Tiga (A)

121 16 2
                                    

Sebelumnya..

Jung Jiae? Kaukah itu?"

Suara itu tak asing di telinga Jiae. Suara yang begitu ia rindukan. Dengan ragu, ia mengangkat wajahnya menatap sosok yang memanggil namanya.

"Bogoshipda. Jinjja bogoshipda, Jiae-ya."

Belum sempat melihat, sosok itu menariknya dalam pelukan yang begitu erat. Menenggelamkan wajahnya di tengkuk gadis itu, menghirup aroma manis yang begitu ia rindukan.

"Kau tak merindukanku, eoh? Aku Oh Sehun. Oh Sehun-mu, Jiae-ya."


CHAPTER 3A

Aku membeku seketika. Seseorang yang sangat kurindukan sudah ada disini, memelukku begitu erat.

Oh Sehun. Kekasihku.

Tanpa sadar tanganku bergerak naik hendak membalas pelukan hangat yang Sehun berikan.

Tidak. Ini tidak benar. Aku sudah punya Jisung. Ini salah jika membiarkan Sehun terus memelukku.

Kedua tanganku bergerak perlahan mendorong dada bidangnya menjauh. Mataku dengan sigap menelisik wajah tampannya yang semakin tampan setelah dua tahun.

Ia tersenyum teramat manis sembari tak melepaskan sedikitpun tatapannya padaku. Kedua sisi wajahku ditangkup lembut oleh telapak tangan hangatnya.

"Hei, bicaralah, Jiae. Aku ingin mendengar suaramu.." suaranya begitu lembut terdengar mengalir di telingaku.

Seolah terhipnotis, bibirku mengucapkan sebuah nama yang begitu aku rindukan, "Sehun-ah.."

Senyumannya semakin mengembang seiring kedua matanya menyipit membentuk lengkungan. "Aku benar benar merind--"

"Noona, kita pulang sekarang."

Suara Jisung menginterupsi. Ia segera meraih lenganku dengan terburu-buru. Kedua mata mereka saling beradu mengirimkan sinyal sinyal kebencian.

Astaga, apa Jisung melihat sejak awal?

"Kau adiknya Jiae, ya?"

"Noona kita pulang sekarang."

Tanpa menghiraukan Sehun, Jisung lekas menarik lenganku dan menuntunku untuk berjalan ke mobil dengan langkah tergesa.

***

Pada akhirnya kami pulang meninggalkan Sehun di kafe itu. Aku tak habis pikir kenapa Jisung mengantarku pulang dengan raut seperti itu.

Oh, tentu saja karena aku ini istrinya. Bodoh.

Suasana di mobil ini benar benar hening. Hanya terdengar deru mesin mobil yang memecah sunyi. Sementara Jisung tetap saja fokus menyetir tanpa mengucap sepatah katapun padaku.

Malam ini, rinai hujan kembali turun. Embun embun pada kaca mobil di samping kiri mengalihkan perhatianku. Menatap dalam buram pemandangan Seoul di luar sana. Sesekali aku menarikan telunjuk, merangkai kata kata abstrak disana.

"Mianhae, noona."

Telapak tangan kiriku terasa hangat. Jisung menggenggamnya erat. Entah hanya perasaanku saja, tangannya sedikit gemetar.

Aku lekas menatapnya dalam.

Raut wajahnya terlihat tidak tenang. Rahang tegasnya bergemeletuk dan berkali kali jakunnya terlihat naik turun. Ia terlihat seperti sedang... ah, entahlah aku tidak tahu.

Aku suka Noona! ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang