Drama Sembilanbelas

70.9K 2.8K 58
                                    

Aku menyaksikan hal buruk yang tidak pernah terpikirkan olehku, bahkan dalam pikiran tereksremku sekalipun.

Aku melihatnya, bagaimana Raina mendorong tubuh Saskia sekuat tenaga ke dalam kolam renang. Sesaat tubuhku mematung, senyum puas tercetak jelas di wajah Raina.

Aku berjalan cepat ke arah Raina, setelah kemampuanku untuk bergerak kembali sepenuhnya. Raina yang tidak menduga kedatanganku, langsung berakting layaknya artis profesional. Tapi sayangnya, aku bukan orang idiot yang mudah ditipu dengan akting yang terlambat.

"Ya ampun, Saskia." Raina menjerit tertahan. Aku jadi merasa jijik mendengar suaranya. Tanpa menghiraukannya, aku melepas jasku dan melemparkannya pada Raina.

Aku hanya memikirkan istriku. Tidak ada waktu untuk menonton akting murahan.

"Dam--"

Entah apalagi yang diucap Raina, aku tidak mendengarnya. Karena aku sudah menceburkan diri ke dalam kolam.

Dia di sana. Terlihat begitu lemah.

Untuk kedua kalinya, aku melihat Saskia dalam keadaan tidak berdaya, dan itu disebabkan oleh dua orang yang berbeda.

Persediaan oksigenku seakan direnggut paksa saat melihat mata Saskia perlahan menutup, membuatku mempercepat renangku dan menggapainya.

Aku sudah memegangnya. Ia sudah aman. Saskia sudah bersamaku.

Jantungku tidak bisa berdetak dengan normal selama aku berusaha membawa Saskia ke tepi. Kolam renang yang tidak begitu besar, entah kenapa rasanya seperti lautan bagiku.

Pinggir kolam sudah ramai ketika aku berhasil membawa Saskia ke atas. Cepat-cepat aku segera naik, setelah dua orang membantu mengangkat tubuh Saskia.

Dan Raina di sana, berdiri sambil memegang jasku dengan wajah cemasnya. Mencemaskan siapa? Aku? Aku sudah jelas dapat berenang. Apa dia mencemaskan Saskia? Takut-takut istriku tidak berhasil mati seperti harapannya?

Aku tidak mengerti apa yang ada di dalam pikiran Raina. Belum pernah aku merasa semuak ini pada perempuan.

"Dam, kamu gak apa-apa?"

Aku diam. Tidak menjawab apa yang ditanyakan Raina yang sekarang berada di sampinku. Aku hanya fokus menekan perut Saskia, berusaha mengeluarkan air yang mungkin masuk ke dalam paru-parunya.

Saat Saskia belum juga menunjukan respon, aku berusaha menekan dadanya.

Satu,

Dua,

Tiga.

Masih tidak ada respon yang ditunjukan oleh Saskia. Jantungku berdetak menggila. Rasa takut mulai menghampiriku. Aku tidak ingin kehilangan. Terlebih, jika itu istriku.

Satu,

Dua,

Tiga.

"Dam, udah, udah."

Raina kembali bersuara, membuat aku semakin muak padanya. Dibalik suaranya yang berusaha terdengar simpati, pasti ada senyum puas di sana.

Aku merasakan orang-orang yang memerhatikanku juga ikut menegang, menantikan kepastian. Tapi yang jelas, aku lebih tegang dari siapapun.

Ini usaha terakhirku, untuk penyelamatan yang kutahu.

Aku mendekatkan wajahku pada wajah Saskia. Bibirnya mulai membiru, kulitnya dingin. Kelopak mata itu tidak juga terbuka.

"Aku aja yang kasih napas buatan, Dam."

Ck. Aku mendongak, menepis kasar tangan Raina yang hampir menyentuh wajah Saskia.

"Jangan berani-beraninya kamu sentuh dia. Kalo sesuatu yang buruk terjadi sama istriku, udah pasti kamu orang yang bakal kutuntut." ujarku datar. Seketika itu juga kulihat wajah Raina memucat, lebih pucat dari warna kulit aslinya. Ia tidak mengatakan apapun lagi.

Aku kembali fokus pada Saskia, memberinya napas buatan berulang-ulang, dan bergantian menekan dadanya. Dia harus selamat.

"Sas," panggilku pelan. Aku harus bagaimana lagi?

"Saskia, wake up!" geramku. Aku mendekatkan telingaku ke dadanya, untuk mengecek detak jantungnya. Jantungnya masih berdetak, meski lemah. Tapi itu berarti, masih ada harapan untukku.

Sekali lagi, aku memberi napas buatan untuk Saskia.

Dan kali ini, rasanya aku ingin bersujud mengucap syukur sekarang juga, saat hela napas lega lolos dari bibirku, ketika melihat Saskia terbatuk dan memuntahkan air beberapa kali.

Rasanya seperti disiram air dingin setelah kau ditaruh di atas panggangan. Aku terduduk, bersyukur tanpa henti dalam hati. Dan suara hela napas lega, juga kudengar dari orang-orang sekitar. Mereka seperti menyaksikan adegan horor saja.

Aku mengangkat kepala Saskia dengan satu tanganku, menempelkan dahiku dengan dahinya. Aku memejamkan mata, saat melihat Saskia mengerjap-ngerjapkan matanya dengan lemah.

Alhamdulillah... Jika harus kehilangannya saat ini, mungkin aku tidak akan pikir panjang untuk mengikutinya pergi.

"Kita pulang." bisikku yang dijawab dengan anggukan lemah Saskia. Aku segera mengangkat tubuhnya ke dalam gendonganku, setelah merampas kasar jasku yang masih dipegang oleh Raina yang kelihatan seperti... Tidak puas, untuk kupakaikan pada Saskia.

Aku bangkit, dan menatap tajam pada Raina yang dengan cepat menyimpan ekspresi tidak senangnya, dan menggantinya dengan ekspresi menyesal.

"Damar, sayang. Maaf, tadi itu aku gak sengaja. Saskia itu kedorong, bukan kudorong."

Aku berdecak, Raina memang bukan perempuan cerdas. "Aku gak butuh omong kosong. Mataku lebih bisa dipercaya, daripada omongan iblis macem kamu." ucapku, dingin. Tidak ada perasaan sedikitpun. Memangnya, siapa yang mencintai perempuan macam dia?

Aku menyentak tubuh Saskia, membenarkan posisi tubuhnya dalam gendonganku. Setelah itu, aku berbalik, berjalan meninggalkan Raina yang kembali memucat karena ucapanku, di belakang.

Pelajaran untukku yang harus kuingat; bahwa membiarkan Saskia sendirian, bukanlah hal yang baik..

.

.

.

Tadaaaaaa~ wkwk. Duh, budiman banget ya aku, hari ini update KAM dua kali xD

Gimana, gimana? Udah pada terjawabkan pertanyaan tentang siapa yang nyelamatin Saskia? Yaituuuu~ suaminya, alias selingkuhan saya, Damar. #plak

Ada yang kecewa karena ternyata itu Damar? (oke, silakan timpuk saya.)

Nah, sudah ya? Selamat malam, dan selamat membaca cinta-cintaku. Jangan terlalu larut untuk 'bobo cantik' yaa xD

Oke, see ya! ^^

Cinta kaliaaaaaaaaan. (peluk hangat)

Hana Akuma.

Karena Aku MencintaimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang