- HARI DUA -

13 0 0
                                    


Rombongan para convenor dan panitia inti workshop bubar dari restoran udon dengan perut hangat dan kenyang. Aku berbelok menuju Sanjo-dori untuk membeli taiyaki lezat untuk dijadikan cemilan malam nanti. Selagi menanti taiyaki dibungkus, tiba-tiba kedua bahuku mendapat pijatan lembut. Aku tak merasa perlu melihat siapa itu. Aku tahu karena tiba-tiba hatiku melonjak, girang bercampur cemas.

"Beli buat aku ya?" tanyamu.

"Sejak kapan kau makan makanan beginian?" jawabku sambil tertawa.

"Niatmu kau belikan aku, tapi karena kau yakin aku tak akan makan, maka jatahku kau ambil. Jadi kau punya alasan makan porsi dobel hahaha."

Hatiku hangat melihatmu tertawa riang. Bungkusan taiyaki berpindah tangan dari si penjual. Dia tersenyum ramah. Aku membalas senyumannya sambil mengangguk. Kita berjalan menjauhi warung taiyaki yang menguarkan wangi itu.

"Museumnya keren?" tanyaku.

Kau mengacungkan dua jempol sambil mengangguk mantap.

"Udah makan?" tanyaku lagi.

"Udah, di warung kemarin. Enak, dan nggak perlu mikir lagi."

"Menu yang sama?"

"Iya lah. Kan malas berpikir, dan susah juga nanya sama si ibu itu. Nanti dia terangkan panjang lebar dalam bahasa Jepang lagi. Dia pikir aku mengerti kali ya?"

"Matamu sama sipitnya dengan mereka. Dan kau minta makanan vegetarian dengan bahasa Jepangmu yang sepotong itu. Salah sendiri!"

"Aku sipit, tapi masih bisa jelas melihat seberapa cantiknya dirimu."

Buk! Aku meninju lengannya. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk mencegah aliran darah naik ke wajahku. Dan gagal. Wajahku tetap terasa panas, dan pasti merah padam. Tawamu membahana. Aku berjalan cepat meninggalkanmu. Nyaris berlari. Aku tak ingin menghadapimu dengan perasaan campur aduk seperti ini. Kau mengejar, masih sambil tertawa.

"Diyaaaaa.... Tunggu akuuuu...ha...ha...ha..."

Saat hampir menyeberangi zebra cross, aku berhenti mendadak saat merasakan butiran halus berjatuhan, seperti berhamburan. Kita tadi dipayungi atap arcade tapi kini kita tiba di pertigaan yang terbuka. Salju halus berjatuhan. Salju!

"Salju pak! Salju!" aku nyaris berteriak sambil menoleh mencarimu.

Kau berlari mendekat sambil memamerkan cengiranmu yang paling lebar. Tak sering salju menghampiri Kyoto bahkan di musim dingin. Tapi malam itu sungguh salju halus berjatuhan. Tipis-tipis. Melayang-layang. Kau menadahkan tanganmu. Kepingan salju berjatuhan di telapakmu. Aku menyentuhnya dengan tanganku. Dan kau menangkapnya. Menggenggamnya. Refleks aku menarik tanganku, tapi cuma separuh hati. Paruh lain dari hatiku ingin tanganku tetap berada di sana. Aku memandangmu lekat. Kau tersenyum, membalas pandanganku sambil menarik tanganku untuk menyeberang. Aku membiarkan diriku terseret tubuhmu yang bergerak bersama serombongan manusia lain yang bergerak di zebra cross itu. Tapi pusat duniaku saat itu hanya dirimu. Hanya kau yang kulihat ada di situ. Menarik tanganku. Diriku. Hatiku. Dan kepingan halus salju yang berjatuhan hanya membuatmu semakin bercahaya. Kau di zebra cross itu, di bawah siraman tipis-tipis kepingan salju, adalah pemandangan terindah yang pernah kulihat.

Kita kembali berjalan dalam diam, tanganku tak juga kau lepaskan. Dan aku pun sesungguhnya tak ingin tangan kita berpisah sejak mereka sempat bergenggaman kemarin pagi.

"Eh, kita tak naik bis saja?" tanyaku waktu kau masih seret aku lurus, alih-alih berbelok menyusuri trotoar Kawaramachi-dori menuju penghentian bis.

"Pontocho di malam hari itu romantis sekali lho" jawabmu terdengar penuh niat menggoda.

Aku berusaha mengabaikan kata 'romantis' dan nada suaramu.

Kyoto 11 HariWhere stories live. Discover now