Character: Sarah Amelia

975 255 54
                                        

"Nggak mending jadi pramugari aja?"

Itu pertanyaan yang diajukan oleh keluarga, kerabat, dan juga teman-teman si gadis berdarah Sunda yang satu ini ketika memutuskan untuk mengambil jurusan teknik penerbangan.

Aslinya Sarah itu cantik, proporsi tubuhnya ideal-dan untuk yang ini teman-temannya sering menggodanya untuk jadi model-jadi cocok untuk dijadikan model.

Toh, beberapa kerabatnya juga public figure.

Tapi semua itu ditolak mentah-mentah oleh Sarah.

"Gue nggak mau terkenal hanya gara-gara muka," katanya selagi mengetuk dahi dengan jari telunjuk. "Better if people know me with this one. Gue bisa proud kalau gitu."

Buat Sarah, sesuatu yang hanya berlandaskan keindahan itu tidak akan bertahan lama. Itu sebabnya yang indah itu tidak bisa dibanggakan.

Selama 17 tahun hidupnya, Sarah berpegang teguh dengan hal itu. Jadi ketika Sarah melihat sesuatu yang memang indah adanya, dia akan mencoba mencari apa memang pantas hal yang indah itu untuk disukai.

Tapi prinsip itu sedikit goyah begitu dia bertemu dengan cowok bermata sipit yang satu fakultas dengannya.

Di saat bertemu dengan cowok yang orang panggil dengan nama "Yogi" itu, Sarah sedikit takut. Bukan takut tanpa alasan.

Soalnya tatapan Yogi tajam. Pake banget, ditambah sambal terasi buatan tetangga.

Ridiciulous joke.

Tatapan dari Yogi indah? No.

Tapi dari situ justru keduanya dekat. Dan di situlah Sarah merasa dia tidak perlu mencari tahu lebih dalam alasan kenapa rasa ketertarikannya muncul untuk cowok ini.

Sarah luluh. Luluh dengan tatapan tajam Yogi di malam itu yang disertai dengan genggaman hangat dan kalimat, "Cewek balik malam gini sendiri. Gila lo. Gue antar pokoknya."

Ketika Sarah mau menolak, Yogi langsung menyeletuk, "I don't ask your permission."

Kesannya memang seperti pemaksaan. Tapi di saat itu Sarah merasa kalau yang bisa membuat nyaman itu bukan hanya kasur di kosan ditambah kipas angin, tapi tangan Yogi juga bisa.

Sekarang Sarah tahu, kalau menyukai sesuatu itu tidak selamanya punya alasan yang jelas. For example, Yogi. Menyukai cowok ini tidak mengenal absolute ceiling*, dan lagi tidak bisa asal abort*. Oh, memang tidak bisa.

(*absolute ceiling: batas ketinggian mutlak bagi penerbangan.)

(*abort: pembatalan bagi pilot untuk melakukan take-off meski mesin telah dihidupkan.)

Yang Sarah tahu, dia menikmati setiap waktu yang dihabiskan jantungnya ketika berdetak tak karuan karena Yogi yang seenaknya meletakkan kepala di bahu Sarah, memeluk Sarah, bahkan mencium pipi Sarah saat Sarah turun dari mobil.

Sekarang Sarah duduk di bangku taman kampus, memandangi kotak merah yang masih diikat dengan pita dan tak kunjung dia buka sejak 3 bulan yang lalu.

"Pokoknya jangan dibuka. Bawa aja. Setelah kamu balik, aku mau masangin yang di dalam ke jari kamu, Sar."

Mengingat kalimat yang diucapkan Yogi membuat Sarah tidak bisa menahan senyumnya lagi.

Dia harus bertahan empat semester di sini. Tanpa Yogi, pelukan cowok itu, atau pun kalimat dingin yang sebenarnya bermakna "don't make me worried, Sar" khasnya Yogi.

Bagaimana pun, Sarah harus bertahan. Dia akan menjadikan dirinya sebagai Sarah Amelia yang pantas mendampingi Yogi Tjahya Brawijaya nantinya.

Sarah kemudian merekam suaranya, mengirim sebuah voice note pada Line cowok bermata sipit itu.

"Gi, kuatin aku ya. Takut nggak tahan jadi tiba-tiba beli tiket dari Heathrow ke Soetta. Atau yang ke Husein langsung udah ada?"

***

Unknown (✓)Where stories live. Discover now