23. Tak Semudah Yang Dibayangkan

3.4K 281 101
                                    

"Kenapa makanannya cuma diaduk-aduk aja, sih? Nggak suka? Atau mau aku pesenin menu lain?"

"Nggak usah, Piu. Ini aja belum habis."

"Terus? Kenapa cuma diaduk-aduk? Mau aku suapin?"

"Makin ngaco deh. Apa kata orang, kalau kita suap-suapan di sini?"

"Kalau gitu dimakan dong! Jangan cuma diaduk-aduk aja."

"Iya."

Obrolan Vian dan Dito berhenti sampai di sana. Namun tidak pada pandangan Dito. Laki-laki itu jelas tahu jika Vian bukan hanya tak bersemangat dengan makanannya, tapi ada hal lain yang sedang disembunyikan Vian darinya.

Sepulangnya dari lokasi pembangunan hotel, Dito mengajak Vian untuk makan siang berdua--yang sebenarnya sudah lewat dari jam makan siang. Mereka baru kembali dari proyek menjelang petang dan baru sempat makan setelah Dito memaksa Vian menyudahi pekerjaannya.

Dan sudah sejak setengah jam yang lalu, Vian hanya diam dengan wajah yang dipenuhi beban berat. Bukan hanya sejak setengah jam yang lalu saja Dito menyadari kemurungan di wajah Vian, tapi sejak mereka bertemu tiga hari yang lalu. Sepulangnya Vian dari Bandung.

Dito juga menyadari jika Vian terlihat menyibukkan diri dengan pekerjaan. Bahkan di lokasi proyek, dialah yang lebih banyak memberikan instruksi pada para pekerja Dito. Padahal, tugas itu adalah sepenuhnya tanggung jawab Dito.

Meski begitu, Dito tak pernah melarang Vian melakukannya karena Dito tahu jika Vian membutuhkan pengalihan dari masalah yang sedang dihadapinya saat ini.

"Kamu ada masalah apa, sih? Sejak pulang dari Bandung, mukamu itu persis kertas lecek?" tanya Dito.

Vian mengangkat kepalanya dan memandang Dito dengan tatapan kosong lalu tersenyum tipis pada laki-laki itu. Sesaat dia hanya diam tanpa membuka suaranya dan membiarkan Dito menatapnya dengan penuh tanda tanya.

"Nggak ada apa-apa, kok. Aku cuma lagi nggak nafsu makan aja," elak Vian.

Dito menaikkan alisnya dan sama sekali tak percaya dengan ucapan Vian padanya. Dari raut wajahnya, terlihat sekali jika ada banyak hal yang sedang disembunyikan Vian darinya.

"Apa menurut kamu, aku percaya sama kata-katamu itu?"

Vian menghela napas berat dan lagi-lagi memberikan tatapan kosong pada Dito. Dia tidak tahu apakah penting memberitahu Dito tentang kejadian tiga yang hari lalu di Bandung. Sementara dia sendiri telah merasa menghianati kepercayaan laki-laki itu padanya.

"Kalau aku cerita, memang kamu bisa selesain masalah yang aku hadapin? Aku yakin kamu nggak akan bisa bantu. Apalagi, ini ada hubungannya sama Kemal," jawab Vian akhirnya.

Lagi-lagi Dito menaikkan satu alisnya penuh tanda tanya. Kerutan di dahinya terlihat semakin berlipat-lipat.

"Dia kenapa?" tanya Dito bingung.

Vian menggeleng dan kembali diam. Dia juga mengalihkan tatapannya dari Dito dan lebih memilih untuk melihat ke luar jendela restoran. Menatap ke sembarang tempat.

"Dia baik-baik aja ...," jawab Vian sekenanya, "... tapi nggak denganku," katanya lagi.

Dito semakin tak paham dengan ucapan Vian yang hanya sepotong-sepotong tanpa memberikan penjelasan yang jelas padanya.

"Aku nggak paham," jawab Dito. Vian berpaling padanya dan tersenyum tipis pada Dito.

"Nggak papa, aku juga bingung gimana jelasinnya sama kamu," ujar Vian lalu membenahi duduknya. "Balik aja, yuk! Aku bosen di sini," pintanya.

BETWEEN YOU & USWhere stories live. Discover now