel saat dasinya malah semakin kusut.

''Hmm'' geram Ara.

   Dasi bewarna hitam senada dengan jas dan celana Farel begitu pas, pria delapan belas tahun itu tersenyum tipis menilai tampilan Ara hari ini. Gadis yang usianya dua tahun lebih muda darinya itu, mengenakan gaun panjang bewarna putih gading, berlengan sampai siku, dengan rambut sepunggungnya yang tergerai bebas. Tanpa polesan apapun, kecuali bedak dan pelembab untuk kulit bayi, Farel menghirup harum pelembab bayi yang langsung menyeruak karena posisi mereka yang sangat dekat.

''Tidak dandan, eh?'' ucap Farel begitu Ara akan berbalik untuk mengambil tas selempang diatas selimut.

''Lalu kau sebut ini apa? Baju safari?'' Farel tertawa mendengar jawaban berupa pertanyaan dari mulut Ara.

    Keduanya berjalan menuju garasi, rumah sebesar ini terlalu sepi jika hanya dihuni dengan Bibi Rose, Ara dan Farel, meski dua-tiga pembantu hilir mudik tapi mereka tidak menetap tinggal di rumah keluarga Mahesa ini.

🎡Bianglala🎡

    Pukul lima sore kurang lima menit, Motor gede kesayangan Bayu itu baru saja masuk di garasi rumahnya. Memasuki ruang tamu yang didominasi warna coklat dan warna kulit, ia mendapati sebuah undangan pernikahan diatas meja ruang tamu. Tangannya terlalu lelah karena seharian ini ia absen kelas, mengurusi Osis dan merekap berbagai proposal dan laporan Masa Orientasi Siswa Baru beberapa waktu lalu. Belum lagi, sampai di pintu kelas, sudah disemprot beribu pertanyaan dari guru sejarahnya, mengapa bolos? Kenapa tidak hari minggu saja? Harus banget absen kelas? Ck, andai posisinya tidak dijabatan tertinggi osis mungkin ia akan izin tidak hadir rapat yang mememakan habis waktu belajar di sekolah.

''Siapa sih yang mau nikah, Ma?'' tanya Bayu begitu sampai di ruang makan.

   Pemuda enam belas tahun itu, membuka asal kancing seragam sekolahnya, Alana menghela nafas melihat putra bungsunya itu, ''Om kamu, Bayu.''

  Alis bayu naik sebelah. ''Om yang mana? Om Ali? Udah married dari dulu kali! Om Jovan? Anaknya udah tiga! Om mana?'' Bayu menyebutkan dua adik dari Papanya, keningnya berkerut bersamaan dengan alisnya yang naik sebelah.

    Sendok yang Alana putar mengarungi gelas berisi susu berkalsium terhenti, ''Om Dedi, anaknya Oma Bizar. Yang tinggal di Jakarta.''

Bianglala #Watty2017Where stories live. Discover now