Sang Penolong

245 2 0
                                    

Gelap malam belum beranjak pergi saat mata Ani mulai merekah menatap cerah atap plastik yang menaunginya dari angin dan embun malam.

Di sampingnya tergolek sang dewa penolong yang telah 10 tahun ini menjadi teman hidup di Ibukota.

Dilipatnya perlahan kain bekas spanduk beralaskan kardus yang menjadi kasurnya. Memanaskan air di atas tungku minyak tanah yang ditampung dengan bekas kaleng susu kental manis ternama yang sudah dipenuhi karat.

Hari ini Jakarta sepi, sudah ribuan penduduknya yang migrasi tahunan alias mudik untuk merayakan lebaran di kampung halaman.

"Bang, bangun bang, sahur bang."

Tanpa berkata apa-apa lelaki itu bangun, secara reflek tangannya meraih gelas plastik dari tangan Ani.

"Fuihh masih panas, nih kopi."

"Iya bang, baru aja di seduh."

"Ini nasi dari mana?"

"Ini tadi ada yang nganterin, katanya dibagiin oleh artis tadi buat sahur bang".

Tak lama merekapun melahap habis nasi bungkus dengan lauk yang lumayan mewah, dadar telur ayam, sepotong ayam goreng dan nasi pulen berkuah rendang.

Fajar pun datang, mengeringkan sisa embun di dedaunan taman kota di mana di sudutnya Ani dan suaminya menghabiskan malam tadi.

Fajar pun datang, mengeringkan sisa embun di dedaunan taman kota di mana di sudutnya Ani dan suaminya menghabiskan malam tadi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sebelum 10 tahun lalu, Ani tidak pernah sempat melihat matahari merangkak naik menerangi kota. Hidupnya milik malam, hanya milik malam. Menelusuri setiap gelap di pinggir sebuah jalan, berharap senyumnya menjerat hasrat lelaki hidung belang.

Sebuah belati telah mengubah haluan hidupnya.

Malam itu, sebuah malam yang tak akan menjadi purba dalam ingatannya, seperti biasa, Ani dijemput seorang pemuda tanggung. Setelah menjalankan tugasnya, bukan uang ganjaran yang diterimanya melainkan sebuah tikaman yang luput menghujam di perutnya, namun sempat mengiris tajam di tangan kanannya.

Ani kalap, menjerit histeris dan berontak melawan dengan segala cambuk dan taring yang ia asah di setiap malamnya. Sang pemuda tetap beringas, walaupun telah merebut tas dengan dompet dan telepon genggam di dalamnya, masih juga mengincar perhiasan yang masih melekat di telinga Ani.

Beruntung, seorang pemulung datang dan berhasil menghalau sang pemuda dan meninggalkan Ani yang shock mendekap tas berusaha menutupi tubuh atasnya yang masih telanjang.

Malam itu betapa Tuhan masih memberinya kesempatan untuk menikmati malam dan telah mengirimkannya seorang dewa penolong. Dewa penolong yang telah sepuluh tahun ini menjadi tempatnya berlindung.

Yah, mungkin Ani sudah gila karena mengubah haluan hidupnya,

Karena rela tinggal di gubuk kumuh kolong jembatan, dlsb.... sebagaimana yang dicemoohkan teman-temannya.

"Udah gila lu mau hidup sama gembel?" dlsb.

"Aku ingin memiliki hidupku sendiri", kilahnya

"Aku ingin malam-malamku menjadi milikku seutuhnya dan aku ingin menikmatinya bersama orang yang aku pilih, bukan sebaliknya."


Pinggiran Kota BesarWhere stories live. Discover now