Jilid 20

1K 29 2
                                    

Mendadak angin mendera dan meniup dengan keras sehingga menambah seram ucapan yang terakhir itu.

"Meski kau pergi meninggalkan dunia ramai, tapi hidupku telah kau bikin susah," teriak Liong Po-si dengan gemas, seketika rasa dendam lama dan benci baru timbul serentak, segera ia bermaksud menghantam.

"Nanti dulu," bentak Lamkiong Eng-lok. "Sekalipun kau ingin balas dendam, hendaknya tunggu dulu setelah habis ceritaku."

Mukanya kelihatan basah, entah air laut atau air mata, dengan suara parau ia menyambung lagi, "Setiba di atap pulau tetap tak dapat kulupakan kehidupan dunia ramai sana, terlebih tidak dapat melupakan kalian, tambah lama tambah jelas terbayang kejadian masa lampau. bayangan Yap Jiu-pek juga sukar terhapus dalam benakku."

Liong Po-si menggerung murka, tapi Lam-kiong Eng-lok meneruskan lagi, "Untung turun temurun orang keluarga Lamkiong adalah Cu-sin-tocu "

"Apa katamu?" tergetar hati Lamkiong Peng.

"Kau tahu, pulau para dewata ini justru adalah ciptaan keluarga Lamkiong, setiap keturunan keluarga Lamkiong kita, anak sulung harus dikirim ke sini, yaitu untuk mewarisi kedudukan Tocu. Hal ini tetap merupakan rahasia dunia persilatan selama ini, sebab itulah kaupun tidak tahu. Waktu kau datang mula-mula sudah kukatakan akan memberi tugas padamu, maksudku adalah bila aku sudah wafat, kedudukan Tocu akan kuserahkan padamu."

Mendadak Liong Po-si berteriak, "Setelah kau jadi Tocu di sini, engkau belum melupakan kami dan mengirim utusan untuk mencari kami dan akhirnya bertemu di puncak Hoa-san, pada saat kami sedang lengah aku telah dikerjai kalian dan dibawa ke sini .... Sekarang ingin kutanya padamu. Yap Jiu-pek telah kau sembunyikan di mana?"

Lamkiong Eng-lok termenung sejenak, kata-nya kemudian, "Yap Jiu-pek su . . . sudah terjerumus ke dalam jurang, dia sudah mati, sampai mayat pun sukar ditemukan lagi. Karena pukulan batin itulah, maka pikiranku rada terganggu ...."

Deru ombak yang mendampar membuat suaranya terputus-putus dan hampir tak terdengar.

"Kau bilang apa?" bentak Liong Po-si.

"Dia sudah mati!" jawab Cu-sin-tocu alias Lamkiong Eng-lok dengan parau.

"Mati . . . sudah mati!" gumam Liong Po-si dengan melotot, mendadak ia meraung murka, serentak ia melompat maju terus menghantam batok kepala lawan.

Akan tetapi Lamkiong Eig-lok sempat menangkisnya, serunya dengan tertawa pedih, "Baik, baik, permusuhan kita selama puluhan tahun boleh juga diselesaikan saja sekarang."

Maka terdengarlah suara "plak-plok" beberapa kali, dalam waktu singkat keduanya sudah saling gebrak enam-tujuh jurus.

Karena gerakan kedua orang yang keras, imbangan perahu tambah oleng dan naik turun terlempar ombak, perbekalan yang dimuat perahu pun sama terjatuh ke laut.

Sambil memegang perahu yang oleng Lamkiong Peng berteriak, "Suhu .... Paman, berhenti . . . berhenti . . . . "

Tapi kedua orang tua itu tidak mendengar lagi seruannya, meski kaki kedua orang tak bisa bergerak, namun empat tangan mereka dapat saling menghantam.

Lamkiong Peng serba susah, ia tidak dapat membantu guru untuk membunuh paman, sebaliknya juga tidak dapat membantu paman untuk memusuhi guru.

Mendadak terdengar Liong Po-si dan Lamkiong Peng membentak bersama, menyusul perahu pun terlempar ke atas oleh gelombang yang tinggi.

Kontan perahu miring ke samping, belum lagi tempat Lamkiong Peng menjerit, tahu-tahu ia sudah tergelincir ke dalam laut.

Segera gelombang ombak mendamparnya dengan dahsyat sehingga membuatnya tak berdaya, hanya dalam hati ia dapat mengeluh tamatlah segalanya.

Amanat Marga (Hu Hua Ling) - Gu LongWhere stories live. Discover now