Tell Tale Hearts (2)

224 26 2
                                    

Ketika aku telah menunggu lama sekali, dengan sangat sabar, tanpa mendengarnya berbaring kembali, kuputuskan untuk memutar sedikit tuas lenteraku. Kalian tidak dapat membayangkan betapa diam-diamnya kulakukan itu—sampai seberkas cahaya redup menerangi mata sipitnya.

Matanya terbuka lebar! Kemudian aku menjadi kesal saat menatapnya. Tatapannya matanya membuatku bergetar sampai ke tulang sumsum. Tapi aku tidak dapat melihat bagian lain wajah atau tubuhnya selain mata kejinya, karena aku telah mengarahkan cahaya lenteraku tepat ke mata terkutuknya itu.

Aku telah mengatakan kepadamu bahwa kau keliru menganggap kegilaan dengan ketajaman inderaku, bukan? Sekarang biar kujelaskan, telingaku mendengar sebuah suara rendah, tumpul, dan cepat seperti suara jam yang dibungkus kapas. Aku juga tahu benar suara apa itu. Itu adalah suara degupan jantungnya. Suaranya menaikkan amarahku seperti pukulan drum yang menyemangati para tentara di medan perang.

Tapi aku tetap menahan diri dan masih tidak bergerak. Napasku memburu tak beraturan. Kupegang erat lenteraku agar tidak bergoyang. Kucoba secara pasti mempertahankan cahaya yang menembak ke matanya. Sementara itu degupan jantungnya semakin menggebu. Semakin cepat dan lebih cepat lagi, dan semakin nyaring setiap detik. Dia pasti telah diselimuti oleh rasa takut yang amat sangat besar! Suaranya semakin nyaring setiap saat! Apa kau mengerti? Sudah kukatakan kalau aku mudah cemas. Dan sekarang, tepat saat tengah malam, di tengah-tengah keheningan rumah tua yang mengerikan, terasa sangat aneh saat suara seperti ini membuatku bersemangat menikmati ketakutannya yang tak terkendali. Namun begitu, selama beberapa menit aku masih menahan diriku dan tidak bergerak sedikit pun. Tapi degupannya semakin nyaring! Kurasa jantungnya pasti akan meledak. Dan sekarang kecemasan yang lain merengkuhku—suaranya mungkin dapat terdengar oleh tetangga! Waktu orang tua itu telah habis! Dengan teriakan keras, kuputar penuh tuas lenteraku dan melompat masuk ke dalam ruangan. Dia langsung menjerit tertahan. Dalam sekejap kuseret dia ke atas lantai, dan mengangkat kasurnya yang berat dan membekap tubuhnya dengan itu. Kemudian aku tersenyum riang karena sejauh ini perbuatanku telah selesai. Tapi selama beberapa menit, degupan jantungnya masih berdetak dengan suara teredam. Tapi ini tidak menjengkelkanku. Suaranya tidak akan terdengar melewati dinding. Suaranya akan menghilang setelah beberapa saat. Orang tua itu telah mati. Kugeser kasurnya untuk dapat mengamati mayatnya. Benar, dia telah mati kaku. Kuletakkan tanganku di atas dadanya agar dapat merasakan degup jantungnya selama beberapa menit. Tidak terasa adanya denyut nadi. Dia telah mati. Kini matanya tidak akan lagi menggangguku.

Jika kau masih berpikir aku gila, maka kau tidak akan lagi berpikir demikian saat kujelaskan tindakan cerdik yang kulakukan untuk menyembunyikan mayatnya. Malam semakin larut, dan aku mengerjakannya dengan cepat namun tetap diam-diam. Pertama, kupisah-pisahkan anggota tubuhnya. Kupotong kepala, lengan, dan kakinya.

Kemudian aku mengangkat tiga papan yang merupakan bagian lantai kamar itu, lalu menyembunyikan semua potongan tubuhnya di antara tiang penyangga di bawah. Selanjutnya aku menutup papannya kembali dengan cermat, sangat cerdik, bahkan sampai tidak ada mata manusia—tidak pula matanya—yang dapat menyadari adanya kejanggalan di sana. Tidak ada yang perlu dibersihkan—tidak ada noda darah sedikit pun karena bak mandi telah menyiram segalanya. Aku telah bertindak dengan sangat hati-hati. ha! Ha!

Saat aku telah selesai, jam menunjukkan pukul empat pagi—suasana masih diliputi kegelapan seperti tengah malam. Suara bell memecah keheningan, lalu diikuti suara ketukan di depan pintu. Aku berjalan menuruni tangga untuk membuka pintunya dengan perasaan ringan—kenapa aku harus takut? Masuklah tiga orang pria yang memperkenalkan diri mereka, dengan sangat ramah, sebagai petugas kepolisian. Mereka mengatakan bahwa seorang tetangga mendengar suara jeritan, sehingga mereka ditugaskan untuk mencari penyebabnya.

Aku hanya tersenyums aja. Apa yang harus kutakutkan? Maka kusambut kedatangan mereka. Jeritan itu, jelasku, adalah suaraku karena mengigau. Orang tua itu, sebutku, sedang tidak ada di rumah. Kuajak tamuku berkeliling gedung apartemen kami. Kuizinkan mereka menggeledah dengan teliti. Akhirnya kubawa mereka ke kamar orang tua itu. Kutunjukkan kepada mereka kotak penyimpanan hartanya yang masih aman, dan tak terusik. Dengan percaya diri, kubawakan mereka kursi, dan meminta mereka untuk beristirahat di sini untuk melepas lelah, sementara aku, dengan sangat berani menempatkan kursiku tepat di atas titik di mana mayat korbanku beristirahat.

Para petugas itu puas. Kelakuanku meyakinkan mereka. Aku memang bersikap santai. Kami mengobrol, dan aku menjawab pertanyaan mereka dengan riang. Lalu para polisi itu mengobrol di antara mereka. Tidak lama kemudian aku merasa diriku semakin pucat dan berharap mereka pergi. Kepalaku sakit, dan terdengar dengingan di dalam telingaku. Tapi masih saja mereka duduk santai dan mengobrol. Dengungan itu semakin jelas—suaranya semakin menjadi-jadi dan semakin jelas—aku berbicara apa saja untuk menghilangkan perasaan itu, namun suaranya masih berlanjut dan semakin pasti—sampai pada akhirnya, kusadari suara itu tidak datang dari dalam telingaku.

Langsung saja wajahku berubah menjadi pucat, tapi aku mencoba berbicara dengan lebih lancar, dan dengan suara yang ditinggikan. Namun suara itu malah semakin nyaring—dan apa yang dapat kulakukan? Suara tersebut terdengar rendah dan cepat—seperti suara yang ditimbulkan oleh jam yang diselimuti kapas. Napasku menjadi sesak, namun para petugas itu masih belum mendengarnya. Aku berbicara dengan lebih cepat dan tergesa-gesa, tapi suara itu masih menjadi-jadi. Aku berdiri dan membicarakan hal-hal yang remeh dengan nada tinggi dan gerakan yang kasar. Tapi suaranya semakin nyaring. Kenapa mereka belum pergi? Aku berjalan bolak-balik di atas lantai dengan langkah yang berat, seakan ingin marah oleh pandangan mata mereka, tapi suaranya semakin lama semakin nyaring. Oh Tuhan! Apa yang dapat kulakukan? Aku meracau. Aku mengumpat! Aku menggaruk-garukkan kursiku di atas lantai, namun suara itu naik dan semakin nyaring. Suaranya semakin nyaring! Dan mereka masih saja mengobrol dengan santai dan tersenyum. Apa mungkin mereka tidak dapat mendengarnya? Ya Tuhan! Tidak, tidak! Mereka mendengarnya! Mereka curiga! Mereka tahu! Aku yakin mereka sedang menertawakan ketakutanku! Apapun lebih baik ketimbang penderitaan ini! Apapun akan lebih baik daripada penghinaan ini! Aku sudah tidak tahan lagi dengan senyuman munafik mereka! Kurasa aku harus berteriak atau mati! Dan sekarang, dengarkanlah lagi! Suaranya semakin nyaring!

“Dasar keparat!” teriakku. “Tidak ada lagi yang perlu disembunyikan! Kuakui perbuatanku! Bongkar papan-papan itu! Di sini, dan di sini! Aku sudah tidak tahan mendengar suara degupan jantungnya yang mengerikan!”

Edgar Allan Poe 💀 [Bahasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang