1. Audition

18 1 4
                                    

Berkali - kali Reya melirik arloji yang melingkar di tangan kirinya. Rasa gelisah dan bimbang mengepung sekaligus membunuh mentalnya. Sudah 30 menit ia duduk di ruang tunggu. Berusaha sabar menunggu giliran untuk audisi pemeran Opera Beauty and The Beast. Opera ini akan dipentaskan dalam lomba festival seni tingkat nasional. Sebuah festival bergengsi untuk mencari bibit - bibit unggul dalam pementasan drama. Di bawah pressure yang begitu tinggi, pikiran Reya semakin kacau ditambah cuaca mendung yang mulai menghitam. Hanya tinggal hitungan detik menunggu gerimis. Karuan saja, Reya tidak bisa menampik rasa cemas yang mencabik - cabik pikirannya. Padahal hari ini mama Reya mengajak untuk foto keluarga. Tapi sayang, Reya tidak mau kelewatan momen audisi ini, dan sialnya, dia juga tidak mau kehilangan momen foto keluarga yang sudah belasan kali di- cancel.

"Oke, cukup ! Gue mau pulang !"  Ujar Reya sambil beranjak dari tempat duduknya. Dengan sigap, Tami meraih lengan Reya.

"Duuh..Reya, bentar dulu" Ucap Tami dengan suara khasnya. Tami memang berkeras hati menyuruh sahabatnya untuk ikut tes bergengsi ini. Apalagi Reya punya talent yang cukup baik dibidang acting. Secara fisikpun, lumayan mendukung. Kulit kuning langsat, senyum yang menawan. Belum lagi dengan rambut lurus indah sepunggung.

"Reya...ini kesempatan buat nunjukin bakat acting lo. Please, jangan ngelewatin kesempatan ini !" Kata Tami sambil menggoncang - goncang lengan Reya. Sebagai sahabat terdekatnya, Tami selalu berharap Reya bisa menggapai semua yang diidamkannya. Termasuk untuk mendapatkan cinta Chris. Chris adalah cowok yang sudah lama di taksir Reya. Ya walapun Chris sudah memberikan kepingan cintanya pada Priscilla, cewek populer yang luar biasa cantik.

"Aduh.. Gue nggak comfort Mi. Gue belum siap buat tampil di pesta festival, gue juga belum siap buat latihan hampir setiap hari kalo seandainya gue kepilih nanti." Tegas Reya. Tapi Tami tetap bersikeras, dia bak batu karang yang tak akan hancur meski ditimpa ombak keras. Tami memang gigih, peringainya yang santai dan agak dewasa kadang tak sepadan kalau di- compare dengan watak Reya yang ceroboh.

"Dan kalau seandainya gue nggak lolos seleksi gimana ??" Sambung Reya pesimis.

"Kok lu jadi pesimis gitu sih Rey ?!"

"Ya gimana gue nggak pesimis, liat tuh, siapa saingan gue ?!" Kata Reya sambil melirik Priscilla yang tampak lega begitu keluar dari ruang audisi.

"Peserta selanjutnya, Faris Adrivano !" Teriakan lembut asisten Bu Hellen, pakar seni di SMA Taruna sempat menyentak Reya. Tapi sayang, yang mengudara bukan namanya, melainkan nama Faris, cowok calm setengah dingin yang duduk paling ujung. Terpisah tiga bangku dari Reya. Dia memang tidak setampan Chris, tapi tetap good looking dan gayanya lebih gentle dan tangguh. Bahkan, hampir semua cewek di kelas Reya mengelu - elukannya, kecuali Reya sendiri.

"Rey," Bukannya bergegas masuk ke ruang audisi, Faris malah menyapa Reya yang dari tadi melototi langit.

"Hmm.." Gumam Reya hampir tak menggerakan bibirnya yang kecil.

"Elo duluan ya, gue belum siap." Reya sempat bingung dan jadi salah tingkah.

"Loh emang..?"

"Udah...!!" Tukas Faris sambil menarik lengan Reya agak kasar begitu panggilan kedua meletus ditelinganya.

"Yap ! Semangat Rey !! Good Luck !" Teriak Tami yang membuntuti langkah Reya dan Faris.

"Kenapa belum siap Ris?" Tanya Tami kemudian, setelah duduk bersebelahan dengan Faris.

"Ya.. Mental gue belum nyatu aja." Jawab Faris hampir berbarengan dengan gemuruh petir.

"Pasti itu bukan alasan utamanya kan ? Elo punya mental baja Ris. Masa iya, kapten basket nggak kuat mental cuma ngadepin tes drama doang." Faris cuma tersenyum datar. Ia memang dikenal sebagai cowok yang nggak suka banyak omong sama cewek. Hidupnya terlalu di penuhi keseriusan. Tapi dia sangat populer dan eksis sebagai siswa yang rajin menyumbang prestasi untuk SMA Taruna. Namun, sebagian bilang, Faris cowok yang tempramental dan arogan.

Between Two HeartsWhere stories live. Discover now