Mengukir Kisah

101 18 5
                                    

Jam dinding di tembok menunjukkan pukul sembilan. Majalah itu sudah sedari tadi terpampang di atas meja. Matanya melirik sedikit dari balik gendongan untuk melihatnya. Huruf-huruf yang sudah terukir di atas bidang datar itu tidak bisa dibacanya dengan benar. Matanya berputar-putar bolak-balik antara majalah itu dan raut wajah Bubu yang cantik.

Dibukanya tabloid mingguan itu, yang diperoleh Baba karena langganan. Dilihatnya beberapa kali tulisan dua halaman penuh di kolom cerpen. Nizam tak menyangka bahwa ada wajah Bubu terpajang di pojok kiri halaman itu. Ia menuding-nuding sambil mengeluarkan kata Bu, bu, bu... Bubu hanya tersenyum pada anak laki-lakinya itu.

"Iya, nak, itu Bubu," ujar Bubu.

Mata Nizam membulat menatap Bubu. Wajahnya yang mirip boneka itu berseri-seri. Meskipun Bubu sendiri tak paham apa maksudnya tetapi dari olah tubuhnya yang kegirangan itu, Nizam menampakkan kekagumannya padanya.

"Cerpen ini hasil ngarang Bubu selama satu minggu, lho," ceritanya pada Nizam. "Jadi cerita Bubu harus Nizam baca ya."

"Bah... bah... Bu," itulah jawaban Nizam.

Lagi-lagi Bubu hanya tersenyum. Mana ada anak sekecil itu sudah bisa baca? Pikirnya.

Namun Bubu belum tahu apa yang sedang dipikirkan Nizam. Ia membuka-buka lagi buku petunjuk menulis cerita pendek milik ibunya ketika Bubu pergi membuatkan makan siang di dapur. Buku tipis itu ia bolak-balik. Ditatapnya sangat-sangat. Kemudian tubuhnya berguling. Menggeliat mengitari meja tulis Bubu sebelum akhirnya matanya menatap lagi lembaran-lembaran teknik menulis itu. Beberapa bagian sudah ia hafal. Hafal betul, diluar kepala.

Nizam juga sudah menjamahi beberapa majalah komik milik Baba di rak paling bawah. Ia ingin membandingkan efektifitasan sebuah cerita yang berupa komik dengan cerita separagraf penuh. Setelah paham komik lebih membuat hatinya gembira, ia lempar buku itu ke atas rak.

Lambungan buku komik itu membentur kepalanya yang botak bundar. Agak pusing sedikit tetapi ia beranjak ke atas kursinya semula. Diraihnya sebuah pensil dari meja rias Bubu dan satu buah buku dengan lembaran kosong milik Bubu. Ia ingin membuat sebuah cerita.

Akibat benturan tadi, kepalanya dipenuhi sebuah ide cerita yang jika ia tuangkan dalam lembaran kertas ini, karyanya mungkin akan dilirik editor penerbit terkenal.

Ia merasakan ide itu sangat bagus. Sebuah cerita tentang kisah kasih sepasang anak manusia. Ya, soal cinta. Tema cinta yang tak mungkin bosan ditelan zaman. Kisah cinta yang tetap menarik meskipun picisan. Dan toh akan tetap diburu oleh remaja-remaja masa kini, sekalipun ceritanya mainstream.

Seketika ide itu menyeruak deras tak henti-hentinya di kepalanya, dalam hati ia mendesah. Ah dari mana aku akan memulai. Mulailah konflik batin Nizam terjadi. Ia harus memikirkan tokoh utama, sudut pandang, alur, apakah maju atau mundur? Plot, yang biasa saja atau yang tak mudah ditebak.

Begitu juga Nizam kepikiran bagaimana Bubu bisa membuat cerita hanya tempo satu minggu? Bila ia ingat ibunya yang cantik itu, ia teringat juga bagaimana Baba bisa mendapatkan cintanya? Bagaimana ia bisa lahir? Bagaimana bisa cairan itu bisa membuatnya geli? Dan lain-lain.

Dan semakin banyak pertanyaan yang muncul tiba-tiba tak terkendali itu, semakin tak fokus Nizam pada tujuan awalnya: menulis cerita.

Setelah konsentrasinya kembali, Nizam mulai membuat segurat coretan. Hari semakin siang, makan siang belum siap. Tetapi coretan pertamanya itu yang paling ditunggu-tunggunya. Pertama dalam sejarah hidupnya, Nizam berhasil mengukir segores carbon dalam selembar kertas kosong. Melihat hasilnya itu, Nizam geli sendiri.

Dalam pikirannya, goresan itu berbunyi sebuah kalimat.

Siang ini. Aku bangun tidur ditemani Bubu yang cantik jelita yang memamerkan cerpennya yang dimuat dalam sebuah majalah. Terlihat wajah Bubu sangat mengagumkan. Tak terlihat Baba. Dimana Baba? Apakah sedang memburu cicak?

Baru enam kalimat dalam pikirannya, Nizam sudah kelelahan. Ia berhenti sejenak. Istirahat sambil memikirkan kalimat berikutnya. Kalimat itu harus memuat konflik cerita lebih komplek lagi sehingga pembaca tidak bosan membacanya.

Jam dinding itu berdentang dua belas kali. Tepat tengah hari. Nizam menguap. Sedang asik-asiknya ngarang cerita, ngantuk datang, petiknya dalam hati.

Kantuknya semakin hebat. Nizam sempat memikirkan kalimat terakhir sebelum akhirnya ia tertidur.

Kantuk, pergilah kau dan jangan kembali! Aku bisa kalah telak dari Bubu...

Bubu yang datang membawa makan siang, mendengus melihat anak lelakinya ketiduran sebelum makan siang.

"Anak ini, ga biasanya tidur pas lohor," gumamnya sambil geleng-geleng.

Bubu melihat ada selembar kertas dengan pensil yang masih digenggam Nizam. Ia penasaran apa yang dilakukan Nizam dengan pensil alis miliknya. Dibacanya sebentar namun tak terbaca. Tak jelas Nizam barusan menulis atau menggambar. Bubu akhirnya terkikik ketika tahu bahwa anak itu hanya membuat benang kusut.

"Hhmm... Mau nyaingin Bubu?"

Cicakحيث تعيش القصص. اكتشف الآن