XII - Mata yang Tersenyum

9.9K 1.6K 21
                                    

Saka sudah lama mengenal Clara. Mereka satu kelas di lembaga bimbingan belajar yang rutin mereka ikuti setiap sore selama kelas sepuluh dan kelas sebelas, walaupun Saka sering absen karena ia lebih memilih untuk nge-band ketimbang belajar. Clara adalah orang pertama yang dihubungi Saka ketika ia bolos kelas, karena mereka berdua berasal dari sekolah yang sama.

Mereka baru dekat di kelas dua belas, ketika mereka di tempatkan di kelas yang sama. Bu Wina, wali kelas mereka membuat satu peraturan konyol yang harus ditaati oleh seisi kelas: bahwa posisi tempat duduk diatur oleh beliau. Walaupun tak mengatakannya secara gamblang, tapi semua orang tahu bahwa Bu Wina memilih berdasarkan kemampuan masing-masing siswa. Siswa dengan nilai yang cenderung tinggi didudukkan dengan siswa dengan nilai di bawah mereka. Dengan begitu diharapkan bahwa siswa dengan nilai yang lebih tinggi akan membantu teman sebangkunya dalam memahami pelajaran.

Clara yang rajin akhirnya sebangku dengan Saka yang malas belajar.

Clara banyak membantu Saka dalam belajar. Cewek itu dengan telaten menjelaskan pada Saka tiap-tiap materi yang tak dipahaminya, tak peduli pertanyaan itu dilontarkan karena Saka memang benar-benar tidak paham atau karena agar cowok itu bisa berlama-lama mengobrol dengan Clara saja.

Jika teman-temannya yang lain memberinya tatapan penuh judge ketika mereka tak kunjung berhasil membuat Saka paham, jenis tatapan seperti ah-udahlah-mau-digimanain-juga-lo-pasti-nggak-bisa!, Clara memberinya dukungan positif secara terang-terangan. Tangannya selalu terbuka untuk menolong Saka, juga teman-temannya yang lain, karena pada dasarnya Clara memang anak yang baik dan suka berbagi ilmu. Hanya saat ujian saja Clara mendadak pelit dan tidak mau memberi bantuan.

Satu waktu, Clara akan mengomel panjang lebar ketika nilai ekonominya anjlok.

"Gue tahu sebelum try out waktu itu lo nggak belajar, kan? Ya gimana mau dapat nilai bagus kalau lo nggak belajar!"

"Ya makanya lo kasih gue contekan lah Clar, biar nilai gue bagus. Kan lo tahu sendiri waktu itu gue nggak belajar," Saka menanggapi omelan Clara dengan bercanda. "Tapi kan ini nilai gue udah terlanjur jeblok, nggak bisa diubah lagi. Next TO lo kasih gue contekan, gimana? Deal?"

Clara melotot, dan Saka langsung tertawa terbahak-bahak. Clara ini idealis sekali, menganggap bahwa kegiatan menyontek setara dengan kejahatan tingkat tinggi.

Di waktu lain, Clara akan memotivasinya ketika ia kembali ke bangku dengan mood yang buruk setelah diomeli oleh Bu Wina mengenai nilainya yang tak kunjung meningkat.

"Pernah dengar tentang teori multiple intelligence-nya Gardner nggak?" tanya Clara hati-hati.

"Siapa tuh?"

"Ahli psikologi dari Harvard."

"Gue aja materi geografi yang tadi diajarin Bu Dian udah lupa, Clar. Gimana bisa gue tahu teorinya ahli psikologi coba?" Saka langsung sensi.

"Ya... gue kan tertarik sama ilmu psikologi, Ka. Jadi wajar kan kalau gue dikit-dikit baca tentang itu? Kalau lo kan nggak tertarik, jadi wajar aja kalau lo nggak tahu," ujar Clara, yang terdengar seperti penghiburan semata di telinga Saka. "Tapi itu nggak penting, sih. Yang penting sekarang, gue cuma mau sharing tentang teori ini sama lo. Mau dengerin, nggak?"

"Hmm."

"Jadi, kalau menurut si Gardner ini, ada sembilan tipe kecerdasan manusia. Setiap manusia mungkin cerdas di satu tipe kecerdasan, tapi nggak di tipe kecerdasan yang lain. Gue nggak hafal sih ada apa aja. Tapi yang gue ingat, pokoknya ada linguistic, intrapersonal, mathematics, sama music. And it's normal when you good in music but not at mathematics. Karena kita, manusia, memang nggak bisa unggul dalam segala hal.

Zero GravityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang