SL - BAB 7

14.9K 1.1K 15
                                    

Keraguan menggelayuti Em ketika berdiri di depan pintu kamar Ryan. Semalaman Em tak bisa tidur dengan baik. Berkali-kali menengok ke arah pintu kamar Ryan yang tak berubah, masih tertutup rapat sejak semalam. Em tahu bahwa putranya merasa kecewa ketika mengetahui sosok ayahnya adalah seorang brengsek, bukan sosok yang diharapkannya selama ini.

Menghembuskan napas perlahan sekaligus mengusir suasana sedih yang menyelimuti hatinya sejak semalam. Em mengetuk pelan pintu kamar Ryan. "Ryan... Ini sudah pagi."

Tidak ada jawaban.

Em putus asa. Dia telah berangan-angan akan kemungkinan terburuk, tapi ditepisnya semua itu. Dia tak ingin hidupnya lebih hancur dari sekarang. "Ryan..." Mengetuk lagi perlahan. "Tolong, buka pintunya."

Masih tanpa jawaban.

Ya Tuhan, apa yang telah kulakukan?

Em tak lagi punya cara. Jalan terakhirnya adalah mengeluarkan ponsel dan menelepon bengkel di mana Will bekerja untuk menanyakan pria itu atau meminta nomor pribadinya supaya mau membujuk Ryan keluar. Menurut Em, itu adalah jalan tak mengenakkan yang harus ditempuhnya.

Sebelum Em menekan nomor, pintu kamar Ryan terbuka lebar-lebar menampakkan si pemilik kamar telah rapi dengan pakaian kasual. Anehnya, bocah itu tengah menggendong tas ransel berukuran besar—bukan tas yang biasa dibawanya ke sekolah.

"Apa yang kau lakukan?" kata Em datar. Dalam hati, dia panik setengah mati. "Mau ke mana kau dengan tas itu?"

Ryan menolak menatap Em. "Aku harus pergi."

"Tidak!" Tegas, tajam, keras, namun bergetar. "Kau tak boleh pergi ke manapun!"

"Aku butuh waktu, Em!" Ryan mengangkat wajahnya, menatap Em. Raut kecewa tercetak jelas. Kepedihan tak mampu ditutupi. Em baru menyadari, betapa selama ini putranya begitu pendiam dan tertutup akan segala hal. Sekali ini, Em melihat sisi rentan putranya. "Aku tak tahu apa yang terjadi pada diriku. Semalam—aku—" Ia terbata. "Pokoknya aku hanya ingin mengetahui di mana ayahku. Hanya itu. Aku—" Ryan tak lagi melanjutkan. Dia kehilangan kata-kata. "Sudahlah."

"Jangan pergi. Hanya kau satu-satunya yang ibu miliki."

"Aku akan kembali."

Em menggeleng kuat-kuat. "Apapun itu. Jangan pergi."

"Em, aku hanya pergi selama empat hari. Aku janji. Tak ada yang perlu dikhawatirkan."

Em meledak. Jalan pikiran seorang ibu tak akan pernah selaras dengan keinginan putranya. Orang tua selalu mengedepankan rasa khawatirnya, semata-mata karena afektif dan protektif. "Tentu saja aku khawatir! Aku ini seorang ibu! Aku tak bisa membiarkanmu keliaran menggelandang di luar sana tanpa makanan. Aku bahkan tak tahu apa saja yang akan mencelakaimu di luar sana—"

"Em," Ryan memotong. "Aku hanya akan pergi ke Perkemahan Sekolah."

"Apa?"

"Yah, ada acara tahunan di sekolah." Ryan mengendikkan bahu. "Siapa saja bisa mendaftar untuk mengikuti acara itu. Aku menyertakan diri. Kupikir tak ada salahnya. Dan, ya, aku juga butuh waktu untuk merenung. Mungkin di sana aku akan mendapat teman baru, menjadi lebih terbuka, dan mungkin menyadari kesalahanku."

Em terdiam beberapa saat. Emosinya masih terantuk-antuk, namun pengendalian dirinya penting untuk sekarang. Ryan membutuhkan pengertian yang lebih besar setelah mendengar penuturan Em semalam. Meski berat menjauh beberapa hari dari Ryan, Em sekuat tenaga menyembunyikan ketidak-setujuannya.

Pintu apartemen diketuk keras sebelum Em bisa menjawab Ryan. Bocah itu menjatuhkan tas besarnya dengan kasar. Lantas berlari melewati Em menuju pintu depan.

Surrender of LoveWhere stories live. Discover now