14.1

3.9K 445 31
                                    

Seminggu berlalu sejak Delia menjaga Hemawan untuknya, Oliver belum menghubungi wanita itu lagi. Namun, hampir setiap malam Oliver memikirkan Delia karena perkataan Zidan dan keinginan kakeknya. Mungkin Oliver bisa dipaksa untuk mengambil keputusan dengan risiko terburuk sekali pun dalam bisnisnya, tetapi tidak jika berkaitan dengan Delia.

Delia sudah banyak menderita karena pernah mencintainya. Kini Oliver tak sanggup untuk menyakiti hati wanita itu untuk kedua kali. Biarlah Delia bahagia tanpa harus terseret dalam kehidupan kelamnya.

Setelah memastikan tidak ada janji, Oliver keluar dari hotel pukul empat sore. Dia harus menemui Delia untuk mengutarakan keputusannya. Mereka akan bertemu di butik karena Delia lumayan sibuk hari ini.

Oliver memarkirkan sepeda motornya lalu bergegas masuk butik. Dia sempat menyapa Rohana yang terlihat sedang sibuk dengan banyaknya tamu yang datang. Karena Rohana sudah tahu bahwa Oliver di sini untuk menemui putrinya, wanita paruh baya itu mempersilakan Oliver untuk naik ke lantai dua dan menemui Delia di kantornya.

Pria itu mengetuk pelan ruang kerja Delia. Setelah beberapa detik, pintu terbuka dan Delia tersenyum lebar menyambut Oliver yang justru tampak kusut. Oliver hanya mengucap salam dan menjawab beberapa pertanyaan Delia hanya dengan anggukan atau gelengan.

"Maaf, ya, aku baru selesai kerjain urusan butik. Sampe nggak bisa keluar buat sekadar makan," ujar Delia.

"Aku mau bicara," lirih Oliver.

Delia tadinya cukup tegang ketika Oliver mengajaknya keluar untuk membicarakan sesuatu. Namun, perasaan itu berhasil ditepisnya dan berpikir bahwa mungkin Oliver hanya akan menyampaikan terima kasih. Kini perasaan resah itu datang lagi.

Penampilan Oliver yang terlihat kusut, raut wajah yang cemas, dan sorot matanya seperti orang tak pernah istirahat membuat Delia cukup khawatir. Oliver memang tak banyak bicara sekarang, tetapi sepertinya kali ini laki-laki itu tak punya suara.

"Iya, aku dengerin," sahut Delia, terpaksa tersenyum lebar. Padahal detak jantung Delia sudah berpacu lebih cepat.

Wajah Oliver yang tadinya tertunduk kini memandang Delia. Hanya satu ... dua detik lalu menunduk lagi. "Terima kasih udah jagain Opa kemarin. Aku nggak tahu ...," Oliver menghentikan kalimatnya, tampak ragu, lalu kembali melanjutkan, "nggak tahu lagi minta tolong."

Delia mengerutkan dahinya. Selama ini Oliver sudah pandai berbahasa Indonesia meski logat Inggris-nya kadang terdengar. Namun, Delia tidak tahu apa yang terjadi pada pria di hadapannya sehingga dia mengeluarkan kata-kata dalam rangkaian kalimat yang Delia tak mengerti.

Akhirnya Delia menyimpulkan sendiri. "Enggak usah sungkan. Aku nggak merasa kerepotan, kok. Cuma nemenin doang kemarin," tutur Delia sambil meloloskan tawa kecil. Delia mendengar sendiri tawanya cukup sumbang karena saat ini dirinya memang merasa tak nyaman.

"Iya, itu udah cukup. Terima kasih."

"Oliver, kamu baik-baik aja? Kamu sakit?" Delia tak dapat menahan kebimbangan hatinya karena cara bicara Oliver yang semakin kacau.

"Terima kasih, Delia. Maaf, seharusnya nggak kayak gini. Aku ...," Oliver mengangkat wajahnya. "Opa nggak seharusnya ketemu kamu. Udah cukup kamu ada di sana. Maaf, Del."

Kepala Delia seakan mau meledak mencerna kalimat Oliver, hingga akhirnya ia tak dapat menahan air mata yang mengucur deras karena telah mengerti maksud pria yang duduk di hadapannya. Rasa sakit itu seakan mengusik kembali. Tubuhnya terasa lemas dan kekecewaan kini memukul jiwanya lagi. Sakitnya mendengar maksud yang Oliver utarakan sama seperti saat dia mengetahui Oliver telah dimiliki orang lain.

"Kenapa kamu sejahat ini?" isak Delia.

Melihat hal itu, raut wajah Oliver semakin memucat. Ia menjadi lebih resah dari sebelumnya. Pandangan pria itu ke segala arah guna menghindari kontak mata dengan Delia. "Maaf," lirihnya.

"Kamu keterlaluan banget, Li. Bukannya minta aku buat makin deket, kamu justru nyuruh aku menjauh." Delia mengusap kasar air matanya.

So HeartlessOù les histoires vivent. Découvrez maintenant