Mie

1.8K 282 42
                                    

"Zayn, kau masih ingat 'kan saat kita makan mie dipinggir jalan malam itu?"

"Aku tahu kau mengingatnya, Zayn. Tapi, aku ingin mengenangnya. Boleh, ya?"

"Zayn, aku lapar. Kita mampir makan dulu, boleh?" aku mengaduh memegang perutku yang sedari tadi merengek minta diisi. Malam ini, aku dan Zayn memang berniat untuk melihat kembang api di taman kota. Walaupun acara kembang apinya dimulai jam 10 malam, namun aku dan Zayn memang sengaja berangkat jam 8 karena kami mau menikmati indahnya malam di London terlebih dahulu. Kami juga mengendarai motor. Kata Zayn, kalau pakai motor akan lebih terasa suasananya dibanding dengan mobil.

"Kau mau makan? Aku tahu tempat makan yang enak disekitar sini. Sabar, ya. Tidak jauh, kok."

Aku mengangguk mengiyakan, meski Zayn tidak melihatnya.

Zayn membelokkan motornya ke kedai makan kecil di pinggir jalan, dan memberhentikan motornya di tempat yang sudah disediakan untuk para pengunjung yang membawa kendaraan.

Mataku menyapu setiap sisi dari kedai ini. Mengerutkan dahi, aku merasa tak yakin dengan tempat ini. "Zayn, kau membawaku untuk makan disini?" tanyaku dengan nada bicara ragu. Tentu saja ragu. Masa Zayn membawaku makan di tempat seperti ini.

"Yap." Zayn tersenyum, menggenggam tanganku masuk kedalam kedai kecil ini.

Kerutan di dahiku semakin terukir. Ku berhentikkan langkahku dan menatap Zayn datar, "Aku tidak mau. Kita makan di restoran saja, ya? Makanan disini pasti tidak higienis."

"Tahu darimana makanan disini tidak higienis?" tanya Zayn dengan santainya. Suara helaan napasnya begitu terasa dan ia menaikkan sebelah alisnya, menatapku.

"Pokoknya aku tidak mau. Kau makan saja, biarkan aku menunggumu." aku mengambil tempat dan langsung duduk dengan kasar disalah satu kursi, memalingkan wajahku dari Zayn.

Kulihat Zayn mendelikkan bahu dan memesan makanan. Saat ia menoleh kearahku, aku langsung membuang muka darinya.

Huh, memangnya tidak ada tempat makan yang lebih bagus, batinku.

Beberapa saat kemudian, Zayn kembali duduk di hadapanku dengan dua mangkuk mie ditangannya. Sial, itu makanan kesukaanku.

Lagi-lagi aku memalingkan wajahku darinya, mencoba menghiraukan aroma mie yang terus masuk ke dalam rongga hidungku. Ah, sedapnya. "Untuk apa memesan dua mangkuk mie sekaligus?"

Ayolah, jawab 'untukmu, Ashley.'

"Karena... Aku lapar." sial, sial, sial. Aku berharap ia akan bilang 'untukmu.' tapi ternyata tidak. Aku bersumpah, cacing di perutku sudah benar-benar merengek dan mulai mencabik-cabik dinding lambungku.

"Kenapa? Kau mau, ya?" ujarnya dengan santai. Seringai tipis terukir di wajahnya dan aku tahu itu. Kulihat ia memasukkan satu sendok mie kedalam mulutnya.

Ayolah, mie itu terlihat sangat lezat, Oh Tuhan, tolong aku. "T-Tidak."

"Uhm, mie ini lezat sekali."

Aku mau, Zayn. Aku mau. Tapi aku malu. Ayolah, sadar Zayn. Lihat aku, aku benar-benar menginginkannya sekarang masuk ke dalam mulutku.

"Rugi sekali kau tidak mau makan mie ini."

Aku mau Zayn, aku mau. Perutku seakan sudah ditinju berkali-kali dari dalam. Batinku seakan berteriak, merengek meminta makan.

Aku melirik kearah Zayn. Tinggal satu suap lagi, kemudian mie itu akan habis dalam hitungan detik, dan aku tidak mau melewatkan suapan terakhir itu, astaga.

Zayn melayangkan sendok berisi mie yang sudah siap masuk ke mulutnya.

Aku tidak sanggup melihatnya. Hatiku terus saja meneriaki kata 'tidak' saat sendok berisi mie itu hampir memasuki mulut besar Zayn.

Tiba-tiba tangan besar milik Zayn menangkup wajahku dan menariknya agar menghadapnya. Ia menyuapkan mie itu kedalam mulutku.

"Aku tahu kau lapar. Tunggu disini. Aku akan memesan satu mangkok mie lagi untukmu."

Enak. Itulah yang kurasakan saat mie tadi masuk kedalam mulutku. Aku kira Zayn akan melahapnya habis tanpa memikirkanku. Ternyata ia masih memikirkanku.

Sesaat kemudian, ia kembali dengan satu mangkok mie di tangannya. Aku tersenyum lebar melihatnya.

"Apa?" tanya Zayn dengan nada bicaranya yang halus.

"Suapi aku?"

"Tadi kau bilang tidak mau. Dasar gadis plin-plan." Zayn tertawa kecil seraya menyuapiku sesendok mie.

"Enak. Kupikir makanannya tidak enak. Dari luar, tempat makan ini terlihat sangat jelek, jadi kupikir makanannya juga tak enak."

Zayn menggelengkan kepalanya tanda tidak padaku. "Jangan menilai apapun dari luarnya, sayang."

Aku tersenyum mendengar kata-katanya barusan. Walaupun Zayn terlihat cuek, bahkan dingin. Tetapi, ia tahu bagaimana cara memperlakukanku dengan baik. Ia sungguh sempurna.

"Kalau kau terus-menerus tersenyum seperti itu, aku akan meninggalkanmu disini sendiri, Ash."

"Tidak mungkin. Aku tahu kau menyayangiku, Zayn. Memang kau mau aku pulang jalan kaki sendiri? Kalau aku digoda laki-laki lain bagaimana?" Tanyaku dengan raut wajah datar yang terkesan tak berdosa.

Zayn diam beberapa saat mencerna perkataanku. Sungguh, wajahnya sangat lucu jika seperti itu.

"Aku tidak akan segan-segan membunuh orang yang menggodamu," ujarnya santai.

"Benarkah?"

"Uhm, ya-a... Kurasa," jawabnya gugup. Tawaku lepas saat melihat raut wajah Zayn yang gugup seperti itu.

"Itu tidak lucu, Ash."

Aku menjawil hidungnya yang mancung itu hingga memerah.

"Ashley nakal, ya!"

Tawa kami pecah saat itu juga. Zayn mengacak-acak rambutku perlahan, dan merangkulku hangat.

"Hari itu sungguh mengasyikan, ya."

"Oh, ya! Hari itu aku baru sadar akan kata-katamu. Jangan menilai sesuatu dari luarnya. Tapi lihatlah dalamnya. Belum tentu yang luarnya buruk dalamnya juga buruk, 'kan? Begitu pula sebaliknya."

"Terimakasih, Zayn. Aku mencintaimu. Sungguh teramat mencintaimu."









***

Hii, duh part ini krik abis, haha. Makasih ya yang udah baca sampe sini. Apalagi ngasih feedback. Udah itu aja. Makasih! x

Little Things // z.mTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang